Iklan

Muslim Tanpa Masjid

narran
Jumat, 18 November 2022 | November 18, 2022 WIB Last Updated 2022-11-18T03:12:48Z
Agama, Religiusitas, Anak muda, Teknologi

NARRAN.ID, OPINI - Judul di atas dipakai Kuntowijoyo untuk menggambarkan fenomena kebangkitan generasi muslim perkotaan yang memiliki perhatian terhadap agamanya, tapi tidak sempat mempelajari Islam secara utuh (kafah). Mereka belajar Islam tidak lewat jalur konvensional, semisal, surau, madrasah, atau perguruan tinggi Islam. Namun, melalui media sosial yang serbaselintas, tergesa-gesa, dan cenderung reduktif, mendiskusikan tema-tema keagamaan bukan melalui kitab kuning dan pengkajian memadai, tapi cukup lewat status seorang ‘tokoh’ yang kemudian saling dikomentari satu dan lainnya.

Muslim tanpa masjid tidak lagi menganggap penting hadirnya seorang guru, tapi siapa pun yang dipandang cakap menjelaskan agama ala kadarnya ditunjang kemampuan retorika dan merangkai kata, sudah bisa ditahbiskan sebagai ‘ulama’. 

Kehebatan guru tidak diletakkan pada keberkahan dan karamah yang memancar dari wajah karismatiknya atau aktivisme sosialnya, tapi sejauh mana sosok itu memiliki followers yang banyak. Seberapa hebat statusnya tampil menjadi viral disebar ke banyak orang. Konsep jemaah digeser menjadi idola dan fan. Boleh jadi tradisi ‘cium tangan’ murid terhadap gurunya diganti dengan memijit tanda like dan kesediaan men-share ke banyak kawan. 

Tidak sampai di sana, ‘pengajian’ di dunia maya juga menghasilkan followers dengan fanatisme yang garang karena dialog nyaris tertutup dan tidak ada kesempatan melakukan pelacakan terhadap genealogi tradisi keagamaan (turats). Biasanya cara pandang keagamaannya serbadikotomi, bipolar, hitam putih, dan penuh pendakian. Siapa pun yang tidak sepaham pemikirannya dengan mudahnya dianggap kafir, sesat, dan bidah.

Sesuai dengan karakteristik media sosial, ‘pengajian’ itu dilakukan secara meloncat-loncat, bahkan nyaris setiap peristiwa yang berlangsung dikomentari. Termasuk, kejadian politik, sosial, ekonomi, resep makanan, bintang film porno, sinetron terbaru, atau perilaku rujuk dan cerai seorang  artis. 

Layaknya tema keagamaan, dalam domain politik, sosial, dan ekonomi pun tidak lagi dibutuhkan keahlian. Apalagi, ditopang akurasi data dan kajian ilmiah, yang terjadi lebih kepada gosip dan sisanya ialah hoaks lengkap dengan foto-fotonya yang sudah diedit dan diimani sebagai kebenaran.

Itulah fakta mengkhawatirkan semangat beragama tanpa diimbangi ilmu. Semacam Islam ideologis minus epistemologi. Beragama yang riuh dengan pekik provokasi, tapi miskin refleksi, gemuruh pengajiannya lebih kuat ketimbang ikhtiar pengkajiannya. Beragama yang semakin menghasilkan  militansi saling menghujat (hujatan) bukan membangun argumentasi diskursif yang kuat (hujah).

Islam tanpa masjid

Kuntowijoyo ketika menulis buku Muslim tanpa Masjid, belum dilengkapi data semarak penggunaan media sosial seperti sekarang, akan menjadi menarik lagi kalau potret hari ini yang diteropong. Mungkin bukan lagi muslim tanpa masjid, tapi Islam tanpa masjid. Kalau muslim tanpa masjid bisa jadi dari dahulu dengan intensitas berbeda sudah terjadi. Kelompok priayi dan abangan, dalam telaah trikotomi Geertz, sering kali ditandai sebagai kelompok beragama yang tidak ramah dengan rumah ibadat sebagai pembeda rumpun santri.

Tentu dalam nomenklatur Islam tanpa masjid, tidak merujuk kepada makna punahnya masjid. Tidak mustahil bangunan fisik masjid semakin banyak dan megah, tapi spirit kemasjidan yang hilang. Bahkan, fungsinya sudah melenceng dari garis roh kenabian. Hari ini kita menyaksikan, minimal terbaca melalui peristiwa pemilihan Gubernur Jakarta dan tidak menutup kemungkinan juga terjadi pada pemilihan lainnya. Bagaimana masjid menjadi ajang mempropagandakan politik identitas yang sempit, eksklusif, dan diskriminatif. Naifnya lagi mendapatkan pembenaran dari konsultan politiknya.

Masjid menjadi mimbar untuk memobilisasi massa guna menentukan garis politik yang sesungguhnya bersifat jangka pendek dan transaksional. Bahkan, sengaja demo-demo yang dilakukan mengambil momentum selepas salat Jumat saat jemaah berkumpul menunaikan ibadah.

Kalau muslim tanpa masjid mencerminkan kebangkitan generasi muslim yang mempelajari ajaran agamanya serbatanggung, susulannya Islam tanpa masjid melambangkan keislaman yang terlepas dari spirit gen masjid. Islam yang telah dibajak untuk kepentingan politik.

Semacam ‘islamisme’ yang tak pernah lelah mengimajinasikan tatanan utopis politik Islam tanpa jelas formulasi, strategi, dan wujud eksistensialnya, kecuali sekadar semangat menghantam kelompok dan ideologi berbeda yang sejak awal telah dipandang tagut dan sisanya ialah fantasi menerapkan dongengan kejayaan khilafah masa silam.

Alih-alih mengembangkan konsep kewargaan multikultural yang inklusif, bahkan yang seagama karena berbeda mazhabnya juga dianggap umat munafik.

Dalam telaah Olivier Roy (1996), islamisme hanyalah perhimpunan orang-orang buangan dari modernisme yang gagal, dengan penggalangannya berdasarkan mitos kembali ke otentisitas Islam yang sebenarnya tak pernah ada.

Sebuah gerakan yang digulirkan tanpa model politik, ekonomi, sosial yang khas dan konkret, kecuali sekadar jargon untuk menerapkan ‘syariat’ tanpa penjelasan utuh bagaimana syariat itu dioperasionalkan secara teknis-sosiologis dalam birokrasi, industri perbankan, kepartaian, dan lain sebagainya.

Sebuah  model politik yang menuntut ketakwaan para anggotanya, tapi ketakwaan ini hanya bisa diperoleh lewat mimpi bila masyarakatnya benar-benar islami. Sementara itu, persoalan laten kemiskinan, sistem ekonomi, krisis nilai, kemerosotan mutu pendidikan tidak pernah tersentuh dan tentu hal ini semakin memperjelas ilusi ‘negara islam’ tersebut.

Ijtmak ulama dan post-islamisme

Baik muslim tanpa masjid maupun Islam tanpa masjid, sebenarnya semakin membenarkan isyarat kebenaran yang dengan menarik ditulis sastrawan AA Navis dalam Robohnya Surau Kami. Tentang orang beragama yang lebih mendahulukan aspek kesalehan individual ketimbang kebajikan sosial. Lebih memprioritaskan moralitas personal daripada struktural, ihwal ‘abu Islam’ yang mengalahkan ‘apinya’. Beragama yang didominasi ajaran bayangan metafisika surga-neraka, tapi defisit imajinasi cara mengelola negara yang akuntabel dan bertanggung jawab.

Mengembalikan Islam, muslim, dan masjid kepada khitahnya inilah yang selekasnya harus dilakukan sebelum terlalu jauh terombang-ambing badai politik yang tidak jelas. Sebelum konsep ‘umat’ tergerus masa mengambang followers lewat ‘ijtimak ulama’ ke-1 dan ke-2 yang  tak karuan. Ijtimak yang isinya tak lebih hanya pelintiran ayat-ayat Tuhan dan hadis Nabi untuk mendukung capresnya.

Langkah awal tentu saja belajar agama secara tenang. Tidak cukup hafiz Alquran, tapi juga harus ada penguasaan memadai ilmu-ilmu lainnya. Ulama-ulama pesantren yang tersebar di berbagai pelosok yang mengajar dengan ikhlas harus banyak dijadikan guru untuk menyerap keberkahan agar bisa  belajar ‘pintar merasa’ bukan ‘merasa pintar’.

Gerak seperti ini yang disebut Asef Bayat (2011) sebagai upaya menghidupkan spirit post-islamisme, sebuah upaya sadar membangun konsep rasionalitas dan moralitas secara strategis untuk membatasi gerakan islamisme di area sosial, politik, dan intelektual.

Post-islamisme mewakili upaya meleburkan keagamaan dan hak, iman dan pembebasan. Menegaskan kesejarahan kitab suci, menjunjung pluralitas dari dera suara otoritatif tunggal. Kebebasan individu, pengakuan akan yang sekuler, pembebasan dari rigiditas dan penghapusan monopoli kebenaran, penyatuan agama dan tanggung jawab.

Baik muslim maupun Islam tanpa masjid, kedua-duanya kurang bagus bagi masa depan agama itu sendiri atau hubungannya Islam dengan umat lain. Kurang sehat juga bagi pertumbuhan tubuh ke-Indonesiaan yang multikultural.


Penulis : 
Asep Salahudin
(Staf Ahli Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) dan ketua Lakpesdam NU Jawa Barat)
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Muslim Tanpa Masjid

Trending Now

Iklan

iklan