(Sumber: www.vox.com) |
AS sebenarnya juga melancarkan serangan simbolik kepada Qatar yang sedari awal ngotot melarang perilaku yang bertentangan dengan budaya mereka yakni apasaja yang dilarang dalam hukum Islam. Pemaksaan itu justru tidak dijawab secara baik ketika banyak kalangan menanyakan apa musabab dari kampanye LBGT+ yang dibawa-bawa dalam sepak boleh. Terdapat alasan lain yakni, Qatar dianggap menjadi salah satu negara yang paling vokal dalam mendukung hak kewarganegaraan Palestina atas aneksasi Israel selama ini.
Standar ganda yang diterapkan oleh barat tidak sekali terjadi. Dukungan pada Palestina atas serangan tanpa dasar Israel oleh banyak fans bola di eropa, nyatanya justru berbuah sanksi. Kita ingat bagaimana klub Celtic (Skotlandia) pada tahun 2016 mendapat denda dari FIFA sebesar 8.616 euro atas pembentangan spanduk dukungan. Bedanya, pada kasus invasi pada Rusia atas Ukraina justru tidak diberika sanksi keluar walaupun dilakukan secara luas. Rusia bahkan dibatasi untuk berpartisipasi dalam laga piala dunia jika sekalipun mereka lolos pada kualifikasi lalu.
Komentator di BBC, Jurgen Klinsmann berkomentar rasis saat mengkritik permainan Iran, "Itulah budaya mereka dan itulah mengapa Carlos Queiroz dia sangat cocok di tim nasional Iran" [lalu menyebut2 asal/latar belakang Queiroz]. Rusia bahkan mendukung Iran dalam laga melawan AS. Ini sebagai jawaban atas perlakukan atas negara muslim yang berlaga namun mendiskreditkan.
Piala dunia Qatar jauh berbeda dalam bayangan piala dunia 2002 di Jepang dan Korea Selatan. Saat itu, isu etnis maupun politik tidak begitu tersingkap. Media sosial membantu membuka kran desas-desus yang setiap waktu menetes ke tangan netizen. Setelah piala dunia ini, terdapat kesimpulan bahwa persatuan arab akan menjadi lebih kuat. Pemaksaan ego liberalisme di tanah arab akan membukan luka lama atas perilaku barat yang dapat menyebabkan gesekan antara kultural timur dan barat secara menyeluruh (Red/M21).