Iklan

Nyai, Kebayamu Terlalu Merah!

narran
Selasa, 15 November 2022 | November 15, 2022 WIB Last Updated 2022-11-16T03:54:10Z

NARRAN.ID, OPINI -
Perih rasanya selama satu minggu penuh drama trending mbak si “kebaya merah” yang menjadi objek pemuas informasi dan pemburuan jatah hormonal pribadi akan seks. Tidak sulit memang, jika kasak-kusuk seks itu memang punya daya tarik nan magis tersendiri. Ini bukan wilayah soal siapa paling dewasa atau meraka yang sedang pengayaan usia remajanya. Jauh dari pada itu, kita memang membutuhkan itu. Kalau di era Victoria, seks dan kisahnya dikubur menjadi barang keramat dan hanya dijadikan objek bahasan kaum terdidik. Hal itu, telah memilik dampak pada usaha-usaha penuh tragedi, di mana masyarakatnya menjadikan semua alasan untuk menggapainya. Barat seolah membebaskan belenggu episteme seks itu menjadi lebih terbuka dan mengaturnya sebagai konsumsi publik lewat tatakrama moral di pusaran privasi.

 Parahnya, drama itu seperti muatalan rutin yang selalu berakhir dengan penangkapan oleh aparat yang sigap, tangkas, dan mudah. Aparat seolah hendak menghukum pidana porno aksinya, dan bukan sebab strukturnya. Lagi pula di hadapan lakon seksualitas, aroma curiga dan ingin tahu lebih tegak. Kita hendak memastikan apakah ada semacam kenikmatan lain dalam adegan si mbak kebaya merah itu. Seks dan cita rasa kita memang masih berpusar pada dimensi eros, pendekatan yang memusatkan pada energi keupasan tubuh. Si mbak kebaya merah memberi rambu yang menandakan pemusatan itu. Dalam cawan media sosial yang terbuka dan tidak terjeda, konsumsi seks terkomodifikasi. Kebaya adalah kedok dari maksud terselubung. Sekalipun pakaian itu menjadi semacam “anti fashion” berdiri atas pondasi tradisionalistas. 

Kebaya rupaya menjadi petunjuk fetis baru, entah bagaimana menjelaskan hubungannya dengan nafsu dan birahi. Padahal, di tubuh Kartini, kebaya telah menjadi simbol gerakan penyadaran peran perempuan. Di tahun yang lebih baru, kebaya menyemarakkan penghargaan karya busana bangsa yang hadir dalam hari spesial baik hari batik, pernikahan, atau konferensi. 

Bagi Kris Budiman (2004), busana punya wajah ganda yang ambigu. Di satu sisi, wajah busana tampak menarik dan menggoda. Sebaliknya, di sisi lain, busana juga punya makna kepalsuan sekaligus mengelabui. Pelaku porno aksi tidak menyangka bahwa adegannya tidak lebih viral dibandingkan pakaiannya. Warna kebaya yang meliuk dengan pinggulnya telah menjadi simbol beribu tafsir. Posisi subjek pelaku hilang diganti dengan penemuan makna “kebaya nyatanya menggoda”.

Perkara lain, kita menduga setelah ditemukan pelaku adegan itu semua perkara selesai. Kita rupanya masih nunggu cerita lengkap dan pengalaman perempuan itu. Cerita kehidupan seksualitasnya memiliki bab yang berbeda. Di sana terdapat kelompok yang lebih menikmatinya dari pada keseluruhan adegan itu. Ketelanjangan tidak sederhana, tetapi semua sisi yang menguji sasrat dan kebutuhan bertemu. Sepinya pembela perempuan sebagai korban dari desakan kebutuhan yang menyeretnya itu tak kalah menggelitiknya. Sempat bertanya, bagaimana pekerjaan yang menjadi inspirasi manusia ini dibelah dalam pandangan hukum? 

Jelas perkaranya bukan soal kebaya, pakaian adalah prodak pemikiran yang berkembang dari sekian abad. Modifikasi desain pakaian, teriilhami dari gerak industri dan semangat menguasai. Ada kelas dan selera yang dipertautkan. Kebaya adalah barang cukup terhormat bagi kalangan ningrat Jawa. Apalagi dipadukan dengan kain batik khas bermutu tinggi, menjadikannya menempati posisi sosial yang berwibahwa. Sampai detik ini, kebaya tidak sama dengan busana pada umumnya, harus ada momentum dan tatakrama tersendiri yang membuatnya satu paket dengan arenanya. Di pelataran hotel mewah, resepsionis perempuan pun sama, mereka menyambut tamu dengan kebaya nan anggun. Tetapi harus diingat bahwa ada arena yang mengikat dan pada siapa mereka menghaturkan itu. 

Merahnya Nyai!

Saat salah satu netizen twitter menyebut nama “Nyai” pada si kebaya merah, rupanya ada semacam ingatan dan subjektifikasi yang tak pernah usai. Sebagian orang masih melihat kebaya sebagai pakaian yang berbau negatif. Ada praduga kasar yang menyebutkan sebagai selir dan penjajal seks. Sejarah pergundikan di masa kolonial memang mengkonstruksi perempuan berkebaya rapih sebagai selir. Walaupun, di jaman itu kebaya sudah menjadi pakaian biasa. Pertalian kebaya dan praktek seks mengembalikan memori pahit itu sebagai pentunjuk di masa ini. 

Warna mencolok pada kebaya itu juga menyirat makna lain. Merah dimaknakan memiliki spirit tinggi dan penuh nuansa dominan. Ada “harapan bejat” kita bahwa perempuan memang memiliki habit akan seks dan lebih dominan. Figur lelaki sama sekali tidak menjadi fokus utama, sekalipun dalam adegan seks apapun bentuknya, lelaki selalu dituntut menjadi dominan. Kebaya merah juga menyisir akal sehat kita tentang wanita yang lebih dianggap membutuhkan persamaan hak, bahwa seks dan seksualitas bukan sepenuhnya wewenang lelaki di ruang publik. Sebenarnya ini bukan salah seberapa merah kebaya itu, namun perlukah kita terus memastikan perkara seks dan tetek bengeknya itu untuk dihadikan bahan pewacanaan di saat orang sebenarnya sudah diberikan jalan lebih mudah untuk mendapatkan kesempatan itu, baik secara jalan halal atau tidak.



Penulis :
Milki Amirus Sholeh
Penikmat Kajian Sosial
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Nyai, Kebayamu Terlalu Merah!

Trending Now

Iklan

iklan