(Sumber: theindianexpress.com) |
Semenjak awal pandemic hingga tahun ini sudah terdapat beberapa nama yang capaiannya telah dianggap mendorong perubahan signifikan dalam dunia ekonomi global. Bahkan analisisnya dianggap telah mampu menyelesaikan persoalan serius terutama dalam menganalisis hal sesuatu, di mana teori ekonomi sebelumnya tidak pernah dibicarakan. Berikut tokoh dan kontribusi para peraih Nobel bidang ekonomi;
Tahun 2022
Tahun ini Nobel ekonomi diraih oleh tiga ekonom dari Amerika Serikat (AS) yakni; Ben Shalom Bernanke dari The Brookings Institution, lembaga riset kebijakan publik di Washington, DC; Douglas Warren Diamond dari Universitas Chicago, Illinois; serta Phillip Hallen Dybvig dari Washington University St Louis, Missouri.
Ada alasan khusus mengapa komite Nobel menyebut riset ketiganya meletakkan pondasi bagi studi perbankan modern. Temuannya, resep kebijakan moneter kebijakan yang mengatur peredaran uang pada dasarnya bersandar pada peran sentral bank sentral sebagai penjaga stabilitas sektor keuangan. Ini membuat karya mereka relevan bagi pengambilan keputusan moneter di seluruh dunia, termasuk Indonesia.
Tahun 2021
Tiga ekonom Amerika Serikat David Card, Joshua Angrist, dan Guido Imbens baru saja menerima penghargaan untuk Ekonomi pada upacara yang diadakan pada 8 Desember lalu.
Karya ketiga ekonom Amerika Serikat tersebut membuktikan bagaimana riset yang berkualitas baik bisa menjadi landasan bagi kebijakan yang baik. Card dan rekan-rekannya telah mempopulerkan sebuah metode eksperimen alamiah yang menghasilkan studi-studi berkualitas tinggi yang menjadi landasan banyak kebijakan yang baik.
Eksperimen alamiah berbeda dari eksperimen di laboratorium, kerap lebih dikenal dengan eksperimen acak secara terkontrol yang membagi peserta percobaan dalam kelompok yang diberikan perlakuan dan tanpa perlakukan (sebagai kontrol). Eksperimen alami tetap menggunakan data observasi, namun peneliti secara kreatif dan acak memilih subjek, misalnya lewat pengundian untuk menghindari bias.
Studi upah minimum yang dilakukan Card pada 1994 terbukti telah memperkaya kebijakan pemerintah Federal dan negara bagian AS untuk mengajukan kenaikan hingga sebesar US$ 15 atau sekitar Rp 215.000 per jam.
Sedangkan riset dari Angrist dan Imbens pada 1995 yang menggunakan model sebab-akibat untuk berbagai studi kasus terkait kebiasaan merokok dan program sekolah juga menghasilkan beberapa masukan untuk kebijakan yang berkualitas.
Keduanya memang tidak berkarya sebagai konsultan ekonomi untuk pemerintah AS atau bank sentral, namun ketiga ekonom ini telah memulai dan terus mendorong “revolusi kredibel” dari kebijakan ekonomi. Penelitian mereka memberi masukan baik bagi berbagai kebijakan pendidikan dan tenaga kerja melalui persiapan desain penelitian yang teliti dan kokoh.
Tidak seperti di Amerika Serikat, landasan riset yang kuat tampaknya tidak hadir dalam kebijakan ekonomi pemerintah Indonesia selama pandemi.
Tahun 2020
Paul Robert Milgrom dan Robert Butler Wilson adalah ekonom asal Amerika Serikat yang baru saja memenangkan penghargaan Nobel Ilmu Ekonomi tahun ini untuk pengembangan teori lelang (auction theory) dan pengembangan bentuk lelang yang inovatif.
Kedua ekonom ini membuat format lelang yang baru yang mempermudah penjualan barang yang tidak memiliki bentuk fisik, contohnya frekuensi radio. Metode lelang yang bisa menguntungkan baik penjual dan pembeli adalah sebuah inovasi yang bisa diterapkan di Indonesia.
Paul dan Robert mendesain lelang yang dinamakan lelang multi babak secara serentak atau Simultaneous Multiple Round Auction (SMRA) untuk membantu penjualan benda yang tidak memiliki bentuk fisik, contohnya frekuensi siaran atau internet.
Metode lelang ini pertama kali diterapkan keduanya bersama dengan seorang ekonom lain dari Amerika Serikat, Preston McAfee, dalam mendesain sebuah lelang untuk Federal Communication Commission (FCC) atau komisi penyiaran Amerika Serikat dalam menjual frekuensi untuk koneksi internet berkecepatan tinggi pada perusahaan telekomunikasi pada tahun 1994.
Bentuk lelang SMRA pada tahun itu berhasil menghasilkan pendapatan US$617 juta atau setara dengan Rp 9 triliun dengan kurs saat ini bagi pemerintah Amerika Serikat, yang sebelumnya hampir tidak mendapatkan apa-apa dari pembagian hak penggunaan frekuensi.
Metode lelang ini juga menghindari ‘kutukan pemenang’, sebuah istilah untuk mereka yang berhasil mendapatkan sebuah barang dalam lelang, tetapi pada akhirnya ternyata membayar dengan harga yang jauh lebih mahal.
Tahun 2019
Nobel Ekonomi diberikan kepada Abhijit Banerjee, ekonom dari India, yang mengajar di Massachusetts Institute of Technology (MIT), dan rekannya Esther Duflo yang berasal dari Prancis, serta ekonom Amerika Serikat Michael Kremer yang mengajar di Harvard University, Amerika Serikat.
Ketiga ekonom yang berbeda kebangsaan ini memenangkan Nobel karena menggunakan metode randomised controlled trial (RCT) atau “Uji Acak Terkendali” untuk mengidentifikasi persoalan kemiskinan di negara berkembang.
Peneliti dalam metode RCT memilih responden secara acak, kemudian membagi responden ke dalam kelompok uji dan kelompok kontrol. Peneliti memberi perlakuan berbeda terhadap kelompok uji dan kelompok kontrol untuk mengidentifikasi efek sebab akibat. Metode ini bertujuan untuk memecah masalah besar ke dalam pertanyaan spesifik yang dapat diuji pada unit analisis terkecil individu dan kelompok. RCT juga mendorong eksperimen berkala terhadap apa yang ingin diteliti.
Sementara itu kompilasi riset suami-isteri Banerjee dan Duflo dengan menggunakan metode RCT bisa ditemukan dalam buku mereka Poor Economics yang terbit pada terbit tahun 2011.
Buku ini bercerita tentang pilihan-pilihan yang dibuat orang miskin untuk bertahan hidup dan menjelaskan mengapa pilihan tersebut masuk akal dan bagaimana pemerintah dapat mendesain kebijakan yang tepat untuk mengentaskan kemiskinan.
Salah satu bab dalam buku tersebut yang menarik adalah cerita tentang Sudarno, seorang pengumpul sampah dan keluarga besarnya di wilayah kumuh di Cicadas, Bandung. (Red)