NARRAN.ID, OPINI - Piala dunia kali ini benar-benar menjadi ujian berat bagi fana sepak bola seluruh dunia. Tidak saja soal tidak lolosnya kampiun Italia, Chile, dan Atau Aljazair, melainkan kejutan di luar lapangannya. Qatar si “shohibul hajjah” itu benar-benar memanfaatkan sepenuhnya bola di kakinya. Sebagai negara sejahtera di jazirah arab, Qatar melakukan perannya bahkan jauh diluar konteks acara. Daratan kecil yang menghadap laut hitam itu bagai menggelar pesta di tengah muara paling berkecamuk di dunia. Persiapan Qatar bukan soal saja soal membuat stadion spektakuler yang sulit dibayangkan kelar sebelum harlah lima tahunan itu, tetapi diplomasi politik Qatar dan unjuk kekuatan pengaruhnya benar dilampiaskan. Tercatat Qatar menyiapkan dana sekurangnya 200 miliar dollar AS hanya untuk persiapan Piala Dunia 2022 (Bloomberg, 4 Juli 2019).
Menyebut Qatar dalam olahraga nampaknya bukan asing. Keberhasilan penyelenggaraan Asian Games 2006 dan ajang bergengsi Formula1 menjadi bukti bahwa FIFA tidak salah menunjuknya sebagai tuan rumah 2010 lalu. Bukan saja soal piala Dunia pertama yang akan digelar di Timur Tengah (sekaligus di negara Muslim pertama), tetapi juga karena pemilihan Qatar saat itu dianggap cukup ”berani” mengingat dalam sejarah Piala Dunia, Qatar adalah negara terkecil (setelah Swiss, 1954) yang pernah ditunjuk sebagai tuan rumah.
Keberhasilan Qatar membangun kepercayaan dunia tidak lepas pengaruh sang “emir” Hamad bin Khalifa al Thani menjadi Amir Qatar yang dilantik pada 1995 berpengaruh dalam mengubah landscape perekonomian Qatar. Di tangan kepala negara itu, Qatar berubah menjadi kekuatan ekonomi baru di Timur Tengah. Apalagi sejak produksi gas Qatar di era ini mencapai 77 juta ton per tahun, sebuah angka yang kemudian menjadikan Qatar sebagai salah satu negara terkaya di dunia di bawah Luxemburg dan Norwegia dengan pendapatan per kapita saat itu mencapai 80,234 dollar AS (World Bank, 2008).
Ajang lima tahunan ini sedikit membuat jengkel beberapa negara tetangganya. Qatar masih cukup dipantau dalam beberapa gerakan diplomasi politiknya. Pemutusan hubungan diplomatik oleh Saudi Arabia dan rekan-rekannya menunjukkan posisi Qatar sebagai ancaman baru dalam teluk. Soft power Qatar sejak ditunjukkan sebagai ketua dalam Dewan Kerja Sama Teluk (GCC). Arab Saudi terlihat dirugikan mengingat keraguan mereka atas Qatar dapat memainkan peran lebih dalam pencaturan pengaliran minyak teluk. Di sisi lain, Saudi terus menguras anggarannya untuk secepat mungkin memenangkan perang dengan Houti di Yaman dan ancaman proxy Iran.
Kedekatan Qatar dengan beberbagai kelompok yang disinyalir oleh Saudi dan negara teluk sebagai terorisme cukup ambigu. Mengingat sejauh ini memang terdapat klateria standar ganda atas kelompok radikal versi Saudi yakni, terhubungan dengan ISIS atau Teheran. Yang jelas bendera Qatar dalam kancah dunia sepak bolah bisa dikatakan moncer tidak kalah dengan pangeran Uni Emirat Arab yang menguasai saham Manchaster City dan Sebagian saham Arsenal. Sebut saja klub Paris Saint German (PSG) dan Malaga, keduanya diambil alih melalui The Qatar Investment Authority. Belum lagi dengan panji-panji Qatar Foundation (pernah sponsor FC Barcelona) yang telah berperan banyak pada pembibitan sekolah bola dan anak-anak dunia.
Qatar Yang Niscaya
Sepakbola telah menjadi teater ekonomi dan politik yang membuat banyak pengaruh pada masyarak global. Meminjam istilah sosiolog Manuel Castell, inilah saatnya apa yang disebut dengan “collective consumption”. Sebuah era saat individu di muka bumi memiliki kepentingan dan preferensi yang sama untuk mengonsumsi secara massal ajang Piala Dunia. Dengan menjadi penyelenggara, Qatar mendapatkan banyak keuntungan besar secara politik dan pengaruh Kawasan. Negara yang diapit oleh Teluk Persia dan daratan Saudi Arabia, dapat mengabaikan atas branding isu yang membuat penyelenggaraan ajang lima tahunan dikritik. Sikap atas LGBT dan tuduhan perbudakan buruh nyatanya tidak terbukti.
Negara barat yang umumnya menjadi komentator paling pedas, tidak bisa menyangkal bahwa posisi Qatar juga amat strategis bagi Barat. Amerika bahkan memiliki pangkalan militer “Al Udeid Base Camp”, terbesar di daratan timur tengah dengan 8 ribu personel di dalamnya. Pangkalan itu juga menjadi jembatan pengaruh Paman Sam dalam konflik berdarah di Suriah dan Irak beberapa tahun belakangan.
Piala Dunia kali ini penting, bukan saja karena mungkin Lionel Messi dan Christiano Ronaldo akan bermain untuk negaranya untuk Terakhir Kalinya. Melainkan, sebuah pertunjukan keinginan menyeratakan semua bangsa untuk sama-sama bisa mengambil peran sebagai negara yang mempersatukan semua sekat sosial yang ada. Mari tinggalkan sembelit politik internal di kawasan teluk. kita harus fokus bagaimana negara pluralis seperti Indonesia bisa mengambil kesempatan bahwa kita mampu layaknya Qatar.
Pastinya, cermin multikulturalisme Piala Dunia dapat terlihat dari kehadiran para bintang lapangan hijau yang tidak hanya terdiri atas suku, agama, dan ras tertentu. Semua pemain dari latar belakang suku, agama, ras, dan golongan berbeda menyatu dalam kerja sama dengan spirit fair play, saling menghormati. Tidak berlebihan jika panggung Piala Dunia menjadi media yang sangat efektif untuk menciptakan pembauran antarwarga (melting spot) dari berbagai belahan dunia. Selamat menikmati sajian dari tim kebanggaan masing-masing.
Milki Amirus Sholeh
(Penikmat Kajian Sosial)