Keinginan itu sirna, kini majalah itu izin pamit dan tidak lagi berproduksi. Publik setengah-setengah menanggapinya. Bagi masa kecilnya sering membacanya tentu penuh kecamuk betapa berharganya majalah itu. Dijual dengan kisaran harga menengah ke bawah membuat semua anak-anak dari lapisan sosial dapat menjangkaunya.
Kepergiannya seperti membawa pesan bahwa percetakan majalah ini akhirnya menyerah dari serangan digitalisasi. Di sisi jauh, ada perubahan budaya membaca dari anak-anak kita. Pengenalan budaya digital pada usia dini adalah salah satu indikatornya. Majalah Bobo dibunuh oleh pemirsanya. Jadi tidak jarang istilah dewasa belum waktunya nampaknya tidak keliru.
Orang tua kita lebih merasa aman jika anak sudah diam dengan diberikan gadget ditangannya. Sebagian besar anak-anak Indonsia kian beradaptasi dengan perubahan. Hal yang mesti disukuri sekaligus kita kawatirkan. Mereka sudah lebih peka pada kisah dan cerita dunia yang maha luas ini. Bayangkan dengan cerita Bobo yang jenaka dan sederhana serta penuh nilai moral, indah bukan!. Sekarang, di usia belia mereka sudah tau isu perselingkuhan dan caranya melakukan “prank” kepada temannya.
Mereka juga akan melakukan video call dengan sanak saudara yang tinggal berjauhan. Meskipun sang bayi tidak mengerti apa yang mereka lakukan, apa yang mereka perbincangkan, tapi para orangtua tetap saja terus bercanda dan berkomunikasi dengan sang bayi secara virtual.
Iya memang bayi tidak mengerti apa-apa. Namun itulah kenyataan bahwa seorang anak manusia zaman sekarang, sejak bayi sudah berkenalan dengan teknologi canggih. Digitalisasi tak dapat dielakkan meskipun yang bersangkutan belum mengerti sama sekali.
Dari mana mereka mendapatkan percontohan di atas? Mungkin dikarenakan suplai dari pengalaman orang tua yang sama-sama tumbuh dengan rasa kecewa dan terpaan media sosial. Anak-anak yang masih ingat dengan kisah Bobo dan teman-temannya mungkin sudah tidak lagi menemukan percontohannya di dunia nyata. Seoalah-olah semuanya seperti sebuah paradoks.
Migrasi analog ke digital berdampak luas dalam berbagai kehidupan manusia, tidak saja terhadap dunia penyiaran Indonesia, namun juga berakibat pada perkembangan generasi milenial (Stafford dan Griffis, 2008) atau generasi Y yang pola komunikasi, interaksi, pengambilan peran, serta pemenuhan kebutuhannya sangat dipengaruhi teknologi.
Berbekal fakta sejarah ini, generasi Y dapat menggunakan pengetahuan, pengalaman, dan skill teknologi digital yang lebih optimal untuk mewarnai digitalisasi penyiaran 2022 yang mengalami evolusi teknologi, ketika kondisi penyiaran tidak lagi bersifat searah, namun dapat interaktif dalam berbagi bentuk platform berbasis internet.
Kita sudah tidak akan lagi menemukan orang tua yang mendongengkan pada anaknya sebelum tidur. Padahal, masih banyak di negara-negara eropa sana, orang tuanya masih memberikan kesempatan waktu untuk anaknya dengan kisah-kisah sederhana dan diulang-ulang. Imajinasi kecil itu akan diingat oleh anak-anak sampai dewasa.
Budaya baca kita sangat buruk, malasnya kita pada budaya dongen juga menjadi indicator buruknya komunikasi dan literasi kita selama ini. Jim Trelease, penulis buku best seller The Read-Aloud Handbook: Membaca Buku dengan Nyaring, Melejitkan Kecerdasan Anak (edisi terjemahan, terbit 2021) bercerita banyak bagaimana membacakan buku secara nyaring penting bagi perkembangan anak. Membaca 30 menit sebelum tidur, membacakan secara nyaring dan melibatkan anak terhadap proses membaca penting dalam membangun budaya baca.
Blackmore dan Ramirez (2006) dalam Baby Read-Aloud Basics Fun and Interactive Ways to Help Your Little One Discover The World of Words menyebutkan beberapa manfaat dari membaca nyaring sejak dini. Mulai dari mempromosikan keterampilan mendengarkan, meningkatkan jumlah kosa kata yang didengar bayi, mengembangkan rentang perhatian dan memori, membantu bayi mempelajari kata-kata yang tidak biasa. Ada banyak hal positif didapat ketika orang tua aktif membacakan buku-buku kepada anak, baik bersifat akademik maupun keeratan psikologis. Meskipun untuk konteks Indonesia hal tersebut sangat bias kelas menengah atas.
Kini Bobo sudah tiada dan bersemayam dalam ingatan pembacanya. Kita akan kesulitan menemukan kembali kisah jenakanya. Terimakasih Bobo!