Iklan

Bola Panas Pemilu Sistem Terbuka dan Tertutup

narran
Kamis, 26 Januari 2023 | Januari 26, 2023 WIB Last Updated 2023-01-26T07:11:37Z

Pemilus, KPU,
NARRAN.ID, ANALISIS - Desain prosedur demokrasi yang dikehendaki akan sangat bergantung pada pilihan sistem pemilu yang diterapkan. Apa pun sistem yang diambil, semuanya memiliki plus-minus bagi proses rekonstruksi rumah demokrasi. Dengan alasan itu, pilihan sistem pemilu harus disesuaikan dengan konteks sosial, politik, dan budaya yang hidup dalam masyarakat di mana sistem tersebut akan diterapkan.

Isu ini kembali menjadi perbincangan setelah pada Oktober tahun lalu mencuat dari pernyataan Ketua Badan Pengkajian Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Djarot Syaiful Hidayat, yang akan mengkaji sistem proporsional tertutup untuk diterapkan kembali di Pemilu 2024.

Namun bedanya, wacana perubahan sistem pemilihan menjadi proporsional tertutup yang saat ini ramai diperbincangkan, dimulai dari pernyataan Ketua KPU Hasyim Asy’ari dalam sebuah forum bersama pengamat pemilu.

Dalam forum tersebut, Hasyim menyampaikan, seluruh calon anggota legislatif diharapkan tidak terburu-buru memulai proses kampanye politik karena nantinya, pada Pemilu 2024, ada potensi perubahan sistem pemilihan dari terbuka menjadi tertutup.

Dengan segala kelemahan yang ada, menjatuhkan pilihan pada sistem proporsional terbuka murni untuk saat kini bukanlah pilihan yang terlalu buruk. Sebab, kemajemukan etnik, agama, budaya, dan ideologi politik akan terakomodasi di dalamnya. Berbagai kelompok, baik besar maupun kecil, samasama memiliki peluang untuk mendudukkan wakilnya di lembaga perwakilan. Berbeda dengan sistem distrik yang memang agak kurang ramah bagi keterwakilan kelompok beragam, khususnya bagi kaum minoritas.

Walaupun demikian, berbagai konsekuensi logis dari proporsional terbuka murni tidak dapat dielakkan. Salah satunya, partai politik tidak lagi menjadi fokus utama dalam kontestasi pemilu. Sebab, walaupun yang tercatat sebagai peserta pemilu ialah partai politik, otoritas kepesertaan partai politik dalam pemilu secara tidak sengaja terbagi dengan calon anggota legislatif yang diusungnya.

Secara formal partai politik yang menjadi peserta pemilu, tetapi pada kenyataannya sebagian hak kepesertaan terseb tereduksi oleh keberadaan but calon-calon anggota legislatif. Sadar atau tidak, kondisi ini merupakan implikasi dari sebuah pilihan untuk menempatkan kedaulatan rakyat atas dasar suara terbanyak dalam menentukan calon terpilih dalam pemilu anggota legislatif, bahwa setiap suara rakyat tidak hanya diberikan kepada partai politik, tapi juga mengalir secara langsung kepada setiap calon anggota legislatif.

Di satu sisi, pilihan sistem di atas merupakan konkretisasi penerapan prinsip prosedural demokrasi secara konsekuen, ketika tidak ada otoritas lain yang lebih tinggi dalam menentukan keterpilihan seseorang menjadi legislator, kecuali suara rakyat. Suara rakyat diletakkan di atas segala kekuasaan lainnya, termasuk partai politik. Partai politik mesti tunduk pada daulat rakyat. Partai politik diberi wewenang menyaring dan menetapkan warga negara yang akan mencalonkan diri dalam pemilu, tetapi keterpilihan seseorang akan ditentukan oleh rakyat sesuai prinsip one man one vote one value, bahwa pemeroleh kepercayaan paling banyak dari rakyatlah yang akan terpilih sebagai anggota legislatif. Selain itu, pilihan ini juga dapat membantu mendekonstruksi oligarki partai politik yang selama ini menjadi salah satu persoalan mendasar dalam penataan partai politik. 

Di sisi lain, pilihan sistem tersebut berdampak kurang baik bagi pelembagaan partai politik. Secara konseptual, sistem proporsional terbuka murni setidaknya akan memberi jarak antara partai dan caleg. Secara bersamaan juga membuka ruang kedekatan antara caleg dan konstituen. Sehingga, secara ti dak langsung deparpolisasi pun akan terus terjadi. Walaupun demikian, persoalan ini dapat diatasi dengan melakukan pelembagaan partai politik dengan sungguh-sungguh.

Apa pun sistem pemilu yang akan diterapkan, deparpolisasi tidak akan terjadi jika parpol melakukan proses kaderisasi politik dengan baik. Sebab, orang-orang yang diusung sebagai caleg tentunya kader yang lahir dari rahim perkaderan partai, bukan perorangan yang `dipungut di jalanan' lalu disulap menjadi caleg.

Selain persoalan di atas, konsekuensi penggunaan sistem proporsional terbuka murni juga memaksa para pengambil kebijakan dan penyelenggara pemilu untuk memberikan perhatian khusus bagi bakal calon maupun calon anggota legislatif. Terutama dalam membuat regulasi. Setiap aturan yang akan disusun harus memperhatikan segala aspek yang bersentuhan dengan hak perorangan calon anggota legislatif, bukan hanya partai politik semata. Dalam arti, setiap aturan maupun sanksi yang akan diterapkan bagi partai politik tidak boleh menegasikan hak setiap caleg yang diusung.

penggunaan sistem proporsional terbuka atau tertutup, mekanisme penghitungan suara dan konversi alokasi kursi per dapil atau provinsi serta penggunaan sistem contreng atau pencoblosan.Salah satu yang menarik dikaji adalah wacana PDIP untuk kembali pada sistem proporsional tertutup (closed list system) atau yang lebih populer disebut sistem nomor urut dari daftar calon anggota legislatif (caleg).

Logika politik kembali ke sistem nomor urut ini dianggap lebih demokratis ketimbang pelaksanaan sistem proporsional terbuka (open list system) akibat putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No 22 dan 24/PUU-VI/2008 yang mengabulkan permohonan uji materiil Pasal 214 UU No 10/2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD, mengubah sistem Pemilu legislatif dari sistem proporsional terbuka (Pasal 5 ayat 1 UU No 10 Tahun 2008) dengan suara terbanyak. Sayangnya, putusan MK tersebut bukan merupakan terobosan politik yang pantas diapresiasi sebagai wujud keterwakilan rakyat, karena putusan itu tidak serta merta diikuti dengan pelaksanaan teknis bahkan menimbulkan kekosongan hukum pada proses penetapan caleg berdasarkan suara terbanyak. Karena MK juga tidak menjelaskan secara rinci apakah suara terbanyak dalam arti mayoritas atau pluralitas. 

Jika suara terbanyak, dalam arti mayoritas menetapkan caleg terpilih berdasarkan jumlah perolehan suara pemenang yang melebihi kombinasi jumlah perolehan suara calon lain. Sedangkan pluralitas menetapkan caleg terpilih berdasarkan jumlah perolehan suara pemenang melebihi jumlah suara tiap calon. Akibatnya, putusan MK yang oleh sebagian kalangan dianggap sebagai wujud keterwakilan rakyat justru menghasilkan Pemilu 2009 menjadi pemilu yang terburuk dalam sepanjang sejarah karena banyak menyisakan persoalan penghitungan kursi seperti sehingga melahirkan "kursi haram" para wakil rakyat yang sampai sekarang tidak jelas penyelesaiannya. Terbuka Vs Tertutup.

Salah satu terobosan dari reformasi politik adalah pelaksanaan Pemilu 2004-2009, karena parpol telah menyaratkan pencalonan wakil rakyat yang dianggap paling representatif melalui sistem proporsional terbuka (open list system) dengan cara memberikan keleluasaan pada pemilih untuk memilih secara langsung nama calon, sehingga dengan cara seperti itu diharapkan pemilih (rakyat) dapat menentukan sendiri pilihannya sesuai yang diinginkan.

Oleh sebagian kalangan sistim proporsional terbuka dianggap paling ideal sebagai wujud keterwakilan rakyat, menciptakan kompetisi antar sesama caleg partai untuk bersaing, bahkan dianggap lebih demokratis di internal partai, mengkikis sistem oligarki partai, dan mendapatkan calon terpilih yang lebih akuntabel kepada konstituennya. Karena, melalui sistem ini hanya caleg yang meraih dukungan rakyat penuh yang bisa duduk di kursi legislatif.

Kelemahan dari sistem proporsional terbuka justru tidak mendidik masyarakat karena terbuka peluang praktik money politics, biaya kampanye yang semakin mahal, menjadikan kader partai yang tidak memiliki idiologi serta kepedulian terhadap partai. Juga, terjadinya persaingan antar caleg dan berpotensi memicu konflik, baik antar caleg satu partai maupun caleg beda partai serta kesulitan dalam rekapitulasi hasil pemilu. Sedangkan pada sistem proporsional tertutup (closed list system) terjadi penguatan institusi partai, proses rekrutmen caleg lebih terfokus bahkan bisa mengurangi persaingan yang tidak fair antar caleg di satu partai maupun persaingan antar caleg dengan partai lain.

Pengalaman Pemilu 2009, persaingan antar caleg cenderung liberal (bebas) dan disinyalir menggunakan segala cara termasuk politik uang untuk memperoleh suara terbanyak. Selain itu, sistem proporsional tertutup dikhawatirkan memicu sikap apatis rakyat untuk ikut pemilu, karena sistem nomor urut menyuburkan kolusi kader dengan pengurus partai. Peluang bagi orang baru di partai untuk menjadi caleg tertutup.

Dengan demikian dapat dipahami, setiap sistem memiliki kelebihan dan kelemahan. Sistem pemilu proporsional tertutup dengan mencontreng tanda gambar partai atau sistem pemilu proporsional terbuka dengan mencoblos nama caleg sama-sama memiliki keunggulan dan kelemahan. Namun, pengalaman membuktikan sistem proporsional tertutup jauh lebih baik, jauh lebih demokratis. Ini bukan hanya karena pertimbangan pragmatis, tapi juga idealisme, yakni nilai-nilai demokrasi yang hendak dicapai.

Sistem nomor urut memperkuat kepartaian, memperkuat kaderisasi, mencegah korupsi dan kolusi yang lebih masif yang langsung merugikan rakyat, dan membuat demokrasi lebih berkualitas. Yang paling penting bagi rakyat adalah dalam penyusunan nomor urut caleg, faktor kapabilitas dan integritas caleg benar-benar menjadi pertimbangan utama.

Perlu dicatat, di negara-negara yang dianggap paling demokratis pun, tidak ada sistem pemilu yang sempurna mewujudkan keterwakilan rakyat. Akhirnya, sistem apa yang hendak diadopsi sepenuhnya tergantung pada tujuan akhir yang ingin dicapai dari pengambil kebijakan. Paling tidak, pelaksanaan sistem pemilu dengan repsetentasi proporsional dianggap lebih adil dibandingkan representasi mayoritarian karena perimbangan kursi yang diperoleh dalam pemilu.

Ben Relly dan Andrew Reynolds (2016:74) dalam buku Electoral System Design: The New International IDEA mengemukakan prinsip dasar dalam memilih sistem pemilu. Pertama, membentuk badan perwakilan yang representatif. Kedua, membuat pemilu terjangkau.

Ketiga, menyediakan sarana bagi persatuan. Keempat, terbentuknya pemerintahan yang stabil dan efisien. Kelima, memastikan akuntabilitas pemerintahan dan wakil rakyat. Keenam, mendukung tumbuhnya partai terbuka serta ketujuh, mendorong adanya oposisi di parlemen.

Pada pemilu 2024 mendatang,  bisa dinilai bahwa sistem proporsional tertutup akan membuat pemilih lebih mudah dalam pemberian suara, tetapi juga rentan terhadap kesewenang-wenangan oleh elite partai. Terutama dalam penentuan nomor urut saat penempatan caleg dalam daftar calon.

Kekuasaan yang besar dari pemimpin partai politik kepada kadernya bisa membuat anggota legislatif terpilih lebih takut kepada perintah elite partai, daripada memperjuangkan aspirasi masyarakat di daerah pemilihannya.

Kesungguhan menjaga iklim elektoral guna mewujudkan pemilu demokratis dan tujuan berpemilu menjadi aspek penting.

Baik proporsional terbuka maupun tertutup, sama-sama membutuhkan penegakan hukum yang efektif atas berbagai gangguan, kecurangan, ataupun praktik koruptif yang bisa saja terjadi. Contohnya, politik uang bisa saja muncul pada kedua sistem itu meski dalam bentuk berbeda.

Politik uang lebih menyasar pemilih dalam proporsional terbuka serta dalam proporsional tertutup politik uang, akan banyak dijumpai pada caleg dan elite politik saat penentuan nomor urut calon. (Red)

Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Bola Panas Pemilu Sistem Terbuka dan Tertutup

Trending Now

Iklan

iklan