Iklan

Kembali Manusia di Tahun Baru

narran
Minggu, 01 Januari 2023 | Januari 01, 2023 WIB Last Updated 2023-01-01T11:58:17Z

Filsafata, Renungan, Manusia Moderen
NARRAN.ID, OPINI - Tahun baru selalu ditandai dengan harapan baru. Harapan untuk mencapai rencana-rencana besar selama satu tahun ke depan. Tahun baru menjadi semacam epistemologi tentang dunia baru.

Manusia seperti "lahir" kembali pada dunia yang benar-benar baru sehingga semua rantai sejarah di masa lalu seolah-olah diputus dengan epistemologi tahun baru. Pada saat itu, manusia menatap kembali hidupnya selama satu tahun ke depan.

Hal-hal buruk di masa lalu seolah-olah hendak ditanggalkan begitu saja. Sebab dalam dirinya, menggantung harapan-harapan baru. Harapan menjadi manusia sempurna, yang bebas dari perbuatan destruktif (Thomas Hobbes) dan selalu merindukan maslahat bersama (Murtadha Mutahhari) sebagai manifestasi dari kesadaran eksistensial (Jean-Paul Sartre).

Manusia hidup pada sebuah ruang dan waktu. Pemaknaan terhadap hidup selalu didasarkan pada segenap harapan yang menggantung dalam benak masing-masing. Ruang menjadi tempat manusia dalam berproses mencari eksistensi dirinya sebagai manifesitasi dari kesadaran tentang waktu.

Sedangkan waktu adalah sebuah masa tak terbatas, yang di dalamnya manusia berproses mendialogkan kesadaran diri dengan ruang tempat manusia itu ada. Ruang dan waktu menjadi semacam sejoli yang tidak pernah bisa dilepas dalam hidup manusia.

Sebab, di dalam keduanya itu manusia hidup dan menggerakkan senegap harapan sebagai wujud dari kesadaran dirinya tentang hidup.

Itulah mengapa kelompok filsuf materialisme seperti Baron von Holbach, Feuerbach, Moleschott, Buchner, dan Haeckel begitu mati-matian memperjuangan gagasannya, bahwa inti dari segala yang ada adalah materi, termasuk manusia. Sebagai buktinya, manusia butuh tempat (materi) untuk beriksistensi karena manusia itu sejatinya juga materi.

Tetapi kritik filsuf eksistensialisme terhadap materialisme menarik untuk dicermati pada awal tahun baru ini. Filsuf materialisme menyebut manusia tak ada bedanya dengan benda-benda lainnya, sebagai sebuah hasil dari proses-proses hukum-hukum alam, kimia, dan biologi, sehingga seolah-olah sama seperti hewan dan tumbuhan.

Filsuf eksistensialisme menyangkal pandangan tersebut karena hal itu mereduksi totalitas manusia. Manusia memiliki kompleksitas diri yang tak dapat diukur, misalnya ketika berhadapan dengan momen-momen eksistensial, seperti pengambilan keputusan, kecemasan, optimisme, takut, berani, galau, tenang, sedih, bahagia, benci, dan suka.

Momen-momen eksistensial itulah yang memengaruhi diri manusia dalam hidup. Boleh saja di awal tahun memiliki semangat yang besar dalam melakukan perubahan. Tetapi ketika dihadapkan pada sebuah realitas yang berbeda, kemudian kesadaran eksistensial manusia meresponsnya, bisa saja mereka akan berbalik seratus delapan puluh derajat.

Kesadaran Eksistensial

Diktum Rene Descartes, cogito ergo sum (aku berpikir maka aku ada), menghadirkan tatanan dunia baru yang mampu menggerakkan manusia melampaui realitas dalam hidupnya. Kesadaran untuk berpikir dan mencipta realitas menjadi euforia manusia dalam menyambut tahun baru.

Mereka merangkai segenap harapan, bahkan seolah-olah hendak menaklukkan waktu yang tak terbatas, menjadi sebuah kenyataan (kesuksesan) yang diraihnya selama satu tahun ke depan. Hal itu menandakan betapa kekuatan berpikir manusia memunyai kekuatan yang sangat besar dalam hidup.

Dengan kemampuan berpikirnya, manusia dapat melampaui realitas yang mengungkung dirinya. Bahkan, dengan imajenasi (ide) yang dibayangkan, manusia mampu menciptakan sesuatu yang dahulu belum pernah ada (Plato).

Meski demikian, kita juga jangan lupa bahwa kesadaran eksistensial kadang-kadang tidak mampu juga melampaui realitas (fenomena) yang ada. Itulah mengapa dalam hidup ini ada manusia yang sukses dan gagal.

Kesuksesan dan kegagalan dalam hidup merupakan dampak dari dialog kesadaran eksistensial dengan realitas hidup manusia. Bahkan kadang, yang menentukan kesuksesan atau kegagalan bukan kesadaran, tetapi realitas (fenomena) yang ada di dalam hidupnya (Martin Heidegger).

Oleh sebab itu, dalam mengarungi perjalanan satu tahun ke depan, bahkan hingga seterusnya, kematangan psikologi kita menjadi kunci kesuksesan hidup (Sigmund Freud). Kesiapan mental menghadapi manis-pahitnya perjalanan hidup harus menjadi pengawal setiap harapan yang kita bangun pada awal tahun.

Karena kenyataan yang ada di depan belum jelas dan buram. Manusia boleh saja mengusahakan yang terbaik, tetapi Tuhan bisa mencipta sesuatu di luar perkiraan manusia.

Kesadaran Spiritualitas

Maka, selain menggerakkan kesadaran eksistensial manusia pada tahun baru, kita perlu menggerakkan kesadaran spiritualitas kita pada Tuhan agar dalam menjalani hidup, kita tidak hampa kedamaian dan tidak mudah putus asa.

Kesadaran spiritualitas membuat manusia mampu membaca makna dan nilai hidup seutuhnya (Neck dan Milliman) sehingga tidak semua peristiwa atau realitas buruk bagi orang yang memiliki kesadaran spiritualitas dianggapnya buruk pula. Orang yang memiliki kesadaran spiritualitas memiliki cara berbeda dalam memahami realitas sehingga kegagalan seribu kali sekalipun tidak memuat mereka berhenti memperjuangkan harapan dalam hidup.

Nilai hidup bagi orang yang memiliki kesadaran spiritualitas bukan pada hasil, tapi lebih pada usaha mencapai kesempurnaan hidup.

Selain itu, kesadaran spiritualitas mengarahkan manusia pada jalan yang baik dan menghindarkan manusia dari perbuatan yang buruk.

Dalam mencapai kesuksesan tidak menggunakan cara-cara curang, seperti korupsi, mencuri, dan merampok. Realitas hidup bagi orang yang memiliki kesadaran spiritual yang tinggi selalu diarahkan pada pencapaian yang sempurna sebab mereka sadar bahwa pencapaian apa pun yang didapatkan di dunia, pada saatnya nanti akan berlalu.

Semua yang ada hanya titipan Tuhan. Manusia hanya terus berkejaran dengan waktu, bahkan kadang seolah-olah hendak menaklukkan waktu. Semantara waktu terlampaui besar untuk ditaklukkan manusia.

Pada saatnya nanti, manusia tidak akan mampu melawan waktu karena waktu adalah keabadian, tidak memiliki batas awal dan akhir. Semua waktu sama (Aristoteles). Tahun baru sejatinya hanya "ilusi" manusia untuk menaklukkan waktu dengan memotong-motongnya menjadi keratan detik, menit, jam, hari, minggu, bulan, dan tahun.

Karena itu ilusi manusia, pada saatnya nanti semua akan berlalu sebab waktu itu sama. Tetapi atas nama ilusi, saya juga tetap berucap: Selamat Datang Tahun Baru 2023!


Penulis:
Mochamad Marhaen
(Penikmat Masalah Sosial)
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Kembali Manusia di Tahun Baru

Trending Now

Iklan

iklan