NARRAN.ID, ANALISIS - Perasaan panik karena merasa tiba-tiba kehilangan kontak dengan seluruh dunia, berganti dengan perasaan lega. Sesuatu yang tadinya terasa mampat, menjadi terbuka kembali. Bagaimana jika terjebak dalam pilihan dalam perasaan kebosanan lalu dirinya mematikan semua plaform-nya. Angan-angan itu tentu mungkin sulit mengingat Facebook cukup moncer sebagai penyedia layanan media sosial. Pundi-pundi untung uang kuadriliun pertahun menjadi pertimbangan.
Saat Whatsapp macet, gemuruh masyarakat kita melebihi terkena musibah. Ya, mereka serasa kehilangan jati dirinya dan mungkin kehilangan pengertian mengenai komunikasi itu apa. Ketergantungan menjadikan kita semakin hari manja untuk percaya pada lidah kita secara langsung. Platform Facebook dan sejenisnya mendorong kita terlaltih bersembunyi dengan citra dan prasangka, baik sengaja atau tidak. Kemiskinan dan kesejahteraan tidak lagi bisa dijelaskan dengan sebatas perkakas rumah yang tertinggal. Karena mencari uang tidak lagi soal kantor atau seberapa besar kepemimpinan atasan. Semua bisa melakukannya di atas atau di bawah meja sekalipun.
Dalam buku berjudul Marx in the Age of Digital Capitalism, Studies in Critical Social Sciences dengan Christian Fuchs dan Vincent Mosco sebagai editor (2016), di sana telah banyak dibahas perkembangan dan risiko yang terjadi ketika masyarakat berkembang di era kapitalisme informasional.
Whatsapp, aplikasi kesukaan jutaan orang Indonesia, hanya memperlihatkan sinyal berputar-putar. Mula-mula kecurigaan dijatuhkan pada tidak berfungsinya internet di rumah. Patut diingat bahwa, mesin pencari dan media sosial juga menjual data penggunanya untuk para pengiklan. Tujuannya agar iklan dapat mencapai calon konsumen yang ditarget produk secara lebih akurat. Cara ini dianggap lebih efektif menggaet konsumen daripada sekadar pengenalan umum, terutama jika tujuannya adalah menjual produk. Meskipun ada hubungan antara suka dan curiga, ada juga rasa ingin menjauh, tetapi tak berdaya. Hasilnya adalah limpahan data perilaku pengguna media sosial (behavioral data).
Data perilaku bertransformasi menjadi surplus perilaku (behavioral surplus). Jika tahun lalu Facebook digunakan sebanyak 1,6 miliar orang di seluruh dunia, data perilaku orang sebanyak itu pula yang dikelola Facebook dan menjadi dasar bagi aktivitas periklanan digital. Dari komodifikasi data perilaku pengguna, perusahaan media sosial meraup keuntungan ekonomi luar biasa besar.
Dengan kata lain, tak ada yang murni bersifat sosial dalam hubungan antara pengguna dan perusahaan layanan media sosial. Tidak ada yang benar-benar gratis. Apalagi, jika kita menghitung besarnya uang, waktu, tenaga, dan energi yang secara akumulatif digunakan 1,6 miliar orang itu untuk mengakses internet setiap hari. Berapa pulsa telepon, paket internet, dan konsumsi listrik yang kita gunakan setiap hari untuk bermedia sosial?
Dalam konteks inilah desakan agar perusahaan media sosial lebih bertanggung jawab atas dampak-dampak media sosial semakin menguat belakangan. Muncul anggapan perusahaan-perusahaan media sosial cenderung menjadi penumpang gelap (free rider) yang mengambil banyak keuntungan dari demokratisasi digital, tanpa menanggung beban tanggung jawab semestinya atas ekses yang muncul.
Barangkali tidak banyak warganet yang menyadari, pelibatan diri dan pemberian identitas personal kepada kapitalis-kapitalisme digital seperti Facebook, atau yang lain, ternyata bukan sekadar pencatatan identitas tanpa manfaat dan risiko. Di tangan kekuatan kapitalisme informasional yang besar, data personal warganet yang tersimpan di mesin-mesin raksasa penyimpan data ternyata bisa diolah dan dimanfaatkan untuk kepentingan baik sosial, ekonomi, maupun politik.
Rentang Kemungkinan
Media sosial memiliki kekuatan besar untuk mengarahkan masyarakat, mengambil keuntungan bisnis dari ketergantungan masyarakat terhadap media sosial, sehingga sudah semestinya turut bertanggung jawab atas dampak yang muncul.
Weber menyatakan bahwa karakteristik rasionalisasi itu berupa peningkatan efisiensi, kepastian, perhitungan, dan kontrol terhadap ancaman ketidakpastian. Bagi Weber, ketidakpastian harus dipahami dalam kaitannya dengan kondisi prakognitif dan kognitif manusia, baik sebagai individu maupun kelompok, dalam berinteraksi secara dinamis dengan kondisi dunia sekitarnya yang secara historis tidak stabil.
Weber mengingatkan bahwa rasionalisasi yang berlebihan, tak berhati, dan dingin dapat mengarah pada obsecurity of irrationality. Metafora Weber yang paling terkenal yaitu iron cage atau irra-tionality of rationality.Konsep ini merujuk pada keprihatinannya bahwa institusi publik (birokrasi) yang dirasionalisasi secara ekstrem justru mengasingkan diri dan menjadi tidak manusiawi lagi bagi para pegawai maupun bagi publik yang dilayani.
Lalu sosiolog Amerika Serikat, George Ritzer, menganalisis, memikirkan kembali, dan memperbarui teori Weber (juga teori Sartre, Heidegger, Lukacs,Lefebvre,Horkheimer, Marcuse, juga Bloch). Ia berdalil bahwa institusi-institusi di abad ke-20 telah dirasionalisasi pada suatu tingkat di mana seluruh negara menjadi ter-McDonalisasi (“McDonalized”).
Mark bisa saja terus berkilah akan selalu memasang prioritas utama pada pelayanan plaformnya. Namun, bisakah kita percaya bahwa kita berhasil menitipkan semua ulasan pribadi dan data kita? Dengan budaya hoax dan propaganda media yang ikut dibesarkan buzzer politik. Mungkinkah kita masih tenang bermedia sosial? Pertanyaan ini berlaku untuk siapa saja baik pemula atau expert dalam bidang pengelolaan media sosial.
Kita bukan takut, tetapi menyayangkan jika suatu Ketika, Mark tidak punya pilihan untuk men-“shut down” Facebook selama-lamanya. Akan ada banyak manusia kehilangan kenangan, pertemanan, dialog, bahkan aset bisnisnya. Lagi pula posisi Mark dan wewenangnya tidak terbatas. Baginya menutup atau melanjutkan adalah persoalan tentang kemungkinan-kemungkinan yang masih akan dipikirkan di masa depan. Apakah kalian menginginkan itu? (Red/M21).