Iklan

Sebuah Pagi Di Angkutan Umum

narran
Sabtu, 19 November 2022 | November 19, 2022 WIB Last Updated 2022-11-19T07:23:14Z

Manusia, Metropolitan, Sastra,


NARRAN.ID, SASTRA - Hari Senin lebih menakutkan dari pada hari kiamat. Begitulah keluhan pekerja kantoran Jakarta, di mana mereka setiap pagi harus berjibaku dengan kepadatan dan tujuan masing-masing. Saya berpikir keras bagaimana sampai di ruangan dalam kondisi tenang dan tak tergesa-gesa. Sempat berpikir membawa kendaran pribadi, tapi apalah daya takut makin tua di jalan.

Saya putuskan naik angkutan massal yang sudah terintegrasi. Kebetulan jalur dari rumah ke kantor terkenal memuakkan. Apalagi kesan angkutan umum masih “ngeri-ngeri” sedap, tapi tak apalah karena memang apa susahnya menjadi bagian dari mayoritas masyarakat yang bertanggung pada mode kendaran itu.

Pertama naik Bus Way waktu lalu, kepadatan di dalam bus sangat sesak, sulit mendapatkan kursi. Bahkan ada yang berdiri dari titik dia berangkat dan sampai ke tujuannya. Padahal durasi jalannya se-jam lebih.”Gempor kaki kalau gini,” keluh benarku.

Namun situasi ini beda, lengang dan disambut dengan murah senyum. Kecemasan akan kemacetan terasa luruh terurai. Saya melihat kursi semakin bagus, mode pengaman semakin kokoh. Supirnya “klimis” berkopyah dan murah senyum. 

Saya jadi teringat dan mulai mengamini kecap budayawan Ehma Ainun Nadjib atau Cak Nun, “modernnya sebuah negara bisa dilihat pada bentuk angkutan umumnya,”. Dulunya saya kira jika pertumbuhan perkantoran dan tingginya pencakar langitlah, simbol dari kejahteraan hibah moderenisasi itu pada negara ini.  

Terlihat remaja Belia duduk di samping saya sekitaran usia 15 tahun.

“Sekolah dek?” mulai sapaku pada anak itu.

“Enggak bang,” 

“Jadi mau kemana?”

“Mau kerja di Senen bang,” jawabnya buatku heran.

Saya kaget, di usianya masih belia tapi tekadnya mencari nafkah sudah ada.

“Rumahmu di mana,? 

“Bogor bang,” 

Mukanya  tersenyum, tapi dadaku terasa mengernyit. Betapa malasnya diriku dibandingkan dengan anak itu, padahal sudah tersedia kendaran dan pekerjaan yang sudah lumayan.

Saya perhatikan barang bawaanya, terlihat kardus cukup besar di sampingnya dan beberapa bungkusan entahlah apa itu isinya gumam pikiranku.

Tak lama ibu-ibu dari arah depan Bus bejalan ke belakang berpegang erat pada Belt.

“Nak masih ada?” tanya ibu itu ke anak di sampingku.

Kaget sekaligus heran apa isi kardus di samping kakiku itu.

Perlahan anak itu menggerakkan tangan semacam kode angka. Dia membuka kardusnya, ternyata isinya donat dan cemilan tradisional. kali ini kepala makin gusar. Bukanya tidak boleh jualan di angkutan umum begini.

Ibu itu memasukkan makanan itu ke kantongnya dan memberikan beberapa uang bayaran. Rupanaya bukan satu, beberapa orangj juga datang dan membelinya. 

Saya bertanya kenapa petugas membiaknanya, apakah ini bukan resiko jika mereka dilaporkan atas rasa ketidaknyamana. Petugas justru tersenyum melihat transaksi jual beli mereka.

Tak lama anak itu berdiri untuk keluar dan pindah rute ke Pasar Senen. 

Rasa saya penasaran saya akhirnya tumpah, memberanikan bertanya pada penumpang yang barusan memberi dagangan anak itu.

“Dari mana ibu tau anak itu jualan?” tanyaku pelan.

“Dulu sering di jembatan penyebarangan halte kok mas jualannya”

“Kok bisa sampai sini (dalam bus) buk?” 

“Kalau jualan dia selalu pakai seragam sekolah, salah satu petugas mempersilahkan jualan di bus tapi dengan syarat gak pakai seragam,”

“Lah bukannya dia bilangnya kerja di Senen buk?”

“Oh kalau itu dia tidak enak saja sama mas, mungkin dia jarang lihat mas naik bus”

Perasaanku tersindir tetapi memang adanya demikian. 

“Terus dia kemana buk?”

“Biasanya langsung balik ke sekolahnya, semua seragamnya di bawah barang jualannya itu”

“Orang tuanya kemana?”

“Entahlah anak itu cuma bilang ini buat kebutuhan mamahnya,”

“Yatim maksudnya bu?” 

“Entahlah, kasian dia,”

Aku tak melanjutkan pertanyaan kembali. Itu anggukan aku terakhir menutup perbicangan singkat itu. 

Angkutan umum adalah laboratorium manusia. Kita bisa menyelidiki bentuk pemerintahanhya, kondisi SDM-nya, struktur hukumnya, bahkan stratifikasi sosial masyarakatnya.

Tepat jam 8:32 WIB saya tiba di kantor. Badanku bisa rileks tetapi gumam benakku belum melihat anak di bus. Aku pikir semakin majuanya transfortasi membuat masyarakat kita semakin individualis. Namun ternyata masyarakat kita masih memiliki nurani. Kini kesalahan besarku adalah tidak menjadi pembelinya di pagi ini.


Penulis :
Eric Hermawan
(Wakil Ketua Umum KADIN Indonesia)

Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Sebuah Pagi Di Angkutan Umum

Trending Now

Iklan

iklan