Iklan

Kanjuruhan Chauvinisme dan Tontonan

narran
Selasa, 15 November 2022 | November 15, 2022 WIB Last Updated 2022-11-15T10:55:15Z

Sepak Bola, Kanjuruhan, Kemanusiaan, Tragedi


NARRAN.ID, OPINI - Tragedi Kanjuruhan tidak layak dinikmati sebagai intertaiment praduga kepentingan. Bunyinya tegas, Nyawa! Hanya dengan menceritakan fakta walaupun nikmat ujungnya, tetapi hal itu suatu  kengerian dan trauma bagi korbannya. Filsuf Albert Camus bahkan menyamakan pelaku kekerasan dengan orang menuliskan narasi, puisi itu sama saja salahnya. Kita tidak pernah bertemu dengan titik klausul cara bercerita yang baik tentang histeria kengerian di Kanjuruhan. Yang pasti semua punya ambisi untuk menjadi bagian dari bersimpati, atau sekedar menaikkan pangsa pasar viewer mereka sendiri. Entahlah!

 Opini mengenai sepak bola adalah hal yang lumrah, tegur sapa bahkan koreksi pilihan taktik pelatih yang keliru merotasi pemain di lapangan sah-sah saja. Lagi pula sepak bola adalah bahasa konprehensif yang majemuk dimengerti semuan lapisan sosial. Bahkan sepak bola dapat merubah orang yang malas menonton bola seperti pemimpin fasis Italia Mussolini maupun Jenderal Fasis Spanyol, Franco yang lebih menyuakai menonton drama itu. 

Il Duce sapaan Mussolini dan El Claudillo sebutan Franco akhirnya jatuh hati pada sepakbola merubahkanya menjadi kengerian dan kepentingan. Kepentingan fasis keduanya telah merubah sepak bola sebagai pencaturan yang jauh dari kata hiburan. Club Lazio digawangi Mussolini mendongkrak namanya. Lagi pulanya sepak bola bagi masyarakat Italia adalah segalanya. Franco bahkan mengubah Real Madrid sebagai momok memukul dan mengais simpati nasionalisme melawan nasionalis Catalan dan Club Barcelona-nya. Tidak heran Hitler tertarik untuk membantu Franco saat perang saudara. Ihtisar ini mengaskan posisi tontotan menjadi seragam alturistik pada kelompok lemah.

Lalu bagaimana Kanjuruhan? Arema tidak jauh berpikir macam Moussolini atau Franco. Masyarakat Malang hanya tahu Arema menjadi simpul pemersatu dan meneguhkan rasa persaudaraan antara sesama. Kita tidak usah menarik jauh persaingan dengan Bonek Persebaya, karena hal itu adalah hal yang biasa ditemukan di kompetisis belahan dunia manapun. 

Chauvinisme?

Kita dudukkan dahulu apakah daya gerak supporter mencintai klub nya ada chauvinisme atau cinta berlebihan? Perselisihan dalam internal klub dalam sebuah negara rawan sekali meruncing bahkan diikutkan oleh semangat primordialisme. Namun, bukankah ini akan menjadi modal berharga jika konflik itu dimuarakan pada wilayah eksternal. Sebagain kita bukankah selalu merasa was-was jika timnas Indonesia kalah atas negara rival abadi kita Malaysia. Kita tidak bisa menerima semua alasan kekerasan, tetapi kita selalu mafhum pada kecintaan berlebihan. Itu hal yang sangat naluriah yang disongsong oleh pembentukan lingkungan. 

Lagi pula supporter Arema mencoba memberi pengetian pada klub-nya bahwa kecintaan mereka tidak boleh dibayar sia-sia. Aspirasi dan koreksi hal yang wajar karena supporter menjadi pemain penting yang jumlah mayoritas. Opsi mereka masih sangat rasional jika melihat hubungan integral fans dan klub-nya. Apalagi, sumbu modal gerak tim juga didapatkan dari biaya tiket yang dibayarkan setiap laga kandang. Belum lagi, penjualan Apparel yang tersedia, sebagian juga masuk pada manajemen tim. Pemain dan manajeman klub akan berganti, tetapi fans sulit bergerser hati!

Menonton kekerasan?

Kekuatan sipil tidak dapat ditolak telah menjadi penyeimbang kekuatan wacana lewat gawai di tangannya. Mereka menarasikan dari kemampuan menelisik sisi permukaan, menengah, dan mendalam. Kita acungi jempol dengan daya netizen yang bahkan tidak dapat di delay waktu postingnya. Lalu apa tanggung jawab kita selain mengunggah perasaan kemanusiaan? 

Hampir empat hari tagar berlainan tersedia tentang Kanjuruhan Malang trending dan menyedot atensi dunia internasional. Sesekali postingan wajah dan tubuh kaku korban bergentayangan bebas. Publik yang tidak berada dalam peristiwa seolah menjadi saksi mata lamgsung dan bergegas mengahkimi temuan prematur. Pernyataan tadi seperti (dengan mengutip Baudrillard kembali) ketika pornografi menjadi lebih sensual ketimbang seks itu sendiri. Itu semua terjadi, bagi Baudrillard, karena berlangsungnya praktik simulasi: proses yang membuat representasi (gambaran) atas tanda-tanda realitas justru menggantikan realitas itu sendiri. Ketika penonton merasa dirinnya sebagai korban.

Simpati akhirnya mencair, berakhir menjadi sempati atau kemudian menjadi bahan mencari sensasi dengan anasir-anasir praduga. Kita harus sudahi dan biarlah kutukam hukuman setimpal bagi mereka yang sudah bersalah. Kita renungi sepak kita bola sekalipun bukan dari sisi estetetisnya, paling tidak itu menjadi tangga untuk kita semakin terlaltih menjadi manusia bijak.


Penulis : 
Milki Amirus Sholeh
(Penikmat Kajian Sosial)
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Kanjuruhan Chauvinisme dan Tontonan

Trending Now

Iklan

iklan