Iklan

Lato-Lato dan Karakter Masyarakat Kita

narran
Minggu, 08 Januari 2023 | Januari 08, 2023 WIB Last Updated 2023-01-08T06:49:33Z

Lato-lato, anak-anak, permainan, budaya
(Sumber: www.kumparan.com)
NARRAN.ID, OPINI - Permainan “Lato-lato” mulai menarik perhatian. Ada yang menganggap permainan itu mengeksploitasi waktu kita. Unik memang ketika permainan ini dijadikan salah satu perlombaan yang dipertandingkan oleh beberapa daerah di tanah air. Lato-lato saat ini menjadi ghiroh baru yang sedang viral hampir seluruh penjuru Indonesia. Walaupun masih simpang siur, ada beberapa literatur yang mengatakan jika lato-lato merupakan sebutan permainan tradisional daerah Bugis. Masyarakat Makassar menyebutnya katto-katto dan masyarakat jawa menyebutnya etek-tek. Tapi ada juga yang mengatakan jika lato-lato ini bukan permainan asli Indonesia, melainkan mainan ini pertama kali muncul di era 1960 dan semakin popular satu tahun berikutnya di Amerika dan disebut clackers.

Yang membuat kita semakin terheran-heran, mainan yang mungkin banyak membuat kita terganggu dengan bunyi dari benturan dua buah bijinya, menimbulkan kekacauan. Awal mulanya clackers mirip dengan boleadoras atau senjata pilihan untuk gaucho (alat yang digunakan oleh koboi) di Argentina. Tapi boleadoras ini diadopsi menjadi mainan bagi anak-anak di Inggris. Bukannya menjadi mainan yang disukai, malah clackers ini membuat kegaduhan. Hal itu ditandai dengan banyak anak kecil yang terluka dan bahkan ada yang sengaja melukai orang lain. Peristiwa itu lalu mendorong pemerintah Inggris melarang anak-anak membawa dan memainkan “Lato-lato”.

Saat mula kehadirannya, bahan lato-lato ini terdiri dari bahan kaca. Itu lah sebab utama dari kerusuhan tersebut karena ketika dimainkan rentan untuk pecah dan meledak akibat benturan bolanya. Kemudian pecahan dari clackers ini bertebaran dan akhirnya mengenai tubuh si pemain bahkan menyebabkan cedera serius. Sehingga pada tahun 1985, pemerintah Amerika resmi menetapkan clackers ini sebagai mainan yang berbahaya. 

Karakter Kita

Kerap kali masyarakat +62 selalu ikut-ikutan dalam hal yang viral, mulai dari Citayam Fashion Week di zebracorss Stasiun BNI City, kemudian ada trend NGL. NGL ini adalah sebuah aplikasi yang membuat seseorang bisa mendapatkan pesan atau komentar dari orang lain yang kita tidak bisa melihat siapa yang mengirimkan pesan tersebut, selanjutnya timbulnya berbagai challenge yang viral di media sosial akhir-akhir ini, kemudian sempat ada permainan “Among Us” yang hadir diawal covid-19 lalu. Sekarang muncul lato-lato yang mendadak hadir ditengah-tengah kita. 

Tentunya menghadirkan stigma bahwa masyarakat Indonesia saat ini latah (suka dan mudah) ikut-ikutan trend gaya hidup (life style), dan menandakan orang Indonesia iyu yang inferiority (rendah diri) dan overproud (bangga berlebihan). Kelatahan dengan mengikuti trend gaya hidup (penggunaan produk teknologi, olahraga, fashion, kuliner dll.) merupakan cara orang yang inferiority untuk mendapat perhatian dan pastinya mementingkan eksistensi diri. 

Dalam pandangan akademisi, fenomena itu disebut konformitas, tapi apa makna dari konformitas? Suryanto dalam bukunya yang berjudul Pengantar Psikologi Sosial menjelaskan bahwa konformitas itu sebagai kecenderungan seseorang untuk mengubah perilaku serta persepsi dirinya untuk menyesuaikan dengan keinginan orang lain. David G. Myers seorang profesor psikologi di Hope College di Michigan, Amerika Serikat mengatakan jika konformitas berarti transformasi tingkah laku pada diri seseorang yang diakibatkan dari pressure sekelompok masyarakat. Myeres juga menambahkan bahwa konformitas tak semata menjadikan personalitas diri sebagai orang lain, melainkan disebabkan dampak perilaku orang lain baik itu yang dilihat maupun hanya sekedar hayalan.

Misalnya saja, ketika kita melihat tokoh yang didambakan memakai pakaian branded, kita sebagai penggemarnya pun mengikuti gaya pakaian si orang yang kita idolakan. Adalagi masyarakat yang ingin menjadi Rafathar, karena kehidupan yang glamor dan semua serba ada dan tentunya ori. Beberapa orang pun rela membeli dan mengikuti gaya hidup Rafathar. Walaupun kita tahu, akan sangat sulit bisa menyamakan gaya hidup kita dengan seorang anak kecil yang bernama Rafathar anak dari presenter sohor di Indonesian, yaitu Rafi Ahmad.  

Hal itu semata-mata dilakukan tanpa sebab, karena faktanya setiap manusia mempunyai hasrat untuk dipuji dan disukai, tentu salah satu caranya adalah menerapkan konformitas terhadap apa yang dia inginkan agar tak terjadi penyudutan dan agar ia diterima didalam sebuah kelompok sosialnya. Fenomena munculnya “Lato-lato” ini mengingatkan kita dengan istilah Homo Ludens, yaitu Sebuah konsep yang memahami manusia sebagai makhluk pemain yang suka memainkan permainan. Homoludens sendiri merupakan konsep yang muncul atau ditemukan dalam kebudayaan. Setiap kebudayaan memperlihatkan karakter manusia sebagai makhluk yang suka bermain. 

Tentu dengan penjelasan diatas, sudah tergambar dipikiran kita apa itu Homo Ludens juga keterkaitan lato-lato yang membuat semua orang tanpa pandang umur, berang yang seakan-akan kita diingatkan kembali dengan permainan rubic dan tetris di masa lampau. 

Sepertinya, masyarakat Indonesia memang pantas di sematkan gelar seperti itu. Coba kita bermawas diri tiap-tiap kita, dimana kita selalu mengekor atau ikut-ikutan melakukan suatu hal yang disatu waktu sangat viral dan itu lumrah kita lakukan berulang-ulang. Sejatinya tidak masalah, tinggal bagaimana kita bisa menilai mana yang baik untuk dilakukan dan berdampak positif bagi diri kita, mana yang buruk untuk dilakukan dan malah berdampak negatif bagi kita, tinggal kita yang memilah dan memilih. Seperti kata Christopher Robin, Ingatlah selalu bahwa kamu lebih berani dari yang kamu yakini, lebih kuat dari yang terlihat, dan lebih pintar dari yang kamu pikirkan.

Dalam kamus ilmu psikologi, kecenderungan seseorang yang gemar mengikuti sesuatu juga dinamakan Bandwagon Effect. Istilah tersebut hadir ketika manusia suka memungut perilaku dan gaya orang lain hanya disebabkan orang lain melakukannya juga, tanpa memikirkan nilai norma yang berlaku. Singkatnya fenomena ini bisa disebut latah sosial. 

Hal itu kemudian disebabkan karena tiga faktor, pertama karena masyarakatnya yang Fomo, apalagi di masa serba digital ini, gelagatnya jika kita tidak membuka sosmed maka kita akan tertinggal begitu banyak hal walau hanya beberapa jam saja. Pun sama halnya, Fomo ini juga membuat orang tersebut menganggap kurang update yang disebabkan ada yang terlewat dan tidak kita lakukan di platrom sosial media yang ia punya. Kedua, disebabkan karena faktor image personalnya. Karena pada dasarnya kita ini selalu menjaga image kita positif dimata orang lain. Itu pasti, karena mustahil ada orang yang mau mendapat penilaian buruk dari orang lain. 

Itulah yang menyebabkan kita selalu berusaha untuk mengadopsi trend pakaian, lifestyle dan sebagainya. Semua itu dilakukan semata-mata untuk menghadirkan image baik diri kita dimata orang lain serta dianggap memiliki keahlian dalam beberapa hal. Dan yang terakhir bisa jadi bandwagon effect ini terjadi karena pengaruh dari lingkungan atau kelompok disekitar kita. Ditambah lagi, jika sahabat dekat kita melakukan suatu hal dan kita menolak, pasti akan ada rasa canggung karena tidak “mengiyakan” ajakannya, diperparah lagi jika kita masih menjunjung rasa “Ga enakan”, fakta kan?

Terakhir, kita harus bijak menyikapi sesuatu hal, karena tidak salah kita mengikut trend yang lagi booming, asal masih dalam batas wajar dan tidak berlebihan. Jika kita melakukannya karena kesenangan pribadi toh itu juga membuat kita senang dan bahagia. Jadi ndak perlu emosi jika ada diantara teman kita yang ikut-ikutan, biarkan dan cukup diingatkan agar tak menjadi kultur yang negatif. Jangan sampai karakter masyarakat bangsa Indonesia seperti Lato-lato, dimana jati diri kita dengan mudahnya dibenturkan agar kita sebagai individu dan secara kolektif tidak mudah dijadikan mainan bagi yang memiliki kuasa dan kepentingan. Loh…

Sebagai penutup, mengutip sepenggal kalimat pengingat dari Nathaniel Branden yang mengatakan, "Salah satu karakteristik paling penting dari harga diri yang sehat adalah keadaan seseorang yang tidak berperang baik dengan dirinya sendiri maupun dengan orang lain." 



Penulis:
Farid Abdullah Lubis
(Aktivis Himpunan Mahasiswa Islam)
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Lato-Lato dan Karakter Masyarakat Kita

Trending Now

Iklan

iklan