Iklan

Naik Kelas Strata Ekonomi

narran
Sabtu, 21 Januari 2023 | Januari 21, 2023 WIB Last Updated 2023-01-21T04:31:51Z

kelas sosial, anak muda, generasi sandwich, kerja, kesehatan mental, ekonomi
Sumber: behance
NARRAN.ID, OPINI -Berawal dari sudut pandang pribadi, segala hal di depan mata terlihat jelas. Jika seseorangf terlahir sebagai anak yang fakir, sudut pandang itu tentu tidak banyak menghasilkan apa-apa bagi dirinya. Seiring umur semakin panjang, celotehan teman sebaya, semakin hari kaya akan sudut pandang baru.

Si A misalnya, kawan karib yang sejak sekolah sudah bekerja demi kebutuhan keluarga sehari-hari. Semasa duduk di bangku kuliah, dirinya aktif mengejar beasiswa demi intensif keuangan yang dapat disalurkan kepada orang tua dan adik-adiknya. Dia harus sesegera mungkin menyelesaikan studi karena diburu oleh beasiswa dan tekanan keluarga untuk segera memperoleh pekerjaan dan pendapatan yang aman dan tetap. 

Dia tak punya banyak pilihan karier, mendaftarkan diri pada setiap lowongan, tak perlu linier dengan peminatan kuliah yang digelutinya, yang penting keluarga bisa makan. Bersyukur dengan gaji setara UMR Ibukota, walaupun dibuat semasuk akal mungkin untuk menghidupi, tidak hanya dia seorang. Alasan selalu mengeluh tidak bisa menabung dan investasi, untuk makan pun, di tanggal tua harus meminjam kerabat. 

Tiga tahun bekerja, dia akhinya memutuskan berhenti dan berpindah ke perusahaan lain. Kali ini masih posisi yang sama dengan remunerasi yang dianggap lebih baik. Tetap mengeluh, tetap berangkat kerja, menghabiskan waktu luang dengan istirahat dan berbelanja hal yang sebenarnya tidak ia butuhkan, sebagai pembalasan dendam atas waktu yang dicuri demi pencarian rupiah. Namun tidak ada kemajuan yang signifikan dalam strata ekonominya.

Ahwal, beda kisan dengan si B. Seorang perantau dari tanah Jawa. Mengadu nasib dengan berkuliah di Ibukota. Awalnya tidak sulit, namun keadaan membuatnya harus mencari beasiswa demi melanjutkan pembiayaan semester akhir dan penghidupan keluarga di kampung. 

Dia bekerja di perusahaan terkemuka setelah menamatkan pendidikan, sembari mempelajari keterampilan baru. Tiga tahun bekerja, ia memutuskan untuk membuka perusahaan sendiri, mencari konsumen dan pasar. Gaji perusahaan senilai UMR, sekarang dikalahkan sepuluh kali lipat dengan pendapatan bersih perusahaannya yang bergerak di bidang jasa.

Datang si C. Seorang yang lahir dari keluarga yang kaya raya. Hidupnya ditopang oleh kemapanan finansial, ia tak perlu memikirkan bekerja untuk memperoleh penghasilan. Namun kenyataan ini tidak membuatnya tergerak untuk maju dan mengembangkan potensi lain yang ada di dirinya. 

Tak ingin disebut pemalas, namun menyelesaikan tugas akhir pun terlampau lama. Ternyata memiliki apa yang disebut orang sebagai privilege, tak membuatnya termotivasi. Namun, pada akhirnya ada satu hal yang membuatnya tidak berhenti bekerja, dan itu bukan pada minat ataupun bakat. Melainkan jiwanya yang takut untuk mencium kemiskinan. Takut berada pada kondisi tidak serba ada, tidak serba terfasilitasi. Tampak mewah di luar, namun berjiwa kelas bawah. 

Ketiganya adalah karib Penulis dalam kehidupan. Mereka semua turut memberi andil dan memperkaya sudut pandangku. Dalam tatanan ekonomi, kita setuju untuk mengklasifikasikan masyarakat dalam tiga kelas: bawah, menengah, dan atas. Dalam Rich Dad Poor Dad karya Rober Kiyosaki dijelaskan, kelas bawah bekerja untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Kelas menengah bekerja untuk kebutuhan dan membeli hal-hal yang sebenarnya termasuk daam kategori sekunder dan tersier, untuk kelasnya. Serta kelas atas yang dapat membuat uang bekerja untuk mereka.

Pertanyaannya sekarang, apakah kita kaum kelas bawah dan menengah dapat berpindah ke strata yang lebih tinggi, alias kelas atas?

Tentu bisa. Langkah pertama adalah mengetahui bahwa semua terletak dari sudut pandang. Banyak orang tidak mampu bukan karena ia benar-benar tidak mampu, tapi karena takut untuk melangkah dan memulai petulangan baru. Takut resign dari pekerjaan saat ini karena memberi penghasilan yang aman, namun tetap mengeluh dengan nominal gaji yang didapatkan. Perlu jiwa yang berani keluar dari garis aman, mencoba hal dan dunia baru, demi peluang baru.

Mari kita sederhanakan dengan pertanyaan: Bagaimana kita menanggapi tren kebutuhan sumber daya manusia saat ini? Apa yang kita bisa? Apa yang kita belum bisa? Untuk anda yang sekarang mendapati diri membaca artikel ini di meja kantor, keterampilan apa yang anda punya selain keterampilan dasar seperti time management, komunikasi, service excellent, public speaking, problem solver, data management, dan pengoperasian Microsoft Office? Bahkan, hanya satu dari lima pemuda pemudi yang lihai dalam pendayagunaan aplikasi editing, padahal, kita hidup pada dunia serba digital—berita, pesan antar makanan, belanja, pembiayaan, hiburan bisa diperoleh dari internet, yang secara tidak langsung, editing menjadi keterampilan dasar di era ini.

Tentu, anda akan berpikir “Bagaimana bisa saya keluar dari pekerjaan ini? Saya harus membiayai keluarga saya.” Pernyataan ini akan berujung pada dua hal: menjadi amal jariyah bagi anda karena dengan ikhlas membantu perekonomian keluarga, atau terjebak pada istilah sandwich generation dan menyalahkan kondisi keluarga yang membuat perkembangan diri 'terhambat'

Apa yang bisa kita lakukan? Mari ingat sejenak karib penulis yang bernama si B. Si tulang punggung yang selalu haus akan keterampilan baru. Justru karena ada keluarga yang perlu dinafkahi, ia belajar keterampilan baru dan mendirikan perusahaan demi pendapatan yang lebih baik. Ia tidak dengan bodohnya resign mengetahui keadaan keluarganya yang membutuhkan sokongan finansial, ia mencari, membuat waktu demi mengasah pribadi, yang tentunya, demi kemaslahatan keluarganya juga.

Apa ada yang salah pada diri A? Membaca sekilas perihal hidupnya, tentu tidak salah sebagai anak untuk menafkahi kedua orang tua di masa tua mereka. Sungguh, perbuatan yang mulia. Namun di satu sisi, kita mampu keluar dari zona pengelompokkan strata ekonomi yang sudah dibangun, dengan mempelajari keterampilan-keterampilan baru sesuai dengan kebutuhan zaman. Tidak masalah untuk bekerja di suatu perusahaan, pun tidak masalah pula untuk sembari mendirikan usaha kecil-kecilan. 

Lantas, apa yang salah dengan C? Hidupnya lebih dari cukup. Namun jiwanya seakan terbelenggu atas rasa takut kehilangan uang. Faktanya uang hanya secarik kertas yang diberi nilai. Hidup memang butuh uang, tapi tidak setiap aspek dalam dunia ini membutuhkan uang. 

Penulis kenal seorang yang bekerja siang malam dengan penghasilan puluhan juta, rela mengorbankan uangnya demi waktu bersama kawan dan keluarga. Keadaan tidak menjadi lebih mulus juga walaupun penghasilanmu lebih dari rata-rata penduduk kebanyakan. Coba lihat berbagai sudut pandang.   


Penulis:
Nada Najiha 
(Bekerja Sebagai Legal Paradoks)
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Naik Kelas Strata Ekonomi

Trending Now

Iklan

iklan