Iklan

Pendidikan Itu Investasi, Bukan Sekedar Proyek!

narran
Minggu, 22 Januari 2023 | Januari 22, 2023 WIB Last Updated 2023-01-22T13:17:06Z

pendidikan, anak, perbudakan, buruh
Sumber: behance
NARRAN.ID, OPINI - Beberapa waktu lalu jagat Twitter riuh. Nadiem Makarim menjadi bahan perbincangan warganet setelah dirinya secara blak-blakan berbicara soal pendidikan di Indonesia. Banyak yang terkesima juga terpesona dengan apa yang diungkapkan olehnya. Tapi juga tidak sedikit yang melontarkan tanya dan kritik atas apa yang menjadi tanggung jawab sang menteri. Saya pribadi cukup kecewa dengan cara pandang Mendikbud RI tersebut. Pasalnya pernyataan beliau tidak bisa dilepaskan dalam kerangka kapitalisme yang semakin hari semakin merangsek masuk mengkooptasi sistem pendidikan nasional kita.

Dalam pernyataannya di podcast End Game, Nadiem mengafirmasi bahwa sistem pendidikan selaras dan berbanding lurus dengan Gross Domestic Product suatu negara. Tidak ada satu negara pun di dunia yang memiliki sistem pendidikan yang mumpuni kecuali pendapatan GDP-nya tinggi. Jika dilihat dari atas permukaan maka pernyataan Nadiem tidaklah salah. Faktanya memang demikian. Negara-negara dengan sistem pendidikan yang maju memang memiliki angka GDP yang tinggi. Tetapi akan menjadi masalah ketika paradigma pendidikan, baik itu sekolah menengah maupun pendidikan tinggi, direduksi sedemikian rupa hanya untuk mengejar GDP demi meningkatkan kualitas sistem pendidikan nasional. Agaknya cara pandang seorang teknokrat masih melekat dalam diri Nadiem Makarim, apalagi setelah namanya melambung sebab Gojek menghijaukan jalanan macet di Jakarta.

Sebagai seorang teknokrat, model berpikir Nadiem terkait erat dengan penyelesaian yang bersifat teknis dan manajerial. Ya, memang harus diakui, siapapun yang ada di Indonesia akan sepakat bahwa, secara teknis dan manajemen, sistem pendidikan kita masih sangat amburadul. Namun itu tidak berarti Nadiem juga harus mengubah paradigma pendidikan menjadi sangat pragmatis bercorak kapital sebab berorientasi pada permintaan pasar. Hal ini juga yang menjadi sorotan oleh Agus Suwignyo, Guru Besar Ilmu Sejarah UGM, yang menulis di Harian Kompas bahwa pendidikan tinggi berubah menjadi tempat pelatihan kerja semata dengan adanya program Kampus Merdeka.

Memang Kampus Merdeka diinisiasi oleh Kemendikbud RI sebagai upaya mematangkan pendidikan mahasiswa di kampus melalui mekanisme magang di perusahaan. Output-nya mahasiswa diharapkan dapat memasuki dunia kerja dengan pengamalan magang sewaktu menjadi mahasiswa. Sedangkan outcome-nya mahasiswa diharapkan memiliki pengetahuan teknis lapangan sebagai ekstensi dari teori yang mereka dapat di bangku kuliah.

Namun program tersebut terlahir bukan tanpa kekhawatiran. Begitu banyak kecemasan yang juga ikut mencuat sebagai bentuk kritiknya. Ke depannya mahasiswa tidak lagi memandang pendidikan sebagai upaya pembebasan diri, melainkan sebagai upaya menjerat dirinya sendiri dalam ilusi kapital. Tentu saja, urusan yang satu ini tidak perlu lagi menunggu 10 tahun lagi untuk melihat dampaknya, seperti yang diproyeksikan oleh Nadiem Makarim. Saat ini pun cara pandang demikian bisa dilihat secara vulgar di depan mata kita.

Persoalan lainnya yang membuat saya menjadi cemas dan bertanya-tanya adalah sejauh mana Kemendikbud RI mengelola dan memajukan kebudayaan Indonesia? Ini menjadi satu persoalan yang tidak bisa dilepaskan begitu saja mengingat nomenklatur “kebudayaan” terpampang dengan jelas di kementerian tersebut. Selama ini mahasiswa-mahasiswa kesenian, karawitan dan kebudayaan dibuat kebingungan. Mereka tidak diberikan wadah yang baik dan akses yang mulus untuk pekerjaan. Program studi mereka mendapatkan stigma suram karena tidak menjanjikan prospek di masa depan. Apakah mereka, mahasiswa kesenian, karawitan, dan kebudayaan, juga diberikan akses dan perhatian yang sama seperti pendidikan vokasional yang diberikan program link and match? Apa jenis pendidikan tersebut tidak memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan GDP? Sehingga kementerian hanya memberikan porsi lebih terhadap pendidikan yang menguntungkan secara kapital?

Padahal di sisi lain, jika kita mau mengikuti perkembangan pemikiran alternatif, saat ini dunia sedang bergerak ke arah sebaliknya. Misalnya saja beberapa ekonom kelas dunia, seperti Schumacher dan Stiglitz, mulai mempertanyakan ulang penggunaan GDP sebagai indikator kemajuan sebuah negara sambil mengajukan indikator lainnya yakni Gross National Happines (GNH). Ada juga Jason Hickel dan Andrea Vetter yang menawarkan konsep Degrowth, di mana indeks kemajuan sebuah negara hanya bisa dicapai melalui pelambatan pertumbuhan demi menjaga keseimbangan. Mungkin di dalam pikiran Nadiem, kebahagiaan masyarakat bisa dicapai melalui skema pertumbuhan GDP. Padahal fakta di lapangan, semakin ekonomi bertumbuh, jurang disparitas akan semakin melebar sebagai salah satu ekses dari akumulasi kapital. 

Kalau sudah begitu, satu hal yang benar-benar menjadi sorotan bagi saya, dan mungkin Menteri Pendidikan alpa dalam hal ini, bahwa pendidikan adalah investasi, bukan sekadar proyek. Sebab investasi maka ia selalu terikat dengan valuasi; selalu ada nilai yang dijaga dan dipertahankan. Kalau hanya sekadar proyek; lebih baik sekolah juga perguruan tinggi dibubarkan saja, lalu memperbanyak bootcamp. Itu jauh lebih realistis-pragmatik di zaman yang sedang keranjingan teknologi.


Penulis:
Rhoma DY Reynaldi
(Pegiat Kajian Sosial Pelajar)
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Pendidikan Itu Investasi, Bukan Sekedar Proyek!

Trending Now

Iklan

iklan