Iklan

Masjidpreneurship dan Pembangunan Umat

narran
Selasa, 03 Januari 2023 | Januari 03, 2023 WIB Last Updated 2023-01-03T05:04:09Z

Masjidpreneurship
NARRAN.ID, OPINI - Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) bersama Presiden Persatuan Emirat Arab (PEA) Mohamed Bin Zayed Al Nahyan (MBZ) meresmikan Masjid Raya Sheikh Zayed Solo. Masjid itu sebagai penanda hubungan harmonis kedua negara ini. Kemegahan dan arsitekturnya sudah tidak dipungkuri. Kini hanya bagaimana memikirkan bangunan itu tidak saja sebatas tempat ibadah saja. Sama halnya dengan banyak masjid di Indonesia, masih sedikit sistem dan budaya pengelolaan yang matang sehingga masjid bisa mandiri dengan sendirinya.

Dari data PIC SIMAS (sistem informasi masjid) yang dikelola oleh Kemenag RI mencatat jumlah masjid seluruh Indonesia saat ini sebanyak 741.991 buah bangunan. Harusnya dengan banyaknya banguann masjid, harapan untuk menjadikannya sebagai sentrum pembangunan umat bisa dipenuhi.

Kita melihat dengan seksama banyak masjid yang tidak menarik Jemaah. Bahkan beberapa kegiatan di masjid ternama sekalipun, tidak mampu mengilhami masyarakat muslim mengaktivasi pada kegiatan pembangunan umat. Jawabannya sederhana, masjid dianggap tidak memiliki gairah untuk menjembatani hubungan pada pemenuhan kehidupan sehari-hari. Artinya tidak ada mekanisme ekonomi yang dikelola dan disalurkan dalam prospek pemberdayaan.

Setelah orde baru, sebenarnya kita sedang menikmati tumbuhnya kelas menengah muslim jumlah masjid di tanah air meningkat drastis. Dampak itu juga menyisir pada kalangan santri mendapatkan berkah pendidikan sejak era Orde Baru dan mendapatkan posisi strategis secara ekonomi, politik, sosial, dan peran di negara kita. Kuncinya bahwa pertumbuhan ekonomi diikuti dengan pertumbuhan identitas keagamaan. Kemampuan ekonomi juga memicu kemampuan membangun masjid, pergi haji, umroh, mendirikan sekolah, rumah sakit, dan kantor-kantor keagamaan.

Saat pemerintah mencoba melakukan upaya kontrol para pendakwah dalam masjid tidak salah. Namun keliru jika perhatian pada pengaturan tempat ibadah, termasuk masjid, perlu manajemen, administrasi, dan kemakmuran masjid luput perhatian pemerintah. Kita bayangkan fungsi masjid di pedesan tersambung sebabagi mekanisme dalam penjajakan ekonomi masyarakat di tempat tinggalnya. Betapa indahnya kemudian cerminan masjid mempertemukan simbul ibadah mahdhah dan ibadah ghairu mahdhah dalam dimensi keummatan.

Galang Ekonomi Jamaah

Rumah ibadah idealnya, terutama masjid, tidak sekadar tempat berdoa. arena berkumpulnya umat, di mana komunikasi dan interaksi terjadi. Tempat ibadah adalah potensi komunikasi masyarakat sipil dalam era demokrasi di warga yang religius. Maka pemerintah dan masyarakat sangat berkepentingan untuk mengelola ini dengan sebaik-baiknya.

Semangat masyarakat muslim membangun masjid tidak linier dengan sikap menjadikan majid sebagai tempat pengambilan keputusan pembangunan jangka panjang. Jika terdapat lingkungan masyarakat dengan mata pencarian rendah dan terkikis dari persaingan zaman. Sedang, masjid tegak berdiri maka, disimpulkan peran masjid tidak berfungsi maksimal. Di mana, masjid di zaman Nabi jauh melampaui fungsi masjid modern yang saat ini banyak berdiri saat ini.

Kita masih disibukkan dengan persoalan alam pikir millennial muslim untuk menarik mereka lebih banyak datang ke masjid. Potensi mereka banyak dan beragam, namun tidak dapat dikolaborasikan dengan mekanisme di dalam masjid. Anak muda harusnya bisa ikut mendesain bagaimana masjid mengelola, melatih, dan mencari konsep pembedayaan. Masalah lain, anak muda melihat keperluan spiritualitas sudah banyak tersebar bebas di ruang lain selalin masjid. Posisi ini mengeliminasi masjid sebagai ruang interaksi kegamaan, sosial, dan ekonomi.

Bagaimana pertalian ekonomi dan masjid akan bersintesa? Jawabannya karena masjid memiliki jamaah. Masjid juga bisa menjadi tempat redistribusi kekayaan. Ia bisa menjadi pemantau masyarakat di sekelilingnya yang masih dalam taraf miskin. Bahkan, data milik masjid tentang keluarga miskin bisa lebih akurat daripada data pemerintah. 

Guna meningkatkan produktifitas, ada saran seharusnya masjid, takmir, dan jamaahnya bisa menjadi driver bagi pemberdayaan ekonomi di tingkat grass root. Masjid bisa menjadi agen kemakmuran. Masjid bisa menjadi hub untuk menjalankan beragam aktivitas ekonomi (valuecreating activities) yang memberikan kemanfaatan umat, termasuk di dalamnya aktivitas bisnis dan perdagangan. 

Pengelolaan dana zakat, infak, sedekah, wakaf (ziswaf) dari jamaah merupakan sumber pendanaan mandiri bagi masjid yang potensinya luar biasa. Kalau sumber dana ini bisa digalang dan dikelola secara profesional, fungsi masjid sebagai agen. Maka akan banyak lagi model Pesantren dan Masjid Daarut Tauhid (DT) di Geger Kalong Bandung atau komunitas masjid dengan spirit kewirausahaan sebagai masjid Jogokariyan di Yogyakarta.

Terkait format organisasinya bukan fokus pada business enterprise yang melulu mencari laba (profit-making), tapi social enterprise di mana setiap keuntungan yang diperoleh harus sebesar-besarnya dikontribusi untuk kemanfaatan umat (social welfare). Format social enterprise ini menurut saya sudah dijalankan secara baik sekali oleh LAZ (lembaga amil zakat) modern seperti Dompet Dhuafa atau Rumah Zakat. 

Berfungsinya masjid sebagai pusat kegiatan kemasyarakatan bukan karena konteks sosial yang masih sederhana, melainkan justru karena proses manajemen sosial kemasjidan yang telah berfungsi sebagai pengikat sosial. Kini masjid menjadi tereduksi pada sisi ibadah mahdah dan cenderung statis, salah satu penyebabnya, menurut beberapa pandangan yang mengemuka, adalah lemahnya fungsi masjid karena kualitas pengurus masjid sangat lemah. Akhirnya, produktivitas dan peranan masjid lemah. 


Penulis:
Eric Hermawan
(Pengurus Pusat Ekonomi Umat MUI Pusat)
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Masjidpreneurship dan Pembangunan Umat

Trending Now

Iklan

iklan