Bahkan jauh sebelum itu, para perwakilan pemuda-pemuda di Indonesia berkumpul dan mengikrarkan sumpah untuk berhimpun dan bersatu di atas segala perbedaan yang mereka miliki. Namun, akhir-akhir ini kecenderungan akan perpecahan karena perbedaan cukup meprihatinkan.
Dalam 5 tahun terakhir, negara yang memiliki slogan Bhineka Tunggal Ika “berbeda-beda namun tetap satu jua” kebanjiran kasus intoleran dan kekerasan beragama. Seakan memberi tanda bahwa Indonesia mulai terjun ke dalam jurang krisis kemanusiaan dan krisis identitas kebangsaan.
Maka kiranya, kita semua perlu untuk memaknai kembali arti slogan di atas sebagai pegangan hidup dalam berbangsa dan bernegara. Sebab sejatinya, para pendiri bangsa menyematkan kata-kata di atas bukan untuk mematahkan semangat dalam membangun persatuan bangsa, melainkan untuk menumbuhkan rasa cinta kasih antarsesama kita, anak-cucu Ibu Pertiwi.
Rangkaian Peristiwa Terorisme
Peristiwa peneroran terhadap tokoh agama dan tempat ibadah yang terjadi beberapa tahun terakhir merupakan pukulan telak untuk kita semua sebagai warga negara juga pemeluk agama. Di mana, para pemeluk agama seyogyanya menjadi representasi atas ajaran agamanya yang baik.
Sebab, tidak ada satupun agama di muka bumi ini yang mengajarkan para pemeluknya untuk melakukan tindakan yang buruk, keji, dan tidak berperikemanusiaan. Hasil penelitian yang dilakukan oleh SETARA Institute tercatat setidaknya ada 180 kasus KBB di tahun 2020 dan 171 di tahun 2021.
Hal ini selaras dengan hasil survei yang dilakukan oleh PPIM UIN Jakarta yang mencatat sebanyak 30,16% mahasiswa di Indonesia memiliki sikap toleransi beragama yang rendah atau sangat rendah. Juga pada aspek perilaku, tercatat sekitar 11,22% mahasiswa di Indonesia menunjukan tindakan toleransi yang sangat rendah.
Dengan corak dan perbedaan yang begitu kompleks, Ende menjadi tempat antar umat beragama hidup berdampingan satu sama lain. Perbedaan bahasa, suku, adat istiadat, ras, dan agama menjadi fondasi penguat yang kokoh di antara mereka.
Lain halnya dengan yang terjadi akhir-akhir ini, perbedaan seakan menjadi kutukan yang mengenaskan dari Tuhan kepada kita. Pasalnya, tidak sedikit dari kita yang bertindak rasis, primordialis, bahkan saling membunuh hanya karena berbeda dengan yang lainnya.
Kecakapan masyarakat Ende dalam memahami perbedaan sebagai anugerah termanifestasikan dengan baik dalam kehidupan sehari-hari. Minu ae petu dan sambut baru, misalnya. Minu ae petu atau minum air panas merupakan kebiasaan masyarakat Ende ketika hendak mengadakan suatu acara seperti pernikahan.
Minu ae petu biasanya diadakan oleh orang yang akan melaksanakan hajat untuk meminta partisipasi atau solusi kepada sanak keluarga dan masyarakat sekitar. Bentuk kontribusinya pun variatif, Kadang berupa uang, bahan pokok, pakaian adat, atau yang lainnya.
Partisipannya tidak hanya dari Muslim ataupun kaum Kristiani saja, melainkan beragam dan bersifat sukarelawan. Tak peduli latar belakangnya apa. Semua memiliki kesamaan dalam menyambut dan menyukseskan agenda yang akan dilaknasakan oleh orang mengadakan minu ae petu tersebut.
Di samping itu, ada pula sambut baru atau pesta sabut baru. Yakni, salah satu acara yang dilakukan oleh penganut Kristen Katolik setelah mengikrarkan diri untuk memilih Katolik sebagai jalan keselamatan di dunia maupun di akhirat.
Uniknya dalam acara ini, khususnya bagi masyarakat Ende ialah pemberian anggaran kepada tetangganya yang beragama Islam sebagai modal untuk menyiapkan segala keperluan seperti makanan dan minuman. Hal ini dilakukan untuk menyambut keluarga atau masyarakat sekitar yang beragama Islam untuk makan dan minum setelah beramah-tamah dengan yang bersangkutan sebelum akhirnya berpamitan.
Masyarakat Katolik di Ende paham bahwa keluarga atau masyakarat Muslim sekitar hanya boleh makan dan minum sesuai syariat Islam. Mulai dari menyembelih hewan, alat yang digunakan untuk memasak, hingga orang yang memasak dan yang menyajikan makanan dilimpahkan sepenuhnya kepada tetangga yang beragama Islam itu sendiri.
Salah satu contohnya, alat memasak yang digunakan untuk masak babi ataupun yang lainya tidak boleh digabung dengan makanan yang akan dihidangkan untuk saudara-saudaranya yang beragama Islam. Artinya, semua serba diperhatikan dengan sebaik mungkin secara detail. Kedewasaan dalam memahami perbedaan inilah yang menjadi salah satu keunikan masyarakat Ende yang beragama Katolik dalam pelaksanakan pesta sambut baru.
Terlepas dari segala perdebatan yang ada, apa
yang dicontohkan oleh masyarakat Ende melalui minu ae petu dan sambut baru,
kiranya dapat ditularkan dengan radius yang lebih luas hingga ke sudut-sudut
Nusantara. Bahwa perbedaan bahasa, suku, adat istiadat, ras dan agama tidak
seharusnya menjadi jurang pemisah melainkan jembatan penghubung di antara kita
guna terciptanya Indonesia yang lebih rukun dan harmonis kedepannya.
Romdoni
(Aktivis Muda Muhammadiyah)