Iklan

Maaf Negarawan Yang Tak Berguna

narran
Sabtu, 21 Januari 2023 | Januari 21, 2023 WIB Last Updated 2023-01-21T12:38:37Z

Negarawan, Berbangsa
Sumber: behance
NARRAN.ID, INTERMEZO - Konon sikap memaafkan menunjukkan kekuatan diri seseorang. Bagi yang minta maaf, dirinya dianggap lungga jiwa atas kesalahan diri. Tapi jangan lupa tidak semua kesalahan harus berbalas maaf, sekalipun kekuatan empat karakter kata itu sering menjadi senjata etika normatif seseorang. Dalam perilaku trauma, guna menghindarinya kita harus membalasnya dari pada menjadi ingatan yang membuatnya terulang kembali. Membalas bukan menunjukkan sifat dendam keseluruhan, ada hal yang spesifik yakni membagi nilai perasaan dan tanggung jawab.

Maaf juga tidak boleh dibuang percuma, karena tidak semua orang faham dan mengerti kebesaran kata itu. Ada banyak jurang Psikologis yang berpaut kebencian dan trauma. Lagi pula banyak kesalahan yang nyatanya tidak perlu dimaafkan, misal salah pakai sabun atau pasta gigi di kamar mandi, atau salah menyusun kata baku dalam proses komunikasi sehari-hari. Kenaturalan kesalahan itu menjadi korektor dan diterima dengan biasa-biasa saja.

Apakah sadar bahwa banyak anak-anak “kuliahan” salah milih jurusan. Mereka bisa berakhir tragis dan tidak jarang mendapatkan durian runtuh atas kesalahan itu. Apa yang perlu dimaafkan? Pengambilan keputusan yang salah harusnya menjadi koreksi karena dianggap merugikan orang. Namun kadangkala keputusan yang baik dan dipikirkan matang-matang juga tidak luput dari kekeliruan. Ambil contoh, seseorang memilih pasangan hidup yang dia kenal dan sayangi. Dia pikir dengan modal itu, keputusan menikahinya akan bermuara bahagia dan bijaksana bak sistem surgawi. Justru tidak jarang mereka terjebak pada prinsip atas pilihan masing-masing.

Dendam dan maaf beriringan saling mengintai. Dalam dendam yang utuh sebagaimana perumpamaan Goenawan Mohamad melukiskan kisah tentang sifat “Lupa” yang nyaris tak punya efek dalam Bharatayudha. Dalam kisah perang besar itu, dengan dendam yang utuh, Bhima memenggal leher Dursasana dan meminum darahnya, dan Drupadi mencuci rambutnya dengan darah itu pula. Waktu tak menggerus sakit hati mereka kepada pangeran Kurawa itu, yang di malam pertandingan dadu bertahun-tahun sebelumnya mencoba menelanjangi Drupadi di depan majelis.

Seakan-akan berlaku prinsip pembalasan yang setimpal dari dalam Kitab Suci Taurat: lex talionis yang menentukan "satu mata dibalas satu mata"-hukum yang juga didapatkan dalam Undang-Undang Hammurabi di Mesopotamia 1.754 tahun sebelum Masehi.

Negarawan “Maaf”

Semakin besar kontemplasi pemimpin, dirinya akan mampu memaafkan. Maaf seorang negawaran kita tersublim dalam kebijakan yang kerdil dan gengsi golongan yang tak mau didahului.  Tapi banyak juga para pemimpin dunia mengakui atas khilafnya.

Pada tahun 1993, Presiden Amerika Serikat Bill Clinton pernah meminta maaf secara resmi kepada masyarakat Hawaii karena menganggap bahwa negaranya bersalah lewat keterlibatannya dalam keruntuhan monarki Hawaii.

Di Argentina, pengadilan berani menjatuhkan hukuman kepada 29 orang yang diduga terlibat atas sebuah genosida pada era kediktatoran Presiden Jorge Rafael Videla yang dikenal dengan peristiwa Dirty War.

Pada tahun 2020, Raja Belanda pernah meminta maaf kepada Indonesia atas terjadinya sebuah tragedi kekerasan. Khususnya di tahun sekitar 1945-1949, yang secara umum berada pada era kepemimpinan Raymond Westerling.

Di negeri ini, maaf tak ada kaidah yang tak tertulis. Kebijakan yang keliru selalu bisa direvisi dengan klarifikasi serta alasan politis tentutnya. Maaf adalah sikap yang terlalu mahal untuk dibagikan cuma-cuma ke khalayak. Maaf yang politis selalu bertautan dengan kesepakatan kelompoknya terlebih dahulu. Paling tidak mereka berharap mendapatkan dampak menguntungkan untuk mereka kelola sebagai tambahan pengaruh kuasa mereka.

Ketika berbicara tentang partai politik, ada saran yang pas untuk mereka, `It is not the winning or losing. It is how you play the game'. Tidak ada gunanya menang bila permainannya curang, sebab rakyat akan ingat, dan rakyatlah yang memilih tokoh-tokoh mereka.

Ungkapan itu biasa kita dengar bila kita bicara tentang persaingan. Namun, di dunia yang semakin sempit, semakin padat, semakin kering dan semakin resah, apakah ungkapan seperti itu bisa berlaku?

Dengan fakta di lapangan, sekarang ini anjuran Machiavelli (1469-1527) kelihatannya lebih banyak dijalankan daripada utopia (yang tiada) yang digagas Sir Thomas More (1478-1535). Negarawan Inggris Thomas More memimpikan suatu masyarakat yang ideal, yang anggota-anggotanya serbabaik, bahagia, dan sejahtera: suatu masyarakat yang ‘tiada’. 

Machiavelli, bangsawan Italia itu, sebaliknya memiliki gagasan realistis bagaimana menghadapi kehidupan politik dan sosial, yaitu suatu kehidupan yang menurut dia harus diwarnai kecurangan. Demikian terus-terangnya Machiavelli dalam mengungkap sifat-sifat gelap manusia sehingga namanya sampai sekarang sinonim dengan perilaku politik yang serbalicik, licin dan lihai, yang bisa saja dianggap tidak melanggar hukum. Yang berbuat salah sengaja mencari celah-celah kelemahan hukum untuk menyelamatkan dirinya. Inilah yang kita lihat sedang banyak terjadi saat ini di masyarakat kita.

Tentang kebajikan, Machiavelli mengatakan, ‘Orang yang ingin membuat kebajikan sebagai profesinya akan terpaksa menderita dalam segala hal karena dia hidup di antara demikian banyak orang jahat. Karena itu, kita perlu belajar bagaimana bersikap tidak baik dan menggunakan serta menerapkan pengetahuan itu sesuai tuntutan situasi.’ 

Tentang ‘kekayaan’, Machiavelli berkata, ‘Saya yakin kita lebih baik nekat daripada hatihati, karena kekayaan seperti perempuan, memang perlu ditaklukkan dengan kekerasan.’ Pikiran seperti itu yang barangkali menjadi obsesi mereka yang korupsi sekarang ini.

Untuk menyoroti panggung percaturan politik kita, sepertinya banyak yang beranggapan seperti Machiavelli, the end justifies the means. Pendek kata, yang penting hasil akhirnya, bukan caranya. Fakta itu mencemaskan karena sikap utopis para pemimpin yang diidealkan mungkin hanya berupa mimpi. 

Kesalahan memimpin masih bisa kita maafkan, tetapi kekeliruan merubah cara kepemimpinan negeri ini sulit dimaafkan. Kalaupun ada kritik yang mengarah pada mereka, biarkanlah kekecewaan itu diungkapkan dengan cara bahasa mereka sendiri, asalkan semua itu jujur akan tidak teganya kita pada kekeliruan kepemimpinan non negarawan yang sistematis dan terus berulang. Maaf kan jika ini terlalu jujur!


Penulis:
Melqy Mochamad
(Penikmat Masalah Sosial)
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Maaf Negarawan Yang Tak Berguna

Trending Now

Iklan

iklan