Iklan

Dilema dan Pengemasan Awal Tahun

narran
Senin, 02 Januari 2023 | Januari 02, 2023 WIB Last Updated 2023-01-02T10:59:37Z
Tahun Baru, kesepia, hedonitas

NARRAN.ID, OPINI - Bermalam dengan tahun baru sudah kita lewati bersama. Berbagai cerita di malam tahun baru menjadi percakapan untuk siapa pun. Kemeriahan di malam tersebut akan dijadikan kenangan dalam perjalanan panjang sampai kepada menit dan detik malam pergantian tahun. Banyak sekali yang menjadikan suatu ajang untuk meninggalkan cerita panjang di tahun yang sudah terlewati, dan ada pula yang sangat ingin rupa memanjakan moment didalamnya. Seperti, menembakan kembang api ke langit yang dilihat oleh sepasang mata para penikmatnya, ditambah dengan menghirup asap kemacetan ditengah perjalanan. Adapula sepasang kekasih yang selalu membuat dokumentasi di malam tersebut (sebagai pengakuan bahwa masih bertahan walaupun sudah bosan). 

Perhelatan tahun baru sangat seksi bagi yang menganggap itu seksi, jika tidak sepertinya terdapat sebuah kegelisahan yang membuat agenda pergantain tahun terkesan sangat biasa saja. Betapa sesaknya hidup bagi kita yang tidak menikmatinya. Bukan sebaliknya, malam tersebut akan menjadi nafas segar untuk para penikmatnya. 

Pergantian tahun menjadi ajang untuk membuat imajinasi baru dan memaparkan kisah yang telah dilewati, jika menurut Edward Said, intelektual Orientalis, itu menyampaikan bahwa narasi historis adalah cara yang sangat ideal untuk mendramatisasi kedekatan dengan masa lampau. Mengeluh karena banyak hal yang kurang baik dilewati dan ada yang merasa bangga karena merasa beruntung di tahun sebelumnya. 

Sebaiknya kita berimajinasi dengan melihat masa lampau agar menuntun kita untuk bergerak kerah manapun yang kita mau. Menurut Michel Foucault, melihat manusia dan masa lalunya yang telah dilenyapka oleh kesadaran sejarah, berarti menghapus anggapan bahwa manusia berdaulat penuh atas masa lalunya. Cara untuk mengeskpresikan dirinya dan berjalan pada satu tahun kedepan dengan melihat masa lalunya, karena jika masa lalu dijadikan landasan  untuk bergerak kepada masa depan, maka peta konsep didalam otak dan pikiran akan tersusun dengan sendirinya, tanpa disadari atau pun dengan kesadaran yang akan mengingatkan. 

Keburuntungan dan kesialan akan menjemput kita dalam melangkah jika kembali kepada memori yang diingat oleh manusia. Pandangan Fiedrich Wilhelm Nietzsche, filsuf vitalisme, ia menyampaikan bahwa cara untuk bertahan hidup, manusia harus menggunakan memorinya, maka sikap historis sangat perlu dilakukan. Namun terkadang sejarah atau memori itu justru menghalangi kebahagiaan, maka sama perlunya dengan sikap historis adalah bersikap tidak historis, yakni kemampuan untuk melupakan. Kita hanya memilih saja, memungut semua memori atau hanya beberapa saja. 

Pada dasarnya memori yang kita ambil akan menjadi penunjang terbaik untuk kedepan, tidak ada memori yang memilukan untuk diingat, bagaimana kita bisa menetralisir memori tersebut untuk menjadi bahan pengingat kita semua. Jika memang sumber berfikir dan pengetahuan kita adalah sebuah ingatan, maka kita sangat diharuskan untuk mengingat. jika menurut Descartes, saya berfikir maka saya ada. Pernyataan tersebut sebagai formulasi bahwa setiap individu manusia bisa mengetahui kenyataan dengan rasionya sendiri. Semua yang dijalani tidak akan terus berlanjut jika sebagai kita sadar untuk menepi dengan menyadarakan memori apa yang seharusnya untuk ditinjau.

Seandainya kita tidak bisa melihat atau mengingat memori yang kita susun akan menjadi sumber dan masalah besar. Mungkin saja jika kita tidak bisa menelaah sebuah memori, manusia akan bersifat sangat tradisional. Seperti apang yang dikatan oleh Lord Acton, masyarakat tradisional itu berfikir bahwa masa sekarang adalah masa lalunya, tidak ada kontinuitas antara hari sebelumnya, sekarang dan yang akan datang. 

Menapak tilas jejak kehidupan personal masing-masing akan menjadi lebih penting untuk dilakukan. Walaupun kebiasaan manusia saat ini lebih cenderung untuk melihat rekam jejak orang lain. Seperti sudah terkonsep dalam pedoman kehidupan manusia saat ini, apakah kita tidak hanya mengetahui diri kita sendiri melainkan harus mengetahui diri orang lain. Misalnya perjalanan satu tahun yang selalu ditemani oleh kekasih atau para bestie, diwaktu satu tahun itu akan dikemas dalam vidio singkat yang siap untuk disebar. Dengan disebarkannya banyak kabar dari berbagai macam cara pengemasan di media social, itu sebagai bahan dan penilaian bahwa bukan hanya manusia yang lebih dulu saja bisa menjadi representatif dunia ini, tetapi dengan disebarluaskannya perayaan tahun baru dan cerita panjangnya menjadi bukti bahwa, manusia yang hidup sezaman pun akan menjadi representatif untuk manusia lainnya. 

Banyak sekali harapan untuk satu tahun kedepan. Membangun sebuah harapan dari membuat suatu wacana, karean masnuia sangat suka dan senang sekali berwacana. Foucault pernah menyampaikan bahwa, manusia ini akan menginterpretasikan susunan yang ada di dunia ini. interpretasi yang dibuat oleh manusia akan membentuk cara dan sususnan kedepan, ini yang dinamakan dengan dasar kewacanaan. 

Sudah sangat terbiasa jika membangun wacana untuk pedoman untuk kedepan. Dengan adanya masyarakat pendukung yang terbentuk dengan memori manusia. Friedrich Hegel menegegaskan bahwa manusia adalah subjek sejarah, yaitu manusia pada dasarnya tidak akan hanyut dipermainkan waktu, melainkan perancang sejarahnya sendiri. Dengan demikian subjektivitas difahami dalam kenangan historisnya. Tidak amat sulit jika perjalan dibarengi ingatan. Kita semua berada diangka tahun yang baru, penyususnan program kerja kita dengan manusia dan tuhan harus segera disusun. Semoga lebih menarik untuk kedepannya tahun 2023.




Penulis:
Ajar Enggar Waskito 
(Pegiat Kajian Sejarah LKISSAH UIN Jakarta)
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Dilema dan Pengemasan Awal Tahun

Trending Now

Iklan

iklan