Sumber: behance.net |
Dalam konteks kepemimpinan modern di kehidupan bernegara, ucapan dan tindakan pejabat harus benar-benar ditakar dan dijaga. Tidak bisa bicara atau bertindak semaunya. Setiap apa yang diucapkan pejabat adalah kebijakan publik. Setiap apa yang dilakukan pejabat adalah kebijakan publik.
Dalam konteks kehidupan politik NKRI modern, kita tahu ada beberapa pejabat yang sering berucap dengan kasar dan ngaco. Meminjam ucapan peribahasa rakyat, kita pasti pernah mendengar istilah: mulut kok tidak ada rem-nya. Hal ini untuk menunjukkan orang yang asal bicara, tanpa dipikir.
Di Indonesia, kita tahu, pernah ada pejabat sekelas gubernur yang ngomongnya asal ucap. Herannya lagi, dia berucap tentang hal-hal sensitif yang terkait dengan agama. Namanya adalah Basuki Tjahaja Purnama atau biasa dipanggil Ahok.
Satu ketika, dia pernah meledek ajaran Kristen. Dalam satu rapat resmi di Pemprov DKI Jakarta, dia pernah berucap seperti ini:
"Konyolnya orang Kristen tuh mereka pasti masuk surga. Itu ajaran Kristen itu agak konyol tuh. Kalau Islam lebih realistis. Masih mudah-mudahan. Timbang-timbang mana pahala mana dosa tuh. Jadi orang Islam itu nggak berani mengklaim pasti masuk surga.”
Di waktu lain, dia melontarkan tentang “dibohongi pakai surat Al Maidah 51”. Sama dengan ucapan pertama, lontaran tentang pembohongan dengan ayat dalam kitab suci Umat Islam tersebut disampaikan dalam acara resmi Pemprov DKI Jakarta.
Cara-cara tersebut tentu saja cara pecundang. Mempermainkan ajaran umat beragama untuk berpolitik. Tanpa memikirkan apa dampak dari ucapan tersebut. Ibarat kata, politik seperti ini seperti melemparkan atau menyajikan buah busuk.
Dia memberikan buah busuk kepada masyarakat. Dan itu sudah dilakukan jauh sebelum pilkada/pilgub DKI Jakarta 2017. Ahok sudah menggunakan isu-isu seperti ini sejak pilkada 2012.
Tapi hebatnya, seolah-olah Ahok adalah korban politik identitas. Padahal dia yang mulai memainkan politik identitas. Mengapa bisa seperti itu? Jawabnya adalah tim buzzer yang ada di belakangnya yang melempar isu tersebut. Mereka memainkan cara playing victim. Seolah korban, padahal pelaku.
Sebelum Ahok maju menjadi wakil gubernur, lalu mencalonkan gubernur, tidak pernah ada isu politik identitas sekuat itu. Isu tersebut muncul justru gara-gara Ahok mulai menebarkan komentar-komentar berbau SARA.
Dalam rapat kerja yang berbeda, Ahok juga melontarkan pernyataan-pernyataan ngelantur bernuansa SARA. Rekaman video dibuat dan mulai beredar September 2016. Jadi sebelum pilkada 2017. Pernyataannya seperti ini:
“Pasangin wifi. Nanti kita bisa bikin tuh sama si marbotnya. Ada paswordnya tuh wifi, ya nggak? Surat Al Maidah 51, ya kan? Passwordnya kafir.”
Tak ada yang berani menegurnya. Bahkan Djarot Saiful Hidayat, Wagub, yang duduk di sampingnya terlihat ketawa-ketiwi juga saat Ahok melontarkan kalimat-kalimat kasar tersebut. Bila Djarot berpikir tentang persatuan dan kebangsaan, sudah seharusnya dia berani menegur ucapan Ahok. Sebab, ucapan tersebut sangat sensitif.
Begitu pun Ahok. Bila dia berpikir sebagai negarawan dan memikirkan persatuan dan perdamaian, sudah seharusnya dia tak mengucapkan hal itu. Ucapan-ucapan tersebut justru yang memecah warga negara dan terkotak-kotak.
Celakanya, dia punya buzzer-buzzer yang membenarkan semua tindakannya. Meskipun di mata kebijakan publik atau pun hati nurani, ucapan dan tindakan tersebut salah, tapi tetap dibela dan dianggap benar.
Para buzzer, melengkapi buah busuk yang ditebar oleh Ahok. Buah tersebut, oleh buzzer dilempar ke pihak lain dan dituduhkan sebagai pemain politik identitas. Padahal, Ahok sendiri yang memulainya. Sekarang, buah busuk tersebut dilemparkan ke pihak lawan, khususnya Anies Baswedan. Padahal, buah tersebut ditebar oleh kelompok mereka.
Tapi, ada satu pertanyaan penting. Mengapa Anies Baswedan diserang terus dengan isu politik identitas dan intoleransi? Padahal fakta di lapangan Anies Baswedan sangat toleran. Mengapa?
Sebab mereka tahu, tak mungkin menyerang kinerja Anies Baswedan. Semua program Anies terbukti menerapkan keadilan sosial dan mampu membahagiakan warga Jakarta. Jadi, tak ada cela bila harus mengkritik program kerja Anies Baswedan.
Begitulah kelompok mereka. Menebar buah busuk, lalu melemparkannya ke pihak lain.
Sulistyanto Soejoso.
(Warga Jawa Timu)