(Foto: www.klikhukum.id) |
Sesungguhnya keempat belas isu krusial tersebut bisa terjadi karena rumusan normatif pasalnya tidak memenuhi syarat lex certa atau tidak sejalan dengan standar nilai umum yang berlaku dan diakui masyarakat, atau ada kesalahpahaman mengenai ideologi konsep demokrasi dan HAM. Bahkan jika diamati lebih dalam terdapat 80% norma yang terdapat pada KUHP 1946.
Namun, ada pula yang mengkawatirkan pada tataran implementasinya, keraguan masyarakat adalah melihat kenyataan praktik penegakan hukum selama ini yang mana sering terjadi penyalahgunaan wewenang dalam penerapan ketentuan KUHP. Dalam praktik sering terjadi yang nyata bersalah dibebaskan sedangkan yang nyata tidak bersalah menderita kerugian baik material maupun immaterial.
Anda bisa bayangkan UU itu jika sah nantinya tidak memiliki imajinasi yang jelas dari aspek positifnya. Demokrasi membutuhkan imajinasi agar konseptualisasi semua turunanya dapat dibayangkan masyarakat. Azar Nafisi ilmuan politik kenamaan AS dari John Hopkins University menggugah kita dengan sebuar pertanyaan “mengapa demokrasi AS dapat berkembang dengan baik?” jawabannya karena masyakatnya terbiasa melakukan reka-reka imajinasi untuk masa depannya. Bayangkan jika sebuah undang-undang baru di AS keluar namun tidak ditemukan pengandaian yang justru memberikan kemaslahatan, tentu jawabannya sudah jelas yakni kritik bahkan demonstrasi.
RUU berisi 700 pasal itu dirumuskan oleh anggota DPR RI dan sejumlah pakar hukum dari ranah publik. Karena keterbatasan peran publik membuat RUU KUHP seolah beradu lari. Banyak beranggapan bahwa UU KUHP jika disahkan lebih menjadi alat menghukum dari pada menjadi alat mengantisipasi pelanggaran.
Sebagai contoh, Di luar 14 masalah krusial itu, ada banyak pasal lain yang lentur sehingga tafsirnya bisa dibelok-belokkan sesuka hati para penegak hukum. Misalnya, soal penghinaan kepada lembaga atau menghukum para gelandangan dengan denda Rp 1 juta. Alih-alih mengentaskan kemiskinan dan mendorong pemenuhan hak-hak warga negara, pemerintah lebih senang menghukum mereka karena miskin.
Komisi III DPR RI yang membidani persoalan hukum lebih tertarik melakukan pendalaman obrolan antar fraksi DPR RI dari pada mendegarkan seruan publik. Kini telah sah menjadi UU KUHP, kita harus siap-siap menjelaskan secara luruh dan jelas. Jika tafsir dikemudan hari jomplang dan dijadikan palu gada untuk memukul kaum yang lemah maka sudah mustahil diputarbalikkan.
Bolehlah, bahwa memang perencanaan gagasan mengubah KUHP telah muncul sejak lebih dari setengah abad lalu. Hukum pidana yang berlaku saat ini dianggap sebagai produk pemerintahan kolonial Belanda lantaran bersumber dari Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch-Indie. Selain karena sejumlah pasalnya dinilai sarat kepentingan penjajah, revisi diperlukan untuk menampung rumusan baru bagi sejumlah delik pidana.
Kecenderungan DPR yang enggan membahas kembali draf RUU KUHP menuai kritik. DPR telah kehilangan fungsi pengawasan kerja pemerintah, termasuk fungsi legislasi untuk berperan aktif dalam pembahasan undang-undang. Terdapat banyak pasal-pasal bermasalah jika DPR dan pemerintah berkeras mengesahkan RUU KUHP. Paling concern pada pasal-pasal yang sebenarnya sudah dicabut Mahkamah Konstitusi. Pasal-pasal lain yang dianggap memiliki celah abuse of power terdapat pada Pasal 85 tentang Pidana Kerja Sosial, Pasal 98-100 terkait pidana Mati, Pasal 218-220 tentang Penyerangan Kehormatan Presiden atau Walik Presiden, Pasal 411-412 tentang perzinahan, serta Pasal 433 terkait pencemaran. So, bagaimana selanjutnya? (Red).