Bising-bising parau gemersit reranting yang tumbuh penuh ego dan mati dalam ketidak mengertian adalah satu dari hikayat halaman dengan sejuta masa kisah manusia. Dengan patok-patok bisu bertulis huruf dan angka, angin mulai mengeja nama mereka buat disiarkan kepada mereka yang masih hidup dan berpura-pura akan abadi.
Pak Rahbini sang penjaga makam yang sejak zaman bahuela telah mengenal sekat gerak kaki tanah yang telah menghidupinya dengan keluarganya. Baju safari dengan sarung yang mengikat lehernya tak ubahnya kain kafan yang kelak akan ikut mengantarkannya juga. Beribu-ribu kali pupil matanya menuliskan nama jenazah yang datang untuk tumbal rezekinya. Baginya kematian merupakan kebahagian sekaligus rezeki bagi hidupnya. Kematian merupakan kebahagian dan dirayakan layaknya kelahiran kehidupan.
“Pak tolong buatin makam dengan panjang 17.8. cm, dan jangan lupa buatkan di area yang tanahnya paling bagus disini” perintah lelaki dengan jas hitam berkerah.
Muka pak rahbini mulai bergelombang sedang gerak jarinya masih dengan sepuntung rokok kretek. Dia mulai linglung di tengah pancaroba politik bangsa saat ini aroma naïf mulai masuk dalam ketenangan pemakaman. Baginya bayangan Negara tidak lebih damai lingkungan pemakaman. Tak ada saling tuduh dan hujat menghujat antar nisan. Tak ada tanah yang diserobot oleh kontraktor, tak ada illegal loging mereka sangat puas dengan satu patok nancap di ubun-ubunnya.
Camar-camar mulai mengoceh di atas pemakaman dengan nada tak ramah mendendangkannya pada tangkai dan dedaunan. Mereka seolah protes atas jasad baru yang akan menghuni jembatan tanah kirap akhirat itu.
“Ingat pak jangan sampai ada yang cacat, sebab ini merupakan pejabat besar Negara. Itu sebabnya harus mendapatkan tempat yang layak dan bagus”. Tekan si jas hitam.
Gagak hitam makin tertawa lebar dengan terikan kegembiraan, terlihat sangat senang karena lingkungannya akan kedatangan orang besar. Sorak sorai suaranya mencemari langit sore. Sang camar putih berkeliling ,mencari sokongan penolakan terhadap mayat penghuni baru. Bagi camar, makam bukan tempat investasi melainkan pengukuran jejak kelakuan semasa hidup jadi tak ada mendua baginya.
Lintingan rokok kretek terus dia pelintir demi mendapatkan sebuah teman. Malam Pak Rahbini. Baginya kebersamaan di bulan purnama tak lebih indah dengan teman-teman damai di hadapannya. Pak Rahbini mendapatkan alunan sendawai angin dari kepiluan pemakaman. Lampu pernak-pernik baginya tak mengisaratkan sebuah tujuan hidup.
Sepintas radio kuno 70-an mengusik telingannya yang tenang, sebuah siaran terkini yang di bawakan dengan nada pelan memberitakan kematian pejabat Negara yang wafat akibat serangan jantung. Dalam berita tersebut di bacakan satu demi satu jasanya demi menghormati ataukah sebuah kehormatan. Hal itu di sebutkan ketika dia mati. Pejabat Negara tersebut dalam petikan berita akan di makamkan secara hikmat di pemakaman umum pahlawan Kalibata. Berita yang menggema seatero negeri tersebut hanya di tanggapi dengan segumpal asap rokok kretek hasil buatannya.
Tak salah lagi, mayat itu adalah pejabat yang dia akan tanam besok pagi. Dengan cangkulnya yang bengkok dengan mata pacul yang mengarat dia gali istana pahlawan-pahlawan KaliBata. Dia sangat hafal setiap pangkat yang di galikan olehnya. Mulai Jendral, Menteri, Anggota Legislatif, bahkan keluarga Presiden juga numpang untuk besar walaupun lewat gundukan tanah makam pahlawan.
Banyak motif meninggalnya mereka, ada yang sakit,, ada yang mati karena terlalu tamak memegang jabatan sehingga tak mempedulikan masa usianya yang tak seimbang lagi. Semuanya tumpah ruah di tanah yang tak berdosa namun harus menanggung kepalsauan itu.
Pak Rahbini tak mau berpikir jauh tentang mereka semua. Karena diantara mereka juga ada yang wafat secara terhormat tanpa harus mengikutkan nama gelar dan pangkat ketika mereka mati. Mereka dimakamkan tanpa diarak bahwa terkadang tak ada orang yang tau bahwa yang wafat pahlawan.
Tangan Pak Rahbini memutarkan pulir channel radio bosan mendengar rengek kematian. Setiap malam baginya merupakan sebuah penghargaan karena telah menjalankan amanah menjaga dan mengawasi makam-makan para pahlawan. Baginya itu satya lencana tak berbintang yang dipanggulkan kepadanya. Senyumnya mulai menari, ujung pita bibirnya yang menghitam oleh asap rokok.
Matanya selalu tertuju pada satu titik fokus. Entah apa yang dicoba di terkanya, bulir matanya memang tak setajam dahulu tetapi untuk melihat apa yang terjadi saat ini.Dia tak perlu mendatangi kota dan bertanya apa yang terjadi. Baginya keluh kesah malam arwah pahlawan atas apa yang melanda negeri ini cukup menggetarkan jiwa Pak Rahbini.
Kabar dari makam yang didapat olehnya dijadikan informasi tunggal yang terbebas dari kepentingan apapun. Tak ada pula yang lebih mengagumkan daripada mendengarkan teguran dari kematian dan nasehat dari kuburan.
Selama ini masyarakat melihat pak Rahbini sering berbicara sendiri dan tak peduli dengan desas desus orang di sekelilingnya yang membicarakan apa yang ia lakukan. Banyak orang menyebutnya tukang gali kubur gila. Masyarakat kurang kerjaan menyulut perkataan tak amoral kepada Pak Rahbini dengan mengumpat orang tak waras.
Menjadi gila di tengah-tengah orang sakit mental dan tidak religius, cukup menenangkan dirinya ketimbang menjadi gila di tengah kerumunan masyarakat tak berdosa serta mengambil hak mereka untuk di jadikan hak milik pribadi mereka.
Para koruptor bagi pak Rahbini lebih gila dari pada penghuni rumah sakit gila. Mereka sepatutnya menjaga tetapi dengan mata terbuka mereka meraba-raba kantong wong cilik dan menggasak milik mereka sehingga mereka harus menjual masa depannya demi sesuap nasi.
Camar putih sejak pagi tadi mengintip malu karena suaranya tak di dengar oleh siapapun. Mata kecilnya memandang Pak rahbini yang mulai menggarisi tanah galian untuk penghuni baru. Camar putih itu ingin meneriaki Pak Rahbini untuk tak melanjutkan galiaanya tetapi lagi-lagi kuasanya tak sampai pada pak Rahbini. Kelakuan camar putih di tertawakan oleh gagak hitam yang sejak petang mematung di atas nisan, tak sabar menunggu mayat yang datang.
“Pak beberapa menit lagi jenazahnya akan tiba, jadi makam ini harus siap, karena kasian jika mayatnya kepanasan menunggunya,” pesan lelaki dengan kopyah hitam .
Patok pengukur telah diangkat oleh pak Rahbini. Dia masih sibuk menggali tanah di pinggiran tepinya agar mayat mudah masuk tanpa prasarat berat layaknya pejabat yang bisa masuk di manapun asal bawa jabatan dan gelar.
Gerutu penghuni makam sudah tak segemuruh ketika malam.mereka diam tanpa jawab. Camar putih mulai kebingungan bagaimana caranya mayat tersebut jangan sampai dimakamkan. Dia kawatir pejabat yang mati merupakan buronan koruptor yang kemudian mati, masih saja mendapatkan belas kasih dari masyrakat.
“Siapa nama yang wafat pak, apakah dia negarawan, budayawan, ataukah makelar?” tanya Pak Rahbini dengan lantang dari dalam kuburan yang belum selesai.
“Wah..hati-hati kalau bicara pak, dia mantan pejabat pajak. Dia sangat di hormati seantero negeri. Jasa-jasanya pun terbilang banyak bagi bangsa ini. Jadi kami pikir, dia berhak di sandangkan sebagai pahlawan.” jawab lelaki berkopyah.
Pak Rahbini nampaknya tak senang dengan ungkapan lelaki tadi. Diapun tak ingin melanjutkan perbicangan yang penuh kenaifan itu.
Pak Rahbini melontarkan kata “Apakah kau mendapatkan hasil dari kepahlawanan dia semasa hidup?” pertanyaan Pak Rahbini makin tajam.
Mulut yang tadi tangkas melonglong kepahlawan jenazah kini dia tertunduk lesu memikirkan entah apa yang akan dijawabkan kepadanya.
“jika engkau tak mendapatkah kepahlawanan dia, masihkan kau berkelakar dia pahlawan bagi kesejahteraanmu?” lanjut pak Rahbini.
Lelaki tadi pergi meninggalkan pak Rahbini dengan sekujur tubuh menggigil. Nampak dari jauh di memutar haluan dari jalan awal dia datang. Cangkul makin lama makin kencang mengayuh. Pak Rahbini naik dari liang lahat menjemput udara segar dari pengatnya alam kubur bakal rumah sang pejabat.
Dari jauh iring-irngan mobil dengan plat merah dengan angka kecil mencoba memamerkan bagusnya merek mobil dan setara gengsi yang disuguhkan di matanya. Mereka berjalan dengan serangkaian bunga dan foto jenazah semasa hidup dengan lencana dan kasta gelar yang di menempel di jas bajunya.
Di dalam bingkai foto tersebut Nampak bahagia sumringah. Entah apakah dia bisa tertawa lebar di ruang kerja barunya yang baru yang tak ber AC dengan meja dan kursi menyatu. Di belakangnya aransement lagu sedih coba dipikatkan untuk menambah nuasa kelabu padahal matahari menertawainya.
Pak Rahbini menyingkir karena baginya tugasnya sudah kelar. Dia berdiri di bawah pohon beringin. Di dalam dadanya berdengung hebat. “Kasian istri dan anak-anaknya”.
Proses penguburan di hadiri oleh petugas keamanan yang berbaris di pinggir kuburan dengan senapan mengarah keatas. Dengan hitungan moncong laras panjang memuntahkan isi keluhnya. Pejabatpun perlahan masuk ke liang lahat. Dari jauh camar putih berteriak menolak atas di masuknya pejabat tadi.
Sang gagak akan sangat berterima kasih jika setiap malamnya akan di temani aungan kegelisahan penghuni makam baru dan siapa lagi jika bukan pahlawan kesiangan. Akhirnya dia terbang melanglang buana mengabarkan ke semua benda hidup yang telah dibunuh nuraninya, bahwa pejabat pajak tanah telah mendapatkan tanah yang benar-benar layak .
Pak Rahbini menurunkan songkok nasional-nya yang lusuh memerah di bakar matahari. Sebagai rasa hormat pada jenazah. Dia melihat istri dan anaknya yang berpakaian hitam duduk di samping kuburan menuangkan air melati dan kemudian bunga. Bahkan untuk terakhir kalinya dia akan mencium wewangian. Kemudian sang anak membacakan mantra agama sebagai penyejuk yang tak mungkin pula dia mengharap udara kantor ketika hidup.
Para petugas keamanan mulai menarik diri mereka dari pemakaman yang menghitam bukan saja karena pakaian namun semua penghuni makam menatap kelabu. Udara yang dibawa angin mengucapkan salam terakhir kepada sang pejabat tinggal nama.
Pak Rahbini mulai melangkah kakinya untuk menghilangkan pengat dari nuansa lumrah baginya. Dia ingin menunggu malam tiba karena baginya malam adalah keluhan atau keindahan pertama sang mayat yang masih diguyur melati.
“Aku menunggu kehadiranmu nanti malam wahai pejabat” ketus hatinya sambil merangkai tawa kecil.
Di malam hari pak Rahbini sudah duduk di pinggir kuburan. Menunggu jawaban kebisuan sang pejabat dari dalam kuburan. Kemudian dia mengeja nama sang pejabat yang di tulis dengan huruf tebal. Di bawahnya tertulis angka kematian 17 agustus 2019.
Dalam benak pak Rahbini berkecamuk tanya. Benarkah kemerdekaan telah mati bersama sang pejabat lalim ini. Ataukah kemerdekaan sedang menunggu darah dan nyawa lagi.
Beberapa waktu kemudian dia tak dapatkan jawaban sedikitpun dari dalam kuburan, dia membacakan dengan doa sebagai seorang beragama. Hanya beberapa kata yang keluar dari mulutnya “Semoga engkau tau arti merdeka disana pak pejabat”.
Eric Hermawan
(Wakil Ketua Umum KADIN Indonesia)