Perubahan yang sudah Nampak daapat dilihat di Bandara King Abdul Aziz, Jeddah. Pramugari dan penyambut wisatawan atau pemumpang yang sekedar transit terdapat banyak dari kalangan perempuan bekerja. Isu gender rupanya telah menjadi pintu pembuka perubahan besar-besaran Saudi sejak tahun 2016 silam.
Penelitian Oxford Group yang berbasis di London menyebut, diizinkannya perempuan Arab Saudi mengemudi kendaraan akan menambah persentase partisipasi perempuan negara itu dari 17 persen saat ini menjadi 40 persen. Apabila kelak terwujud persentase perempuan pekerja bisa mencapai 30 hingga 40 persen, akan tercipta fenomena warga laki-laki dan perempuan di Arab Saudi bahu-membahu secara maksimal dan imbang dalam mewujudkan Visi Arab Saudi 2030.
Daftar kebebasan tersebut adalah hak mengemudi kendaraan, hak menonton pertandingan semua cabang olahraga di stadion, menduduki jabatan tinggi di pemerintahan, seperti duta besar dan menteri, dan bebas bepergian tanpa harus didampingi keluarga lelaki. Penetapan kota Riyadh sebagai ibu kota untuk perempuan tahun 2020, partisipasi perempuan dalam organisasi dewan hak asasi manusia di Arab Saudi, dan hak perempuan menjabat pemimpin perusahaan negara atau swasta (CEO).
Dukungan pemerintah Saudi terhadap peran perempuan, di antaranya dengan penetapan Hanan bin Abdurrahim bin Mutlaq Al-Ahmadi, perempuan bergelar doktor dari Universitas Pittsburgh, Pennsylvania, Amerika Serikat, sebagai salah satu pimpinan Majlis Al-Shura pada 20 Oktober 2020. Penunjukan duta besar perempuan pertama Kerajaan Arab Saudi untuk Amerika Serikat, Reema bin Bandar bin Sultan bint Abdul Azis Al Saud pada 23 Februari 2019, serta pengangkatan Shuruq al-Jadaan, sebagai wakil direktur urusan tunjangan oleh Menteri Kehakiman Saudi, Waleed al-Sama’ani.
Arab Saudi setidaknya dibagi menjadi enam wilayah geo-kultural, masing-masing penduduknya mengembangkan bentuk tradisi dan kebudayaan sendiri (termasuk tata busana) sesuai karakter alam, lingkungan, struktur sosial, tingkat pluralitas penduduk, profesi warga, dan sejarah masyarakat lokal. Sekalipun persepsi kita selama ini semua pakaian Arab Saudi adalah busana islami.
Kita harusnya juga mengenal model busana masyarakat Hijaz sebelum ditaklukkan Bani Saud, dalam sejarahnya, sangat modern dan stylish. Hal itu bisa dimaklumi karena Hijaz kawasan kosmopolitan dan multikultural. Sudah sejak lama Hijaz jadi pusat niaga internasional dan perjumpaan berbagai warga dunia. Gaya berpakaian masyarakat di Arabia Timur juga tergolong modern (sebagian, ke-Barat-Barat-an) karena disinilah pusat industri, khususnya bidang migas, sehingga banyak kaum ekspatriat, termasuk negara-negara Barat (Qurthuby,2022).
Mimpi MBS
Majalah TIME edisi terbaru 16 April 2018 lalu menjadikan Muhammad bin Salman (MBS) sebagai kover depan dan bahasan utama. TIME menulis, Charme Offensive: Should The World Buy What The Crown Prince is Selling? Ketika visi MBS berhasil membuka kran keterhubungan budaya dengan barat, semua relatif terjangkau dan sedemikian memukau. Tradisi pakaian masyatrakat Hijaz kian menemukan pasarnya. Banyak orang bertanya di manakah aturan etika busana Arab Saudi dicetuskan pertama. Secara historis hal ini terkait dengan wilayah di mana kerajaan Saudi pertama didirakan yakni wilayah Diriyah, Najd. Di wilayah itulah perkembangan pengikut ajaran Muhammad bin Abdul Wahhab (Wahabi) muncul pertama kali. Sedangkan di kawasan itupula, Muhammad Al Saud mendirikan kerajaan Saudi Arabia, nama yang negara yang diambil dari namanya pada abad-18. Pertalian khusus antara etika agama pemahaman Wahabi kepada kebijakan kerajaan Saudi membuat praktek keseharian masyarakat di sana semakin kuat.
Kewajiban memakai abaya, hijab berwarna hitam semakin terasa sejak kelompok konservatif mendapatkan restu Pangeran Khalid pada tahun 1980-an. Polisi Syariah (Mutawwa) bebas melakukan pemukulan dan hukum langsung. Di tangan MBS, kebijakan itu sudah dihapus sekalipun telah menjadi aturan yang cukup kuat mengakar selama 40 tahun.
Gebrakan MBS awalnya disambut cukup meriah oleh masyarakat global terutama oleh mereka yang suka mengkapanyekan liberalisme sosial. Kini MBS tidak sekedar berbicara soal budaya hidup dan pakaian. Diplomasi MBS kini bertaring lewat pengaruh di OPEC dan kedekatannya sengan Cina dalam pengembangan beberapa proyek pentingnya. Presiden AS Joe Biden, nampaknya memang tidak menyukai langkah MBS dan mengancam dengan “konsesekuensi” yang kemudian direspon serius oleh pangeran arab yang belakangan viral. AS sebagai eksportir tradisional senjata bagi Saudi nampaknya tidak cukup puas. Ketergantungan pada minyak timur tengah, membuat AS melakukan diplomasi. Salah satunya dengan mendekatkan Israel dan Saudi dengan kepentingan atas musuh bersama mereka yakni Iran.
Gerakan perubahan MBS sebenarnya disambut kalangan muslim moderat karena dianggap memutus paradigma lama akan Saudi yang dituduh sebagai penyuplai pafam fundamentalisme dan ekstremisme agama. Bahkan MBS berkali-kali menegaskan akan menahkodai perubahan ini secara saksama. MBS menyatakan bahwa yang dapat menghentikan langkahnya hanya “kematian”. Penghapusan marginalisasi perempuan dan membukan trend publik global seperti pameran busana, konser, dan bioskop tidak pernah dibayangkan terjadi di Saudi yang sudah begitu kuat dengan pengaruh tradisi Badui.
Gelombang moderenisasi MBS yang bermimpi bahwa jazirah arab adalah eropa baru di masa yang akan datang. Ketakutan beberapa pihak memang ada, mengingat Saudi masih dimimpikan sebagai nahkoda dunia Islam karena memiliki kunci utama sejarah permulaan Islam. MBS mungkin melihat dunia Arab sebagai dunia dongeng yang nyata namun selalu dikalahkan. Kini kejutan lain dari mimpi itu akan lebih banyak terjadi dari pada halusinasi.
Penulis :
Milki Amirus Sholeh
(Penikmat Kajian Sosial)