Iklan

Sanksi FIFA dan Ekonomi Sepak Bola Kita

narran
Selasa, 15 November 2022 | November 15, 2022 WIB Last Updated 2022-11-16T03:52:48Z

Sepak Bola, Ekonomi, FIFA


NARRAN.ID, ANALISIS - Di luar rasa kemanusiaan kita yang terluka kemudian menjalar menjadi trauma bangsa akibat meninggalnya supporter Arema di Kanjuruhan, Malang. Kita berusaha tabah melihat haru biru belasungkawa mancanegara dan ancaman sanksi FIFA bagi sepak bola kita di satu sisi. Sanksi FIFA seoalah akan menggenapi tragadi ini langsung pada pondasi struktural PSSI. Gambaran sanksi sudah banyak diwacanakan dan seoalah akan tertebak bentuknya. Tetapi bisakah kita mengantisipasi residu dari sanski itu?

Sepak bola menyedot atensi luar biasa dari berbagai lini, media dan mayoritas penduduk Indonesia. Terbesit betapa besarnya perputaran ekonomi dari olahraga yang lahir di Inggris ini. Peruntungan ekonomi tidak saja menjadi pemanfaatan tim dan sponsorship-nya. Sebagian masyarakat menggantungkan diri pada ekosistem sepak bola Indonesia. Jika pembekuan Liga 1 oleh FIFA dilakukan, maka rangkap beban pemain dan official tim yang bekompetisi akan menjadi bertambah. Ancaman ketiadaan gaji dan pemutusan kontrak pemain akan sangat mungkin. Direktorat Jenderal Pajak bahkan menilai pajak klub sepakbola kita bernilai fantastis. Apalagi jika klub tersebut merupakan yang termasyhur di Indonesia hingga bermain Liga 1. Diperkirakan, klub tersebut telah memiliki omzet di atas Rp 4,8 miliar. Jika diambil 11 persen saja sesuai dengan nilai umum pajak Pertambahan Nilai (PPN).

Gambaran di luar lapangan, banyak pabrik berdiri bahkan puluhan jumlahnya dengan skala besar hingga kecil yang mencakup ribuan pekerja di dalamnya. Bola atau sepatu yang digunakan para pemain kemungkinan juga akan dipangkas target produksinya di luar target ekspor. Sanksi FIFA akan mencoreng iklim investasi yang menyasar pada klub lokal. Media penyiaran akan mengurangi slot siaran dan berpotensi kerugian pada perusahaan media karena sponsor berhenti beriklan seketika. Selain itu terdapat ketakutan akan jedanya pemupukan kualitas pemain muda  yang tidak akan leluasa bermain di kancah internasional.

Sebagai perbandingam, investor kalangan taipan kakap dari negara Timur Tengah, Rusia, dan India yang tidak memiliki sejarah dengan sepak bola membeli klub sekadar untuk membuang "bunga deposito" dengan melihat iklim persepakbolaan Inggris yang menguntungkan dan disiplin. Itulah alasan yang melatari Lakshmi Mittal (raja baja) membeli Queens Park Rangers, Roman Abramovich (konglomerat Rusia) ex-pemilik Chelsea, dan Sheikh Mansour (UEA) mengantongi Manchester City. Seharunsya Indonesia mengambil banyak pengalaman dari peristiwa  buruk yang berbuah manis di berbagai liga di dunia. 

Ancaman sanksi juga dapat menjadi pukulan telak pada Liga 1 yang baru saja pulih dari jeda setahun akibat pandemi. PSSI melansir kerugiaan ekonomi kompetisi yang terhenti sekitar Rp 2,7 hingga Rp 3 triliun. Dampak demikian besar karena sepak bola telah menjadi industri dan menjadi lapangan kerja bagi 24.000 orang. Tidak salah jika gambaran dunia saat ini tidak lagi diatur sepenuhnya oleh sebuah kedaulatan negara, tetapi juga diatur aktor-aktor non-negara (non-state actors), termasuk dalam hal ini FIFA sebagai induk organisasi sepak bola internasional. Dalam bahasa politik luar negeri, FIFA adalah perwujudan dari yang disebut dengan kedaulatan baru (new sovereignty) yang mampu menjatuhkan hukuman disiplin langsung. 

Berharap Pundi

Selain sponsor, klub sepakbola bergantung pada naiknya level kompetisi yang mereka ikuti. Bisa jadi klub Liga 1 tidak dapat berkompetisi di level teratas yakni Liga Champion Asia. Hak siar akan dibatasi sehingga klub laga kandang kemungkinan tidak mendapatkan pundi dari sana. Walaupun sponsor merupakan penopang utama. PSSI dan operator Liga memberikan subsidi kepada peserta kompetisi. Nilainya variatif. Klub Liga 1 mendapatkan Rp 7,5 miliar. Sedangkan klub Liga 2 menerima hanya Rp 500 juta, plus Rp 400 juta jika lolos ke babak 16-besar.

Kita sudah tauh bahwa relatif sedikit sponsor yang mengajukan dana di atas 10 miliar pada klub. Pihak sponsor sangat bergantung pada naik turunnya prestasi serta besaran pengaruh supporter klub untuk sama sama mempopulerkan brand sponsornya. Penjualan apparel dan merchandise sumber lain yang diandalkan klub. Di Indonesia, sponsor apparel yang terkenal tak menjadi jaminan akan memberikan pemasukan yang besar untuk klub. Dibutuhkan biaya yang tak sedikit untuk menjual merchandise dalam jumlah banyak. Itu belum termasuk banyaknya merchandise yang bukan official dan dijual dengan harga murah.

Pemerintah harus mengambil langkah serius dan memberikan perhatian khusus pada ekosisstem ekonomi klub sepak bola kita. Bagaimanapun, klub lokal telah menjadi nadi sambung bagi pengembangan bibit pemain muda timnas kita. Agenda sebagai tuan rumah penyelenggaraan Piala Dunia U-20. Sebagai catatan Indonesia merupakan proyeksi negara dengan potensi kualitas sepak bola unggulan. 

Pemerintah tidak salah jika membentuk badan khusus yang berwewenang dalam memantau pemulihan ekonomi klub lokal. Apalagi kemungkinan PSSI mendapatkan sanksi, maka hanya klub yang terbilang dimiliki oleh para investor dengan kapital besar saja yang dapat bertahan walau meragukan. Harus ada solusi bagi mereka yang sudah sejak lama memiliki usaha seperti konveksi seragam klub dan perusahan percetakan tiket agar tidak gulung tikar lebih cepat. Di samping itu, sejumlah stadion akan menjadi monumen yang kurang digunakan. Apalagi kerusakan stadion selama ini perawatannya tidaklah murah. Sekalipun menjadi aset pemerintah daerah masing-masing, sejumlah pedagang banyak mengais peruntungan hidup dengan berjualan di sekitar stadion. Bayangkan jika Sanksi FIFA bukan hanya menjeda Liga 1, tetapi menghentikan perhelatan selama beberapa tahun. 


Penulis : 
Eric Hermawan
(Wakil Ketua Umum Kadin dan Staf Pengajar STIAMI Jakarta)
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Sanksi FIFA dan Ekonomi Sepak Bola Kita

Trending Now

Iklan

iklan