Menjelang kampanye politik, para pengemis dan gelandangan tidak sendirian. Mereka ditemani orang politik yang sama-sama minta pundi suara. Falsafah hidup keduanya sudah jelas berbeda. Bagi pengemis, ada alasan menghargai hidup agar tidak binasa. Bagi politisi, harus ada tambahan suara, jikalau tidak, riwayat penagruh dan kuasanya runtuh. Lain halnya dengan teknik kerja keduanya, pengemis hanya cukup bermodalkan empati dan penampilan alakadarnya. Politisi datang dengan pakaian dan atribut lengkap, mereka seolah mengatakan kepada publik “aku gelandangan yang membawa perubahan”, benar-benar anekdot. Lalu di manakah empati itu ada, kenapa begitu mudah mereka maraih suara, yang dalam batin kecil rakyat, tidaklah ikhlas memberikan atau mempercayakannya.
Gambaran pengemis modern itu persis dikisahkan oleh komik Panji Tengkorak yang ditulis oleh maestro Hans Jaladara “Mereka berpakaian compang-camping, dekil, kotor, dan bau-sebagian membawa tongkat kayu. Berkeliaran-tepatnya, bergerilya, penuh selidik-ke sudut-sudut kampung; meminta-minta dari rumah ke rumah penduduk. Anehnya, para pengemis itu juga suka ngumpul malam hari; berpesta-entah dapat dana dari mana”. Tribut pesta menjadi nuansa pembeda.
Jika wong cilik memberi pada sesamanya, ada nurani menyala di dadanya. Tidak ada pesta, namun semua orang akan turut bahagia dan menginspirasi. Bagaimana dengan pertaruhan simpati dan citra politisinya, mereka sudah pesta bahkan sebelum mendapatkan suara pemilihnya.
Inilah festival-nya, pengemis mengajak tuannya bersenang-senang mata, lalu dilelapkan dalam waktu tidak menentu di meja parlemen. Drama yang bahkan anak remaja selesai belajar Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) tahu akhir ceritanya.
Tidak diketahui siapa politisi kita yang memulai memberanikan diri memajang fotonya dengan tambahan kata-kata eufimisme itu. Festival politik membuat lingkungan kita kian berbawarna. Sekalipun terlalu ego sekali rasanya mereka berani memantapkan muka yang tidak mengenalnya. Dalam kilasan sejarah, kita bahkan tidak pernah melihat kampanye “norak” dari tokoh awal bangsa kita. Umumnya mereka lebih banyak munakar suara karena gagasannya. Transaksi politik dengan suara atas gagasan sangat sah. Ini bukan berarti, berpolitik itu haram dan kampungan. Tetapi lebih pada alibi kamuflase sifat egalitarian itulah yang membuat politisi dan dan gelandangan dalam sefrekuensi yang sama.
Politik Orang-Orangan
Dibenci dan dicaci-maki, namun diam-diam juga mempesona dan diidam-idamkan. Begitulah kira-kira politik di Indonesia hari-hari ini. Di satu sisi, martabat politik di Indonesia sepertinya sedang menuju titik nadir. Bertolak dari berbagai peristiwa yang nyata dan diketahui oleh publik, politik menjadi begitu identik dengan siasat untuk merebut dan mempertahankan kekuasaan, kadang dengan cara manipulatif, tak jarang dengan melibatkan permainan uang.
Politik juga identik dengan penggunaan kedudukan resmi untuk mengumpulkan keuntungan pribadi melalui berbagai cara, termasuk korupsi. Pada diri politikus, publik menemukan bayang-bayang figur kaum Sofis dalam khazanah Yunani, yang lihai dalam mengubah kesalahan menjadi kebenaran dan kebenaran menjadi kesalahan. Di tangan mereka, politik nyata tidak mungkin seratus persen didasari kejujuran, dan niscaya akan melibatkan dusta dan rekayasa.
Namun, pada sisi lain, mengapa masih banyak orang ingin menjadi politikus? Bagaimana menjelaskan antusiasme ribuan orang dalam memperebutkan daftar calon sementara (DCS) anggota legislatif? Mereka adalah para pesohor, selebritas, intelektual, aktivis, pengusaha, mantan pejabat, dan mantan anggota legislatif yang tentu paham duduk masalah krisis yang terjadi. Mereka selama ini bahkan turut menjadi pengkritik kinerja lembaga legislatif. Tetapi mengapa kemudian mereka berubah menjadi ngotot ingin menjadi calon anggota legislatif (caleg)?
Politik menampakkan diri sebagai paradoks, dan sebagian masyarakat juga menyikapinya secara ambigu. Jika kita menanyakan motif mereka memasuki dunia politik, sudah pasti kita mendapatkan jawaban yang melegakan. Mereka ingin merehabilitasi politik yang sudah telanjur bengkok, ingin menciptakan sesuatu yang berbeda, bertolak dari pengandaian politik sebagai institusi yang luhur dan membebaskan. Apakah mereka nantinya berhasil menjadi antitesis dari para pendahulunya, kita boleh optimistis maupun pesimistis.
Max Weber (1958) membedakan antara politikus yang hidup dari politik dan politikus yang hidup untuk politik. Antara politikus yang menempatkan politik sebagai sarana untuk mengejar kepentingan-kepentingan pribadi dan politikus yang menjadikan politik sebagai tujuan utama bagi proses-proses pengabdian untuk kehidupan bersama. Kita tidak tahu benar seperti apakah politikus yang notabene akan dihasilkan dalam hajatan besar dan mahal tahun 2024 nanti.
Meminjam pemikiran Hannah Arendt, manusia politik juga harus mampu menciptakan distingsi diri dan mampu bertindak secara otentik. Mereka harus berbeda dengan yang lain dan tidak sekadar mengekor para seniornya. Mereka harus mampu berjarak dan bersikap kritis terhadap sistem serta lingkungan.
Persoalan distingsi diri ini sangat mendesak untuk ditekankan di sini. Sudah banyak kasus menunjukkan, politikus yang awalnya baik-baik secara perlahan-lahan dapat berubah menjadi korup, karena dia memasuki sistem yang korup atau bergaul dengan orang-orang yang tidak kredibel.
Dihadapkan pada keburukan yang sistemik dan kolektif, mereka tidak berhasil menjaga otentisitas diri sehingga larut ke dalam mentalitas kawanan. Mereka cepat kehabisan energi untuk mempertanyakan dan memperbaiki prosedur atau mekanisme politik, lalu ikut-ikutan para seniornya dalam memperagakan apa yang dikatakan Weber tadi: menjadikan politik sebagai kendaraan untuk mengejar kepentingan pribadi atau partai politik.
Pengemis politik dan politik pengemis dua term yang sedang berlomba mencari hajatnya masing-masing. Keduanya berusaha menafsirkan posisi sosial dan politik di bawah negara ini. Hanya saja, Ketika musim politik tiba, ada kekuatan tambahan yang membuat mereka bisa membedakan diri yakni modal dan citra. Pengemis tidak akan beranjak dari kelas sosial yang dikerdilakan karena modal dan dihinakan karena citra. Sedangkan, politik pengemis meraba sumberdaya dan suara dengan dua modal yang ada.
Melqy Mochamad
(Penikmat Masalah Sosial)