Iklan

Pasca UU KUHP Sah Penyempitan Ruang Sipil Makin Sulit

narran
Rabu, 07 Desember 2022 | Desember 07, 2022 WIB Last Updated 2022-12-07T11:06:02Z

(Foto: Istimewa)
NARRAN.ID, NASIONAL - Disahkannya Undang-Undang KUHP yang baru disahkan Selasa, 6 Desember 2022, rentan menjadi pemukul demokrasi dan Indonesia. Hal yang sangat potensial semakin mengkerdilkan ruang sipil yang dalam setidaknya lima tahun terakhir terus terkebiri. Pencekalan beberapa akademisi, kriminalisasi aktivis karena kritik terhadap pemerintah, serta berbagai ancaman digital adalah indikasi yang, tak bisa ditampik, mewarnai iklim demokrasi Indonesia belakangan ini. 

Kunto Adi, Direktur Eksekutif Lembaga Survei KedaiKOPI, menjelaskan bahwa berdasarkan analisis terhadap pemberitaan media online pada periode 2020-2021, ancaman terhadap penyempitan ruang sipil cenderung meningkat setiap Q3 di akhir tahun, dan sektor yang paling banyak muncul adalah tambang dan masyarakat.

“Hal tersebut diperparah dengan, adanya semacam insinuasi pada aktivis, pelabelan “SJW (Social Justice Warrior)” yang terorkestrasi terhadap berbagai bentuk protes atas situasi-situasi tersebut di media sosial pada banyak isu. Sebagian dilakukan secara organik, sebagian dilakukan melalui aktivitas inautentik yang teroganisir," papar Kunto dalam diskusi publik bertajuk “Penyempitan Ruang Sipil dan Upaya Membangun Partisipasi yang Bermakna” di Upnormal Coffee Roasters, Jakarta, Rabu (7/9/2022).

Sejak tahun 2021, KedaiKOPI melakukan riset untuk menemukan strategi baru guna mendorong partisipasi masyarakat sipil yang lebih bermakna. Riset kualitatif dilakukan dengan mengundang tiga elemen --aktivis muda, jurnalis, dan pimpinan beberapa organisasi masyarakat sipil (CSO) di Indonesia-- untuk mengikuti focus group discussion (FGD). 

Berdasarkan studi tersebut, terdapat beberapa hal yang bisa diinisiasi bersama untuk membangun partisipasi publik yang bermakna. Pertama, mendorong aktivis muda merasakan pengalaman langsung dalam aktivisme dan partisipasi; kolaborasi yang terintegrasi antara CSO dan media; serta, membangun relasi antara pusat-daerah sehingga akses informasi dari daerah mengenai realitas di lapangan dapat tersalurkan secara optimal.

Kunto menjelaskan bahwa terdapat peluang kolaborasi antara media dan organisasi masyarakat sipil untuk lebih mengamplifikasi isu-isu terkait kondisi ril dan penyempitan ruang sipil. Terdapat peluang untuk membangun narasi secara lebih hopeful bahwa kritik adalah salah satu praktik riil partisipasi dalam konteks demokrasi.

“Upaya-upaya partisipasi harus benar-benar diarahkan untuk orientasi publik, tidak hanya reaktif tapi juga kontinual dan menghindari terjebak pada partisipasi yang berorientasi administrasi dan sekadar normatif,” kata Kunto.

Asfinawati, pegiat HAM Sekolah Tinggi Hukum Jentera, dan Pantoro "Torry" Kuswardono, Koordinator Koalisi Keadilan Iklim, juga hadir sebagai pembicara dalam diskusi publik tersebut.

Asfinawati menyatakan bahwa orang dibikin tidak ada harapan ketika bicara terkait urusan publik dan politik. "Bukan publik tidak sadar akan haknya, tetapi hak tersebut cenderung dikecilkan.”

Publik, menurut dia, harus mengoptimalisasi hak mereka untuk bersuara, namun sayangnya ada permasalahan yaitu swasensor. Negara sudah menggunakan koersi secara soft power, rakyat sudah didisiplinkan tanpa negara melakukan apa-apa. Hal ini juga berpengaruh pada media dan jurnalis.

Walau demikian, Asfinawati melihat masih ada harapan pada generasi muda, yang merupakan tulang punggung demokrasi Indonesia pada masa depan, untuk mendorong partisipasi publik yang lebih bermakna dalam kehidupan bernegara. 

"Potensinya terdapat pada postur penduduk Indonesia di anak muda, karena mereka sudah menganut etika global. Besar peluangnya di situ, tinggal menjaga teman-teman muda agar tidak surut," kata dia.

Torry Kuswardono permasalahan penyempitan ruang sipil ini akan berdampak erat pada isu lingkungan. “Apakah concern kita pada isu lingkungan akan semakin baik ketika demokrasi terjadi? Selama pemerintahan tidak korupsi, isu lingkungan akan semakin baik, dan baru akan terjadi perbaikan. Namun jika sistem yang dibangun pemerintahan adalah ‘terserah apa adanya’, maka upaya kita untuk mengawal isu lingkungan tidak akan jalan."

Berdasarkan pengamatannya, Torry menyatakan bahwa banyak warga yang ingin protes terhadap ketidakadilan, tetapi mereka tidak tahu cara yang benar untuk berbicara. Juga ada keraguan apakah yang akan mereka suarakan adalah hal yang benar.

Menurut dia, seharusnya rakyat diajarkan bahwa menyuarakan pendapat adalah hak yang dilindungi konstitusi. "Orang yang membaca dan kemudian memahami pasal-pasal [UUD 1945] akan lebih percaya diri untuk mengemukakan pendapat. Hak tersebut dijamin konstitusi," tegas Torry. (Red/Rls)

Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Pasca UU KUHP Sah Penyempitan Ruang Sipil Makin Sulit

Trending Now

Iklan

iklan