(Sumber: www.kumparan.com)) |
NARRAN.ID, ANALISIS - Apakah kalian suka mendengar istilah feminisme? Ataukah takut jika kalian dianggap sok kritis. Bagaiamana sebenarnya format feminisme yang dianggap sesuai kita. Sama sekali tidak ada jawaban yang pasti. Di ruangan perdebatan wacana soal femenisme berbudaya nampaknya tidak jelas arahnya. Apakah kita adopsi pandangan feminisme liberal, radikal, atau sosialis? Masih dilema yang pasti terdapat satu kemungkinan bahwa semua perempuan ingin sekali membela dirinya sendiri.
Tidak sekali Indonesia dijadikan rujukan sebagai gerakan feminisme progresif dalam perjuangan melawan patriarkisme, misoginisme, dan seksisme. Meski turunan dari ketiga sumber diskriminasi dan kekerasan seksual dan jender tersebut sangat kompleks, seperti politik jender dan seksualitas negara, fundamentalisme dan konservatisme agama, tradisionalisme sosial-budaya, gerakan feminisme kita dinilai memiliki kemampuan dalam menantang masalah tersebut. Hal ini tidak terlepas dari kekuatan gerakan feminisme kita yang sanggup menggabungkan aktivisme politik dan aktivisme intelektual, dan itu sudah berlangsung sejak awal sejarahnya.
Kita tidak pernah membayangkan apa yang dilakukan oleh gadis bernama Adda Smáradóttir, 17 tahun, dia memasang foto dirinya di Twitter yang sempat heboh. Foto itu menampilkan gambar payudara sebelah kiri disingkap. Meski tidak terlalu bermoral dan lebih pada pose banal. Namun ada satu keinginan tentang konseptal akan feminism #Free TheNipple. Dia menyodorkan putingnya sebagaimana dilakukan jutaan wanita setiap hari ketika menyusui bayinya. Tetapi, ini justru tidak ada bayi! Tafsirnya ada keinginan perempuan mencoba mensejajarkan kebebasan yang sering dinikmati lebiju leluasa oleh kaum lelaki kala melihat dan menikmati payudara perempuan. Bisakah itu dilakukan di sini?
Jika feminisme dibudayakan dengan pendekatan kultural kita, mungkinkah akan sama gregetnya kala berhadapan dengan kapitalisme pasar. Okelah, banyak feminisme barat tidak hanya berjuang secara politik dan kebijakan. Rotasi mereka juga resisten pada apa yang disebut penindasan kapitalisme. Barat memang menampilkan kelas sosial itu tidak hitam dan putih. Peranan oligarki ekonomi memiliki andil dalam terbenuknya budaya kehidupan modern barat saat ini.
Lalu bagaimana dengan kita? Kapitalisme adalah satu penyebab perempuan semakin terobjektifikasi. Di media massa, perempuan masih ditempelkan simbol khusus yang membuat mereka hanya duduk dalam peranan simbolik yang dtetapkan, pakaian harus rapih dan cara tingkah laku yang seolah “harus ketimuran”. Tetapi apakah harus pakaian secara terbuka baru setara?
Para aktivis feminis, di banyak negara, memang sering menyerang patriarki dengan membalikkan posisi tubuh perempuan, dari ”pasif” menjadi ”aktif”: Mereka betul-betul bosan melihat dirinya, sebagai wanita, senantiasa direduksi pada tubuhnya, apakah atas nama kebebasan oleh media-media modern ataupun atas nama kodrat atau agama, oleh pembela tradisi. Maka, membuang rasa malu, mereka dengan gamblang menjadikan tubuhnya sebagai senjata, alat penyadaran. Sasarannya adalah patriarki, di mana pun berada dan di dalam bentuk apa pun ada.
Misalnya, di negeri-negeri Barat, kelompok yang menamakan diri ”Femen” tak segan-segan ”menelanjangi” diri di depan umum di hadapan kamera untuk memprotes cara tubuh kaumnya ditelanjangi dan ”dijadikan obyek” oleh media demi memenuhi kebutuhan akan profit dari kapitalisme modern.
Adapun di negeri-negeri Arab, seperti Tunisia dan Mesir, mereka sebaliknya menelanjangi dirinya untuk memprotes kewajiban perempuan menutupi ”auratnya”, bahkan kadang sampai seluruh wajahnya, demi terjaganya monopoli pria atas keseluruhan jiwa-raga lawan jenisnya ini. Jadi, baik di Barat maupun di Timur Tengah tujuannya sama: menggugat kuasa kaum pria. Dengan menelanjangi diri, mereka merasa dirinya menelanjangi patriarki.
Nancy Fraser, seorang feminis terkemuka, menulis sebuah artikel—yang kemudian menimbulkan debat panjang—berjudul ‘How feminism became capitalism’s handmaiden – and how to reclaim it’ di The Guardian (14 Oktober 2013). Dalam artikel ini dengan tajam Fraser memperlihatkan dilema feminisme gelombang kedua di tengah gelombang kapitalisme kontemporer dan bagaimana cara mengatasinya.
Pandangan Fraser ini hampir senada dengan pendapat sosiolog Manuel Castells dalam The Power of Identity, khususnya bab The End of Patriarchalism, yang menunjukkan problematika yang muncul di sekitar isu perempuan, anak, dan keluarga di dunia pasca-patriarkhi. Kedua penulis ini mengakui keberhasilan feminisme dalam menghancurkan belenggu yang membatasi ruang gerak perempuan di dunia modern yang patriarkhis, tetapi belakangan daya tersebut harus diakui menemui keterbatasannya. Masalah terbesarnya datang dari bentuk kapitalisme yang berubah. Sementara kapitalisme-negara berguguran, gelombang baru kapitalisme yang nanti kita akan sebut sebagai neoliberalisme justru semakin dominan. Di hadapan mode baru kapitalisme ini, feminisme seolah hanya menjadi pelayan (hanmaiden) belaka.
Di masa Orde Baru, Presiden Soeharto menerapkan politik jender dan seksualitas dengan mengenalkan ideologi ibuisme negara: formalisasi visi dan misi keperempuanan yang tradisional sebagai ideologi jender dan seksualitas negara. Soeharto melanggengkan peran jender berdasarkan jenis kelamin melalui, misalnya, UU Perkawinan (UU No 1/1971) dan pembentukan organisasi istri para pegawai pemerintahan. Soeharto menstigma Gerwani sebagai contoh kelompok perempuan sesat karena terlalu aktif dalam ”berpolitik” dan mengabaikan tugas tradisionalnya sebagai istri dan ibu. Yang hebat, gerakan feminisme Indonesia di masa Soeharto mampu memahami politik jender dan seksualitas seperti itu dan akhirnya menjadi bagian penting gerakan melawan rezim Orde Baru dengan menekankan dimensi ketidakadilan jender dan diskriminasi seksualitas sebagai ”misi” perjuangan (Muttaqin;2015).
Untungnya feminisme Indonesia berbeda. Kaum feminis radikal kebarat-baratan tidak begitu aktif di sini dibandingkan dengan di Barat atau di negeri Arab. Tidak terdengar aksi-aksinya yang menghebohkan, apalagi yang melabrak norma ”moral” agama. Gerakan feminis Indonesia lebih lihai. Alih-alih menyinggung sensitivitas agama, agama sebaliknya dirangkul. Buku suci ditafsir kembali secara terbuka dan tafsiran baru itulah yang dipakai untuk melawan patriarki tradisional dan meraih kemajuan menuju emansipasi dan peningkatan posisi sosial wanita. Misalnya, gerakan feminis Islami itu menekankan persamaan dasar antara pria dan wanita sebagai insan ilahi, yang sebagai pasangan suami-istri dikaitkan satu sama lain oleh kewajiban saling mendukung, menghormati, dan saling melindungi. Adapun gerakan feminis Hindu menekankan polaritas filsafati dari Ketuhanan antara unsur Purusa/Pria/Spiritual dan unsur Pradana/Wanita/Material untuk menegaskan kesetaraan dasar antara kaum pria dan wanita (Red/M21).