Iklan

Elon Musk vs Twitter

narran
Sabtu, 19 November 2022 | November 19, 2022 WIB Last Updated 2022-11-19T06:46:33Z
Tekonologo, Elon Musk, Twitter, Media Sosial

NARRAN.ID, EKONOMI - Tagar Twitter benar heboh yang kali ini tidak menyasar kasus atau publik figur, melainkan pemiliki platform berlambang burung itu. Ya Elon Musk benar-benar tidak sekedar membeli dan mengakuisisinya. Dia bahkan mencoba membuat aturan baru, salah satunya seperti penerapan pemebayaran bulanan bagi akun centang biru. Gebrakan itu bahkan merisaukan tetapi jika dianggap memiliki haparan mengingat Elon Musk merupakan sosok petualang dan pencari sensasi dari terobosannya, sebut saja Tesla dan Space-x. Namun, kekawatiran pengguna Twiter justru karena Musk benar-benar sulit diitebak.

Sekarang pengguna Twitter benar-benar takut akan perencanaan Musk. Kamis pagi (22/11) sejumlah karyawannya tidak bisa masuk kantor. Musk menyodorkan kota kiesepakatan yang mereka harus setujui lewat email dengan subjek "A Fork in the Road,”. Ya benar, Musk meminta agat mereka memikirkan dan memutuskan tentang kontrak baru yang dikehendaki Musk tentang peraturan dann konsep di masa yang akan dating. Dirinya sudah memangkas sebagian pekerja dari 7.500 pekerja di twitter. Perampingan dianggap Musk jalan cerdan menuju twitter 2.0. Media micro-blogging itu sungguh telah menjelma menjadi apa yang oleh Musk disebut sebagai digital town square atau ruang publik terbuka digital, tempat hal-hal penting untuk kemanusiaan diperdebatkan.

Kenyataannya, bahwa akuisisi media sosial Twitter oleh miliarder Elon Musk mungkin peristiwa lazim saja dalam lanskap ekonomi media. Dari kacamata kalkulasi bisnis, nilai transaksi sebesar US$ 44 miliar atau sekitar Rp 634 triliun itu dapat dibaca sebagai harga yang kelewat mahal atau, sebaliknya, terlalu murah dengan pertimbangan potensi-potensi bisnis ke depan.

Yang paling luput dari pembahasan adalah "nilai politik" dari Twitter. Dia adalah media sosial yang dinilai para sarjana sebagai ladang utama pembiakan berita palsu atau disinformasi politik dalam pemilihan umum di banyak negara (Mueller 2019; Linvill dan Warren, 2020). kontroversi yang menyertai transaksi ini sejak Musk pertama kali menyatakan intensinya untuk mengambil alih Twitter pada 14 April lalu diperkirakan akan terus berlangsung lama setelahnya.

Transaksi pembelian Twitter oleh Musk ini sebenarnya transaksi merger dan akusisi yang tidak berbeda dengan transaksi serupa lainnya. Ditinjau dari nilai transaksinya, juga tidak lebih besar daripada transaksi pembelian Activision Blizzard Inc, holding company perusahaan pembuat gim, oleh Microsoft pada awal 2022 dengan nilai transaksi 68,7 miliar dollar AS.

Begitu ia mengumumkan kepemilikan Twitter, unggahan yang bersifat rasialis dan diskriminatif naik hingga 500 persen.Musk memang mencuit bahwa kebebasan berekspresi absolut bukan berarti segala sesuatu menjadi tak terkendali seperti tanah tidak bertuan. Akan tetapi, ia tidak menjelaskan ucapan ini lebih lanjut. Sebagian pengguna Twitter pun kadung mengunggah kalimat, foto, dan meme yang bersifat rasialis dan kebencian. Simbol-simbol Nazi, misalnya, muncul di berbagai foto profil ataupun konten Twitter

Pandangan mengenai posisi Twitter yang idealistis dan utopis ini memang dapat diperdebatkan dan mungkin belum tercapai pada saat ini, tetapi bagaimana agar hal ini dapat terjadi di saat Twitter dikendalikan oleh Musk, bisa jadi merupakan kepentingan bersama (common interest) yang mendorong munculnya kontroversi mengenai masa depan Twitter ini.

Faktanya, memang pengguna aktif (daily active user) Twitter hanya 217 juta (triwulan IV-2021, Statista), tetapi karena di dalam kelompok ini terdapat banyak figur terkemuka yang berpengaruh di bidangnya atau selebritas dari dunia politik, bisnis, teknologi, hiburan, dan olahraga, termasuk kepala negara dan pemimpin dunia usaha, maka trending topic yang muncul dari perdebatan di platform ini sering kali kemudian dapat bergulir menjadi isu-isu yang mampu mendorong perubahan di masyarakat ataupun pembuatan kebijakan publik, baik di tingkat lokal, nasional, maupun lintas negara.

Pengguna aktif Twitter mayoritas berasal dari 20 negara pengguna terbesar yang didominasi oleh kelompok pria (70 persen), penduduk urban (27 persen), dan memiliki tingkat pendidikan college (S-1) atau di atasnya (33 persen). Keinginan miliarder Elon Musk untuk membeli Twitter mengejutkan sekaligus mengkhawatirkan. Alih-alih menjamin kebebasan berpendapat bagi para penggunanya, aksi Musk dikhawatirkan membatasi kebebasan berpendapat itu.

Dengan membawa Twitter menjadi perusahaan swasta (non-public company, private company) yang bebas dari pengawasan publik dan otoritas pascaakuisisi, secara teknis Musk akan memiliki waktu dan ruang yang luas untuk membuat Twitter menjadi seperti yang diangankannya

Potret Negeri Kita

Di negeri kita, pengalaman pemilihan kepala daerah Jakarta pada 2012 dan 2017 serta kontestasi presidensial pada 2014 dan 2019 dengan konsisten menunjukkan peran kuat Twitter dalam menyebarkan informasi palsu. Data dari Kepolisian RI, Kementerian Komunikasi dan Informatika, serta lembaga swadaya masyarakat independen, seperti Mafindo, sama-sama menemukan puluhan ribu catatan berita palsu, informasi keliru, ujaran kebencian, dan rasisme.

Sebagaimana dialami Indonesia, tren yang sama juga dicatat Ong dan Cabanes (2018) dalam pemilihan umum Filipina, Uyheng et al (2021) di Singapura, atau Neyazi (2020) di India. Semua data ini menggarisbawahi betapa Twitter merupakan medan strategis dalam orkestrasi kabar palsu dalam jagat politik dunia.

Perpindahan ini membawa serta visi baru yang berhubungan langsung dengan kebijakan Twitter dalam memperlakukan penggunanya, termasuk ihwal diseminasi pesan politik. Elon Musk, yang tahun ini ditahbiskan sebagai manusia terkaya di muka bumi, menyodorkan visinya: "Kebebasan bicara adalah fondasi demokrasi, dan Twitter adalah tempat utama bagi isu-isu masa depan kemanusiaan diperdebatkan. Saya akan merancang algoritma terbuka yang tepercaya, menumpas bot, dan mengautentifikasi semua pengguna".

Musk secara langsung menantang regulasi Twitter yang ia nilai "terlalu ketat" dan akan melonggarkannya atas nama kemanusiaan. Dalam hal ini, Musk berulang kali mendeklarasikan dirinya sebagai "free speech absolutist". Ilusi kebebasan absolut di media menyumbang motivasi terbesar bagi penggunanya untuk berbicara apa saja tanpa terkecuali. Implikasinya, sehari-hari kita sudah menyaksikan bermacam contoh perundungan digital (cyberbullying) dan sirkulasi kabar bohong. Pelakunya menyaru di balik akun anonim dan dengan sangat agresif menulis pesan dengan motivasi menyakiti orang lain, seperti seorang selebritas yang tak ia sukai atau tokoh politik yang berbeda pandangan darinya.

Ilusi kebebasan absolut terbukti dipakai dalam mengorkestrasi pasukan siber (cybertroop) dan memobilisasinya pada masa-masa pemilihan umum. Pasukan ini terbagi-bagi dalam berbagai peran dan tugas: menghajar rival dengan tudingan berita palsu, mereplikasi pesan-pesan agar mendapat atensi orang lain sebanyak-banyaknya, dan membungkam suara alternatif. Para pelakunya telanjur menjadikan Twitter sebagai medan berlindung paling aman dari kejaran aparat penegak hukum. Pendeknya, visi Elon Musk hanya akan memperparah disinformasi politik (Red/M21).

Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Elon Musk vs Twitter

Trending Now

Iklan

iklan