NARRAN.ID, OPINI - Masih menjadi perbincangan hangat di tengah masyarakat sampai saat ini mengenai seorang ustadz yang kontroversi dalam menjelaskan penerapan konsep sedekah/infaq terhadap jamaahnya. Menurutnya pada salah satu video di YouTube menyebutkan bahwa konsep sedekah itu “barang siapa yang mengeluarkan uangnya (bersedekah) maka kelak Allah akan menggantinya 10 kali lipat dengan sesusatu yang lebih baik”. Sekilas konsep ini tidak menyalahi ajaran Islam, karena hal ini merupakan inti sari dari QS. Al-Baqarah ayat 261. Namun yang menjadi sorotan, ketika menerapkan konsep sedekah ini, sang Ustadz tanpa segan-segan mendorongnya bahkan menyuruhnya untuk bersedekah dengan harta apapun yang dimilikinya bahkan terkadang nominal yang diminta untuk disedekahkan terlampau besar. Ia tidak mempertimbangkan secara matang keadaan jamaahnya -baik dari kebutuhan primer, sekunder bahkan tersiernya- apakah sudah terpenuhi atau belum, atau dampak dari sedekah dengan nominal yang besar itu terhadap keseharian jamaahnya. Lantas sebenarnya bagaimana konsep yang diajarkan Islam dalam penerapan sedekah/infaq?
Di dalam Islam Allah swt mengajarkan kita untuk bersikap secara moderat dalam bertindak di semua lini kehidupan baik orientasi dunia maupun akhirat. Sikap moderat adalah salah satu ciri dari ajaran yang dibawa olah Nabi Muhammad saw. Allah mempertegas di dalam firman-Nya QS. al-Baqarah 143:
143. Dan demikian pula Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) ”umat pertengahan” agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. Kami tidak menjadikan kiblat yang (dahulu) kamu (berkiblat) kepadanya melainkan agar Kami mengetahui siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang berbalik ke belakang. Sungguh, (pemindahan kiblat) itu sangat berat, kecuali bagi orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah. Dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sungguh, Allah Maha Pengasih, Maha Penyayang kepada manusia.
Termasuk juga manusia hendaknya bersikap moderat dalam menyalurkan hartanya. Lantas bagaimana sikap moderat yang diajarkan islam itu? Yaitu seyogianya manusia tidak terlalu ringan tangan dalam menyalurkan hartanya kepada sesuatu yang kurang bermanfaat (boros) dan juga tidak terlalu terlampau hemat dalam memakai hartanya (kikir). Sikap yang tepat diantara keduanya adalah menyalurkan harta dalam kadar yang wajar dan bijaksana (dermawan). Dermawan adalah sikap moderat menyalurkan harta dalam Islam. Di dalam al-Qur’an ada analogi menarik yang mendorong untuk dapat bersikap dermawan dan menghindari sikap boros dan kikir, Allah berfirman di dalam surah al-Isra’ ayat 29:
"Dan janganlah engkau jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan jangan (pula) engkau terlalu mengulurkannya (sangat pemurah) nanti kamu menjadi tercela dan menyesal".
Dan Allah juga menyinggung mengenai penyaluran harta secara moderat di surah al-Furqon ayat 67:
"Dan (termasuk hamba-hamba Tuhan Yang Maha Pengasih) orang-orang yang apabila menginfakkan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, di antara keduanya secara wajar,"
Di dalam ayat surah al-Isra’ tadi M. Quraish Shihab berpendapat di dalam al-Misbah bahwa ayat ini merupakan salah satu ayat yang menjelaskan hikmah yang sangat luhur, yakni kebajikan yang merupakan pertengahan antara dua ekstrem. Keberanian adalah pertengahan anatar kecerobohan dan sikap pengecut. Kedermawanan adalah pertengahan antara pemborosan dan kekikiran. Demikian seterusnya.
Adapun menurut Muhammad Mutawalli al-Sya’rawi di dalam kitab tafsirnya Khawatir al-Sya’rawi beliau berkata bahwa janganlah terlalu mengulurkan tanganmu dengan membelanjakan seluruh hartamu, akan tetapi cukup dengan membelanjakan sebagian hartamu sehingga kamu masih memliki simpanan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Ia berkata bahwa penyaluran harta yang seimbang akan menggairahkan pasar dan meningkatkannya. Berbeda dengan menahan harta dan tidak membelanjakannya, maka ia akan membuat pasar lesu serta merusak roda perekonomian. Oleh sebab itu, haruslah ada belanja agar kamu turut dalam menggerakkan roda perekonomian.
Akan tetapi ¬¬-lanjut al-Sya’rawi- hendaklah penyaluran harta itu dilakukan dengan sedang-sedang saja, sehingga kamu masih tetap memiliki sesuatu sebagai cadangan dan dapat kamu gunakan untuk meraih peningkatan materi di dunia ini. Orang yang penyaluran hartanya tidak tepat sasaran/mubadzir atau berlebihan dalam belanja/israf adalah orang yang tidak akan berhasil dalam hidupnya. Dia tidak akan mengalami banyak kemajuan. Tentu saja hal demikian terjadi karena dia tidak lagi memiliki harta yang tersisa. Melalui pengarahan Allah untuk hidup sederhana ini, maka ia menjamin berputarnya roda kehidupan dengan baik dan meraih kemajuan yang bersifat kolektif maupun individu.
Dari kedua pengutaraan pendapat dua mufassir di atas, kita bisa melihat bahwa selayaknya di dalam kehidupan kita harus bisa bersikap bijaksana dalam menyalurkan harta, di mana hal ini kembali pada diri masing-masing untuk selektif dalam membedakan antara kebutuhan dan keinginan. Kebutuhan selayaknya didahulukan dari pada keinginan, dan keinginan sebaiknya bisa ditunda apabila keluarga, teman atau orang disekitar lebih membutuhkan uluran tangan atau harta kita. Sehingga sebagaimana yang telah disebutkan al-Sya’rawi tadi bahwa jika hal ini benar-benar diterapkan maka roda kehidupan akan terjamin dalam arah kemajuan baik bersifat kolektif maupun individu
Kemudian di dalam buku al-Qur’an dan kesejahteraan sosial karya Asep Usman Ismail menguraikan prinsip al-Qur’an tentang etika terapan dalam kedermawanan. ia memaparkan bahwa al-Qur’an membimbing manusia menjadi insan yang dermawan dengan prinsip-prinsip tertentu yang akan membawa mereka meraih kepuasan dan kebahagiaan sejati dalam kehidupan kini, di sini, di dunia ini, dan dalam kehidupan sesudah mati di akhirat. Prinsip itu adalah:
Pertama, melakukan kedermawanan dengan keyakinan. Penting untuk diperhatikan bahwa kita melakukan sesuatu karena kita meyakini sesuatu. Keyakinan tertinggi adalah keyakinan kepada Allah. Dalam persepektif al-Qur’an ihsan (kebaikan) harus dilakukan atas dasar keimanan kepada Allah, berserah total kepada-Nya dan melakukan ihsan dengan niat ibadah kepada Allah, dan melakukannya dengan ikhlas, serta dengan cara yang terbaik yang kita sanggup sehingga berkualitas.
Kedua, kedermawanan dalam Islam diwujudkan dengan zakat, infak dan sedekah yang merupakan manifestasi dari kesalehan individu dan kesalehan sosial. Dengan demikian hakikat berdermawan adalah mengembangkan diri menjadi pribadi yang mulia karena bersyukur terhadap nikmat Allah, peduli, dan berbagi dengan orang banyak sebagai bukti bahwa orang yang dermawan itu memliki tanggung jawab terhadap nasib sesama umat manusia.
Ketiga, kedermawanan itu merupakan proses edukasi, pengembangan diri, dan character building (pembentukan karakter). Al-Qur’an menghubungkan perintah shalat dengan perintah zakat, yang pada hakikatnya adalah menyisihkan sebagian harta yang menjadi milik public kepada yang berhak menerimanya dengan mengeluarkan zakat, infak dan sedekah. Dengan ungkapan lain, al-Qur’an mengintegrasikan keyakinan dan kepedulian dan tindakan kedermawanan.
Keempat, berorientasi pada tujuan. al-Qur’an mendorong manusia untuk melakukan kedermawanan dengan landasan iman, serat bertujuan untuk mendapatkan kerelaan Allah, sekaligus untuk membantu kaum dhuafa agar mereka bisa menolong dirinya sendiri, lepas dari belenggu kemiskinan hingga menjadi manusia sejahtera dan bermartabat lahir batin.
Dari penjelasan di atas dapat kita pahami bahwa bersikap dermawan dalam menyalurkan harta, tidak serta merta atau serampangan mengeluarkan sebagian harta yang kita miliki, namun ada beberapa prinsip yang harus dipegang oleh orang muslim di dalam penerapannya seperti mendasarinya atas keimanan, proses edukasi diri dan yang paling penting adalah mengharap keridhaan Allah swt. Prinsip-prinsip inilah yang seharusnya dapat ditanam dan dirawat tatkala hendak menyalurkan harta di jalan Allah swt. agar harta yang kita belanjakan atau keluarkan tidak sia-sia di sisi-Nya dan dapat menjadi tabungan amal kelak di yaum al-Hisab. Semoga kita termasuk di dalam orang-orang yang dapat menyalurkan harta dengan bijak dan menjadikannya wasilah dalam mendekatkan diri kepada Allah swt.
Abdul Qadir Maliki
(Dai Muda)