Iklan

Kerja Sama Arab dan Zionis

narran
Selasa, 29 November 2022 | November 29, 2022 WIB Last Updated 2022-11-29T05:20:09Z

Timur Tengah, Palestina, Israel, Konflik
(Sumber: www.vox.com)
NARRAN.ID, OPINI - Pada 1916, Emir Faisal (anak kedua gubernur Makkah waktu itu, Husein, kakek Raja Abdullah di Yordania Modern) bekerjasama dengan Inggris untuk melakukan pemberontakan terhadap Turki Utsmani. Aksi dia didukung oleh  T.E. Lawrence, officer British yang sangat terkenal. Dia melakukan pemberontakan kepada Turki Utsmani karena dinilai sudah tidak adil dan terlalu otoriter.

Pada 1919, Emir Faisal kembali melakukan pemberontakan terhadap Turki Utsmani dengan kekuatan militer Kerajaan Arab-Hijaz. Dia bekerja sama dengan Chaim Weizmann, pimpinan gerakan Zionis dalam menggempur Turki pada bulan Januari. Kerjasama ini terjadi karena aktivis Zionis kecewa terhadap keputusan Inggris pada 1917 yang melahirkan kebijakan ambigu terkait status "negara Yahudi" ke depan di Palestina.

Pada 2 November 1917, sebuah surat sampai di tangan Rothschild, Presiden Federasi Zionis Inggris. Surat tersebut ditandatangani oleh Arthur James Balfour, British Foreign Secretary. Surat tersebutlah yang kemudian disebut sebagai Balfour Declaration. Dalam surat tersebut, Balfour menulis "the establishment in Palestine of a national home for the Jewish people." Versi aslinya yang ditulis pada Juli 1917 (empat bulan sebelumnya), teksnya berbunyi demikian, "reconstitution of Palestine as the National Home of the Jewish People." Dampak perubahan kalimat ini besar sekali. Perubahan ini terjadi setelah rapat kabinet di Inggris yang surat itu dinilai terlalu memberikan peran besar terhadap Zionis.

London tidak setuju bila Zionis diberikan kekuasaan terlalu besar di Palestina. Sebab itu akan mengancam kepentingannya. Tetapi Inggris masih membutuhkan komunitas tersebut sebagai kontrol terhadap Arab. Inggris pun tidak mau bilamana Jerman yang berhasil meraih hati kaum Zionis. Makanya Inggris bertindak cepat dengan memberikan janji kepada Zionis kemerdekaan di Palestina. Namun janji itu dinilai ambigu: bangun negara, tinggal sebagai bagian dari penduduk Palestina, atau bagaimana? Tak jelas.

Sebenarnya di sini Inggris sengaja. Dia pegang Zionis tadi untuk kepentingan Perang Dunia I: mengontrol Arab. Dia pun pegang Arab untuk kepentingan mengontrol Prancis. Kebijakan Inggris ini akhirnya membuat kekecewaan baik bagi kalangan pemimpin Arab maupun Yahudi Zionis.

Lantaran kecewa terhadap Inggris, petinggi Zionis mencoba membangun kerjasama dengan petinggi Arab. Lahirlah kerjasama Weizmann dengan Emir Faisal pada Januari 1919 itu. 

Dampak dari kerjasama ini, komunitas Yahudi bebas bertani di Palestina dan imigran dari Eropa Timur diperbolehkan untuk terus berdatangan. Mereka seperti membangun sejarah persaudaraan masa lalunya kembali. Dua ras ini hidup rukun sebagai warga bersama. Namun kebijakan Emir Faisal ini ditentang oleh kelompok nasionalis Palestina. Dari sini eskalasi konflik terus meningkat dengan terus menciptakan framing dan isu-isu keterancaman. Menariknya mereka saling bertengkar dan yang sama-sama disalahkan adalah Inggris. Mereka satu sama lain saling cakar dan sama-sama membenci Inggris. 

Inggris terpaksa menerapkan kebijakan itu karena untuk menang di Perang Dunia I. Mana ada negara ingin kalah. Emir Faisal memberontak kepada Turki Utsmani karena ingin keluar dari cengkraman kekuasaannya yang lalim dan otoriter. Mana ada orang yang punya potensi berkuasa ingin dikuasai pemerintahan lalim. Kaum Yahudi pergi ke Palestina karena di Eropa dipersekusi. Mana ada orang betah dipersekusi. Penduduk Yahudi dan Palestina bertengkar karena dikompori oleh nasionalis Palestina. Nasionalis Palestina melakukan itu karena ketakutan negaranya hilang. Wajar. 

Di sini siapa yang salah pada akhirnya? Jangan salahkan Israel terus dong. Seolah-olah yang salah hanya Israel. Kronologinya ini kompleks. Kalau tidak tahu diam supaya tidak menambah masalah. Dalam politik rumusannya itu jelas. Tak ada teman abadi. Yang abadi adalah kepentingan. Soal kasus Israel-Palestina belum kelar itu juga soal kepentingan. Kepentingannya belum selesai.

Kepentingan siapa? Ya jelas mereka (siapapun itu) yang diuntungkan dengan adanya konflik. Coba Anda cari tahu siapa yang diuntungkan dengan adanya konflik itu.


Penulis :
Hodari Mahdan Abdallah
(Pengamat politik dan Kebudayaan Israel-Palestina, Peneliti Muda Inisiatif Kebudayaan Indonesia (IKI)

Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Kerja Sama Arab dan Zionis

Trending Now

Iklan

iklan