NARRAN.ID, OPINI - Sistem demokrasi yang dipakai di Indonesia mengasumsikan membuka peluang bagi warga negaranya untuk mengambil keputusan yang didasarkan pada usalan atau kesepakatan mayoritas secara bebas. Hak atas kebebasan berpendapat dalam konteks di Indonesia digunakan untuk mewujudkan pemerintahan yang akuntabel dan patuh terhadap kepentingan umum. Secara konstitusional, jaminan kebebasan berpendapat termuat dalam UUD 1945 pasal 28 E ayat (3) dan diperkuat oleh UU No. 9 tahun 1998.
Perkembangan teknologi memicu munculnya kesadaran bersama terkait langkah terbaik untuk mengartikulasikan nilai kebebasan berpendapat dan perlindungan atasnya. Hak tersebut haruslah dipahami secara proporsional, mengingat urgensi atasnya berkaitan agar setiap orang bisa memangku hak asasi manusia yang sama, terlepas dari apapun latar belakangnya. Semua dilakukan agar semua orang bisa mendapatkan hak nya sebagai warga negara yang adil dan Makmur. Jhon Locke, dalam karyanya “The Second Treaties of Civil Government and Letter Concerning Toleration”, menuturkan bahwa setiap individu dikaruniai hak yang melekat untuk hidup serta kebebasan kepemilikan yang merupakan milik mereka sendiri dan tidak dapat dicabut oleh negara.
Namun demikian, jaminan itu tak sejalan dengan fakta yang ada di lapangan. Laporan dari Amnesty International mencatat bahwa sepanjang tahun 2020 terdapat 132 kasus dugaan pelanggaran hak atas kebebasan berekspresi dengan menggunakan UU ITE, dengan total korban sebanyak 156 orang. Tahun berikutnya, kasus itu masih ada dan terakumulasi sebanyak 56 kasus dengan total 62 korban. YLBHI juga mencatat bahwa banyak pelanggaran terhadap hak kebebasan berekspresi warga sipil. Berdasarkan catatan akhir tahunnya, YLBHI menerima setidaknya 104 kasus pelanggaran hak sipil yang 80% adalah kasus kebebasan berekspresi.
Hal di atas menunjukkan bahwa kebebasan berpendapat terus digerus para elit politik sebagai cara untuk membungkam kritik terhadap mereka. Penangkapan seseorang akibat mengekspresikan pendapatnya, baik dilakukan melalui lisan ataupun tulisan adalah bentuk nyata dari pembungkaman itu. Penangkapan pelaku mural yang melukis wajah Presiden Jokowi bertuliskan 404: Not Found adalah contoh lain dari pembungkaman. LBH Jakarta juga menilai bahwa tindakan penghapusan mural merupakan bukti nyata kerdilnya demokrasi di Indonesia.
Terbaru, Aliansi Masyarakat Sipil melakukan aksi bentang spanduk penolakan terhadap RKUHP yang akan disahkan oleh pemerintah. Peristiwa itu kembali disikapi secara represif oleh aparat kepolisian yang selama aksi berusaha membungkam dan melakukan kekerasan verbal. Sebagai contoh, Asfinawati menyebut banyak peserta demonstrasi penolakan UU Cipta Kerja mengalami tindakan kekerasan dan pemidanaan. Pada kasus tersebut, YLBHI mencatat sekitar 20 masyarakat sipil peserta demo yang diputus bersalah oleh majelis hakim
Negara yang menganut sistem demokrasi harusnya mengakui dan memberikan penghargaan kepada HAM. Hubungan antara kebebasan berpendapat dalam demokrasi menjadi prasyarat terwujudnya prinsip akuntabilitas dan transparansi yang utama bagi perkembangan perlindungan HAM. Kebebasan berekspresi merupakan hak bagi semua orang yang harus diberikan. Kritik yang dilontarkan kepada pemerintah bukan semata-mata pelanggaran hukum, sebab kebebasan berpendapat itu dijamin konstitusi negara.
Tapi kita jangan melupakan bahwa setiap kebebasan individu dalam berpendapat juga dibatasi oleh kebebasan orang lain. Sebabnya, kebebasan tidak terdiri dari melakukan apa yang kita suka, tetapi memiliki hak untuk melakukan apa yang seharusnya. Karenanya, Benjamin Franklin, politikus sekaligus pendiri Amerika Serikat, mempertegas bahwa “tanpa kebebasan berpikir, tidak ada yang namanya kebijaksanaan dan tidak ada yang namanya kebebasan publik tanpa kebebasan berbicara."
Farid Abdullah Lubis
(Aktivis Himpunan Mahasiswa Islam)