“Bapak duluan saja,” tawar bawahannya.
“Udah kamu saja duluan,”
“Tidak pak, kami masih bikin teh nanti di waktu jam istirahat”
Tak selang berapa lama, atasan itu pergi tak menghiraukan tawaran anak buahnya. Semua karyawan kaget dan saling menyalahkan. Mereka takut ada apa-apa yang beresiko pada nasib kerjaan mereka. Terbilang pertama kali atasannya masuk Pantry kecil dan sempit itu.
Para pekerja masuk meja kerja masing-masing dengan perasaan was-was. Apalagi raut muka atasannya sangat dingin dan dikenal sangat sibuk bangun jaringan sana-sini.
“Pak Eko disuruh ke ruangan bapak,” pesan asisten atasan itu pada karyawannya.
Sontak tidak saja Eko yang panas dingin, tetapi semua karyawan yang sedang antri di Pantry di pagi itu.
“Apakah bos sedang marah mbak?” tanya Eko pada asisten itu.
“Hmm gimana yah mas, ya gitu deh,” mendengar jawaban itu, Eko dan karyawan lain semakin berpikiran kemana-mana. Entah apa nasib selanjutnya pikir benaknya.
Eko akhirnya masuk ke dalam ruangan bosnya itu.
“Jangan berdiri saja, Silahkan duduk,” pinta atasan itu.
“Pak saya mohon maaf atas kekeliruan pagi ini,”
“Kamu berapa tahun kerja di sini,” pertanyaan yang memompa adrenalin Eko.
“Sudah 6 tahun pak,”
“Senior berarti yah, kamu tahu kenapa kamu dipanggil,”
“Saya rasa telah merendahkan bapak di Pantry tadi pagi,”
Mendengar jawaban bawahannya itu, atasannya langsung memarahinya. Dia mengingatkan batasan pribadi dan kewajibannya. Eko tidak faham maksud atasannya itu, sepanjang dia bekerja di sana, dirinya hanya tahu bahwa yang namanya atasan memiliki renggang kuasa yang menyeluruh.
“Pak Eko, di luar jam kerja bapak hentikan perilaku membatasi hak bapak dikarenakan rasa takut pada atasan” nadanya pelan namun menghentak Eko yang sudah salah menduga.
“Loh bapak wajib mendapatkan itu,”
“Jika kamu berperilau seperti itu terus, maka mentalmu akan selalu jadi bawahan, bos itu wajib berperan sebagai consideration (fungsi sosial) dan initiating structure (pemecahaan masalah) sebatas itu,”
“Tetapi bapak tidak cocok harus antri dengan kami,”
“Saya ke Pantry memastikan relasi sosial saya sebagai apa di mata bawahan, saya bukan sedang cek rasa ketakutan kalian padaku, saya hanya mau tahu apakah pekerja kantor ini masih ada yang bisa integritas dan tidak merelakan hak pribadi karena ketakutan pada atasannya,”
“Sungguh pak, kami sangat hormat ke bapak,”
“Ingat Eko, saat bekerja wewenangku atasmu itu tinggi karena sebagai pemimpin saya sedang mengajak kalian semua memecahkan masalah pekerjaan bersama-sama, di luar itu kalian memiliki hak berpendapat yang sama,”
Eko terdiam karena salah duga dengan kepribadian atasannya itu.
“Ohya kamu sudah 6 tahun bekerja kan?”
“Iya pak,”
“Sana buatkan aku kopi yang belum sempat aku bikin tadi pagi, pasti buatamu enak,”
Sekretaris pribadinya menatap tajam sedikit tersenyum.
“Dan ingat Eko, ini perintah atasan karena sudah masuk di jam kerja,” ucap bos itu dengan tersenyum.
“Baik bapak, siap,”
“Ohya sekalian ajak yang lain ngopi bersama di depan, sudah lama saya tak bercengkrama dengan para karyawan,”
Hati Eko lega menlangkah ringan keluar ruangan. Melihat raut muka Eko bahagia, kekalutan karyawan lain akhirnya terurai lega. Apalagi mendengar ajakan ngopi bareng dengan bos yang lama tidak bertegur sapa itu.
Memo Marhaen
(Penikmat Wacana Sosial)