NARRAN.ID, ANALISIS - Meninggalnya Mansa Amini pada 16 September 2022 lalu meninggalkan luka tragedi mendalam bagi kaum perempuan di Iran. Pasalnya, tewasnya aktivis perempuan dilatarbelakangi pada pembatasan ruang gerak ekpresi atas perempuan Iran sejak pemerintahan teokrasi para Mullah berkuasa pasca tahun 1979 silam.
Terlepas protes itu telah merenggut lebib 83 nyawa akibat protes yang merata di sejumlah kota di luar Kota Tehran. Polisi moral yang bertanggung jawab atas aksi sehingga Amini meregang nyawa kian menjadi target utama dari para demonstran. Di beberapa kota besar di dunia, seperti Athena, Berlin, Brussels, Istanbul, Madrid, New York, Paris, London, dan Melbourne, para perempuan dari berbagai kelompok turun ke jalan sebagai aksi solidaritas kepada perempuan di Iran.
Jarang terjadi, kaum perempuan di Iran begitu demonstratif dalam mengekspresikan kemarahan dan protes kepada aparat pemerintah di beberapa kota, seperti pekan ini. Sebagian dari perempuan pengunjuk rasa itu melepas dan membakar penutup kepala yang mereka pakai serta memotong rambutnya. Dalam unjuk rasa di salah satu kota dilaporkan foto Pemimpin Tertinggi Ayatollah Ali Khamenei juga dibakar.
Protes lain ditunjukkan dengan pembulian di publik pada para ulama yang memakai turban dengan memaksa mencopot trending di media sosial. Para simpatisan Amini melihat mereka layak mendapatkan itu semua sebagai perbadingan atas apa yang terjadi pada Amini yang merasakan kepedihan atas pilihannya tidak memakai kerudung.
Iran menunjukkan akumulasi dari segala kesalahan yang dilakukan negara itu dalam empat dekade terakhir. Rezim penguasa menggunakan nilai-nilai agama untuk mengontrol tubuh perempuan dan melanggengkan praktik korupsi yang masif.
Skala unjuk rasa pekan ini belum sebesar tahun 2019 yang diikuti sekitar 200.000 warga dan, menurut catatan Reuters, menewaskan sekitar 1.500 orang. Namun, isu yang melatarbelakangi dan insiden pemantiknya menarik dicermati, yakni terkait aturan berpakaian bagi perempuan dan sikap aparat.
Pada akhirnya, perempuan di Iran memilih memperjuangkan hak-hak serta kebebasan mereka melalui aksi demonstrasi ini daripada dipermalukan dan dipukuli sampai mati oleh polisi moralitas Iran.
Ingat, Revolusi Islam Iran 1979 membawa ekspektasi tinggi pada rakyat akan masa depan kehidupan sosial-politik yang lebih baik di bawah rezim teokrasi. Dulu, kehidupan ala Barat di kota-kota besar Iran dengan para perempuan kosmopolitan melepaskan hijab merupakan pemandangan sehari-hari.
Sering dalam merayakan ulang tahun Dinasti Pahlevi, pemerintah mengundang musisi-musisi AS untuk berpentas di Teheran. Minuman keras disajikan dalam pesta dansa semalam suntuk. Pada hari libur, para perempuan yang tak melancong ke Eropa atau AS menghabiskan waktu di pantai-pantai wisata dengan hanya berbikini, meresahkan masyarakat tradisional yang umumnya konservatif dalam beragama.
Dus, revolusi merupakan pembalikan dari kondisi sosial-budaya yang sedang dibangun monarki. Kalau Dinasti Pahlevi hendak mentransformasi masyarakat konservatif menjadi masyarakat modern yang sekuler secara ekstrem, revolusi Islam Iran justru hendak mengembalikan masyarakat ke tatanan sosial-budaya lama secara ekstrem pula.
Maka, bagi teokrasi Syiah, kewajiban memakai jilbab bagi semua perempuan Iran sejak masuk usia balig—tidak peduli agama apa yang dipeluk, bahkan bagi orang asing non-Muslim yang berkunjung ke Iran—menjadi inti dari amanat revolusi. Hijab tiba-tiba menjadi simbol perlawanan peradaban Islam terhadap peradaban Barat meskipun kewajiban memakai hijab masih menjadi isu kontroversial di kalangan ulama.
Kubu konservatif garis keras, yang saat ini memerintah, menuntut penerapan aturan secara keras. Banyak sorotan pada tindakan polisi moral dalam menegakkan aturan itu. Mantan Presiden Mohammad Khatami, tokoh reformis, menyebutkan tindakan polisi moral itu sebagai petaka.
Penegakan aturan oleh aparat dinilai represif bagi perempuan. Partai reformis, Etemad Melli, mendesak Raisi menertibkan polisi moral dan bahkan mengusulkan parlemen membatalkan aturan kewajiban berhijab di negara itu.
Kita kesampingkan dahulu, sebelumnya peran perempuan menjadi sangat penting. Ayatullah Khomeini, pendiri Republik Islam, menyatakan bahwa perempuan harus berkontribusi dan hadir dalam berbagai perkembangan yang menentukan nasib dan masa depan negara. Iran kini di bawah kepemimpinan Ayatollah Khamenei telah membuka jalan bagi kehadiran kaum perempuan di arena politik, sosial, budaya, dan ekonomi. Kehadiran perempuan dalam berbagai perkembangan negara telah terbukti dari beragam gerakan kaum perempuan di Iran selama 43 tahun belakangan ini.
Wanita Iran bersama dengan kaum pria turun ke jalan untuk memenangkan revolusi. Sepanjang perang selama 8 tahun yang dipaksakan oleh Saddam Hossein kepada Iran, perempuan negara kami menjadi pelopor dukungan spiritual dan material. Lalu, kehadiran perempuan di bidang ilmiah dan akademik dikedepankan, sehingga setelah dua dekade jumlah mahasiswa perempuan di berbagai universitas Iran melampaui laki-laki. Saat ini lebih dari 27% wanita Iran memiliki pendidikan S1 dan S2.
Di bidang olahraga, tim olahraga wanita Iran merupakan sepertiga dari tim Iran yang dikirim ke kejuaraan dunia. Sejauh ini, mereka telah memenangkan berbagai medali pada banyak kompetisi internasional. Di arena politik, kaum perempuan Iran berpartisipasi secara aktif selama 43 tahun terakhir. Pada saat yang sama, keterwakilan perempuan di berbagai arena politik antara lain Dewan Kota dan Desa meningkat secara signifikan.
Bagaimana bisa peran signifikan perempuan dalam berbagai lini itu direspon dengan represif. Hijab terus menjadi isu utama pembetasan ruang gerak perempuan. Semua lini boleh maju, tetapi untuk pilihan teokrasi dan pandangan keagamaan Iran nampaknya berbicara sebaliknya (Red/M21).