Iklan

Bisakah Kita Hidup Tanpa Foto?

narran
Rabu, 04 Januari 2023 | Januari 04, 2023 WIB Last Updated 2024-09-26T17:21:52Z

 

Kemanusiaan, Selfi, Narsisme, Fotografi, Filsafat
NARRAN.ID, ANALISIS - Pertanyaan “bisakah” merujuk pada kemungkinan sesuatu yang mungkin sudah teruji. Foto merupakan prodak kebudayaan bertali saintifik dari kerja kamera (Qamara) sejak dikembangkan oleh ilmuan muslim asal Irak, Ibn Al-Haytham. Jika di awal diproyeksikan menjadi sebatas menangkap dan mengawetkan cahaya dalam medium terbatas. Saat ini kita bahkan merubahnya sebagai artefak sosial yang bisa diperbaharui sepanjang waktu. Menjelang pergantian abad, seperti yang telah diramalkan oleh Theodore Rozack beberapa dekade yang lalu tentang masyarakat elektronik (technotronic society), yang akan memasuki masyarakat serba komputer (computerized society).

Kita bahkan tak perlu lagi memajang foto di dinding dengan figura mentereng dan mahal. Konon, semakin besar ukuran foto di dinding menunjukkan seberapa besar kualitas hidup dan capaian impian mereka. Mereka bisa memastikan dengan foto itu, nasab mereka akan berlangsung hingga generasi selanjutnya. Lalu bagaimana dengan mereka yang bahkan tidak sempat memastikan raut mukanya? Terbelakangkah? Atau mungkin secara kasat mata mereka satu-satu manusia yang dapat menyelamatkan dari respresentasi ilusi yang dibuat kita selama ini. 

Salah satu fenomena penujangnya iala aktivitasSelfie. Selfie sebagaimana diuraikan portal Oxford Dictionaries, adalah foto yang diambil oleh orang yang terdapat dalam foto itu sendiri. Ciri spesifiknya adalah foto itu diambil dengan smartphone atau webcam dan hasilnya diunggah pada situs-situs media sosial. Portal kamus itu menyajikan contoh pemakaian kata selfie dalam kalimat,’’ Kadang-kadang selfie memang bisa diterima, namun mem-posting foto baru Anda sendiri tiap hari adalah tindakan yang tidak perlu. 

Fungsi kamera seperti disebut Susan Sontag dalam esainya pada tahun 1970-an sebagai peranti untuk merealisasikan dan sebagai bukti atas pengalaman seseorang, kini harus kita ragukan: adakah yang terlihat di foto bukti dari suatu pengalaman? Kalau seseorang duduk di kursi kafe seperti adegan sebuah film, apakah berarti dia sedang dalam sebuah pengalaman rindu karena tengah terlibat dalam cinta yang indah? Kalau seseorang berfoto di ladang, adakah dia tengah menjalani proses mengolah alam dan kehidupan?

Siapa bilang memfoto itu aktivitas menyenangkan? masih ingat kisah jurnalis foto Johannesburg Star, Kevin Carter, peraih penghargaan Pulitzer 1993 silam. dirinya mengalami depresi hebat hingga akhirnya memilih jalan bunuh diri. Fotonya berlatar kisah kondisi kelaparan hebat di Sudan, tentang anak sedang diawasi burung pemangsa membuatnya dilema antara ambisi karir dan sisi kemanusiannya. Kita bisa menonton kisahnya pada film The Bang-Bang Club (2010). Foto selalu luas dan tidak sederhana bahkan dalam saat kondisi tidak diamati sekalipun. Pepatah mengatakan, “a pictures is a thousand word,” tetapi kini “a short movie is a million expression, a thousand picture”.

Foto perang kemerdekaan juga membuat kita yakin bahwa nasionalisme kita bukan titipan. Tidak bisa dibayangkan jika fotografer bersaudara Frans Mendur dan Alex Mendur tidak hadir ke jalan Pegangsaan Timur No.56 Jakarta Pusat kala itu. Kita mungkin tak yakin bahwa berdera merah putih berkibar saat proklamasi dibacakan Ir.Soekarno.

Lalu pakah kita benar-benar eksis dalam kebenaran sebuah foto? Kebenaran dari apa yang pernah dinyatakan pada beberapa dekade yang lalu oleh filsuf Piere Teilhard de Chardin, penemu Homo pekinensis, dalam salah satu bukunya tentang fenomena manusia, adalah ketika dia mengungkapkan bahwa, dengan dan melalui teknologi, manusia di jagat ini dijadikan "umat". Manusia tak lagi hanya sendiri-sendiri di dalam menghadapi masalah, dan sekaligus merasakan berbagai persoalan yang dihadapinya.

Peperangan, penderitaan akibat gempa, konflik sosial, luapan suka-duka kemenangan sebuah tim olahraga atau seorang atlet yang mencapai finis, juga berita suka-duka seseorang kepada lainnya--semuanya dihantarkan oleh sarana teknologi yang kian canggih yang menjadi basis perkembangan sistem transportasi dan media massa, cetak dan elektronik, serta berbagai bentuk sarana komunikasi yang bersifat personal, yang dalam beberapa detik mengirim semua peristiwa ke berbagai penjuru jagat.

Singkat kata, secara dramatis bisa digambarkan bahwa, dari detik ke detik, melalui sistem teknologi komunikasi yang memasuki ruang-ruang personal dan sosial menciptakan getaran kelenjar saraf yang paling halus yang ada di dalam diri kita dalam berbagai ekspresi, dari ketegangan, kemarahan, haru-biru, suka-duka, sampai luapan kebahagiaan, seketika kita rasakan, dan hal itu dihantarkan oleh sistem komunikasi.

Foto juga sangat berguna bagi politikus. Politikus mengkonstruksi ide-ide politik sekadar menjadi citra politik melalui iklan politik. Serbuan iklan-iklan politik di ruang publik justru menyingkirkan politik otentik, yakni politik sebagai "yang ada" dan "yang bertindak" di tengah dinamika sosial. Politik hadir hanya sebagai konstruksi-kontruksi artifisial dalam bentuk foto, logo, dan slogan. Kultur kampanye politik seperti ini kian menabalkan suatu kondisi yang, meminjam istilah Yasraf Amir Piliang (2003), disebut sebagai "simulacra politik".

Menurut Piliang, simulacra adalah dunia di mana kontruksi-konstruksi kebenaran yang bersifat fiktif, dan retoris, mengambil alih kebenaran (truth) yang sesungguhnya. Simulacra dibangun oleh unsur-unsur seperti game of image (permainan citra), retorika, bahkan pengelabuan informasi. Kepura-puraan, topeng, kedok, dan make-up merupakan watak khas simulacra.

Iklan politik di media massa atau baliho caleg hanyalah sebagian kecil contoh nyata yang merepresentasikan simulacra politik, di mana kenyataaan dan ilusi sukar dipilah. Foto-foto caleg yang diambil sesuai dengan skenario selanjutnya diolah secara digital agar tampil semenarik mungkin, ramah, dan berwibawa. Slogan politik tidak lebih sebagai retorika, bukan semata-mata untuk membangun kepercayaan publik, melainkan juga menutupi kepalsuan dan menjadi kedok.

Dalam deskripsi yang lebih utuh, Stuart Hall menyajikan tiga kemungkinan pembacaan atau pemaknaan yang dilakukan khalayak terhadap pesan yang disampaikan media. Pertama; posisi dominan-hegemonik.

Artinya, khalayak bersikap menerima langsung dan penuh pesan media. Mereka memaknai pesan itu sebagaimana keinginan dari pengirim pesan. Kedua; posisi bernegosiasi. Artinya khalayak bisa menerima secara abstrak pesan yang dikemukakan pengirim Tapi dalam situasi konkret tidak demikian karena ada pertimbangan-pertimbangan yang dilakukan khalayak berkait situasi nyata yang melingkupinya.

Ketiga; posisi oposisional. Artinya khalayak melakukan perlawanan terhadap pesan-pesan yang disampaikan pemilik media. Khalayak secara aktif menentang. Kegagalan politik selfie pemilik televisi merupakan wujud dari sikap perlawanan yang dilancarkan khalayak.

Peradaban ini kamera bisa membantu kita menangkap realita seperti kata Yousuf Karsh, “Look and think before opening the shutter. The heart and mind are the true lens.” Di depan kamera manusia tidak pernah menunjukkan diri yang sebenarnya. Kita tentu tidak perlu menampiknya. Diperlukan kepiawaian untuk menangkap sebuah realitas ke dalam bingkai kebenaran. Namun, Annie Lerbovitz pernah mengingatkan lambat laun manusia bisa tertipu oleh kamera karena mereka pun bisa hanyut dan terlupa bahwa kehidupan mereka begitu telanjang. Dengarkanlah ucapannya. “The Camera makes you forget you’re there. It’s not like you are hiding but you forget, you are just looking so much” (Annie Heirboritz). Jangan jepret sekali hari ini! 


Penulis: 
Milki Amirus Sholeh
(Pemerhati Sosial Budaya)
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Bisakah Kita Hidup Tanpa Foto?

Trending Now

Iklan

iklan