Saya masih bersukur warga desa masih menyapaku dengan hangat. Beberapa dari mereka sudah lanjut usia namun masih giat di ladang. Secara ekonomi, mereka “pas-pasan” suatu kenyataan membuatku akhirnya memiliki menetap bekerja di kota. Saat ini aku sudah bekerja secara mapan dan memiliki keluarga kecil yang aku tidak ajak dalam agenda pulang kali ini.
“Kapan sampai Jihad?” sapa Pak Rajimin
“Baru subuh tadi pak, makannya tidak sempat ngopi di warung tikungan depan?”
“Sendiri?” tanya lekaki 68 tahun itu.
“Iyah,pak, Istri kerja dan anak sekolahnya sudah aktif setelah pandemi, ohya kabar bapak gimana?”
Pak rajimin menganggukkan kepala dan tersenyum simpul.
“Saya lihat tumben pagi ini sepi pak, biasanya jalan menuju ladang sudah ramai,” tanyaku heran.
“Kamu mau nanya siapa Ji, orang tua di desa ini sudah pada pulang,”
“Loh pulang kemana pak? kan masih pagi,” heranku.
“Sudah pada meninggal, maklum sudah pada tua kan Ji,”
Pikiranku goncang, setelah lebih tanya mendalam pada Pak Rajimin, ternyata setahun ini sudah ada 20-an orang di kampungku wafat. Macam-macam sebabnya, selain akibat usia sebagian lagi disebabkan meninggal karena masalah ekonomi dan frustasi.
“Ji, sudahlah kamu mending di kota saja, kerja di sana dan dapatkan pemasukan yang baik, kalau masih di sini, kawatir kamu akan ikut pusing loh,” pesan Pak Rajimin sederhana namun penuh makna mendalam.
Aku pun berlalu lalu mampir ke kedai kopi pojok. Tempat ini memiliki kenangan dengan Alm. bapak. Setiap hendak berangkat SD aku selalu mampir sekedar minta recehan. Kini kedai kopi itu sepi, belakangan aku tahu Mpok Ani juga sudah meninggal. Kini kedai kopi itu dijaga suaminya Pak Yanto yang sudah menua.
Baru kali ini aku pulang seperti asing di lingkunganku sendiri. Teman-teman seusiaku banyak merantau jadi TKW-TKI, sebagian lagi bekerja serabutan di kota-kota terdekat. Pantas desa ini hening seperti isyarat semuanya akan pergi dalam dekat.
Di depan pusara kedua orang tuaku tak terbendung semua keluh dan rasa selama setahun meninggalkan kampung halaman. Nampaknya makam di sini kurang terawatt, namun syukur kedua makam orang tuaku selalu rapih karena selalu diperhatikan Kak Ani sodara tertuaku.
Sesampainya di rumah, kak Ani bertanya berapa lama aku di kampung. Aku hanya memberi dia israyat tangan lima jari artinya hanya lima hari. Kak Ani dan suaminya hanya seorang petani biasa. Dia melanjutkan sisa ladang dari orang tua, kehidupannya sederhana beserta kedua anaknya.
“Ji, kenapa istri dan anak tak diajak sih?”
“Nanti pasti aku ajak,” jawabku.
“Walau ibu bapak udah gak ada, kan sudah pesan mereka pada anak-anaknya kalau sudah punya anak segeralah bawa ke rumah ini Ji,”
“Entahlah kak sejak ibu bapak tak ada aku sering tak punya rasa kangen,”
“Terserah kamu, mbok jangan jadi beban itu cuma amanah saja,” kak Ani seperti tidak senang jawabanku.
Mataku mengamati sekitar ruangan rumah. Tidak ada yang berubah bahkan sejak almarhum semua masih hidup.
Aku beranjak ke kamar dan membuka lemari, mencari berkas dan foto kenangan bapak dan ibu. Itung-itung mengobati rasa rindu akan wajah mereka. Setelah beberapa aku amati tak satupun ada foto mereka. Aku heran kemana apakah disembunyikan ka Ani.
“Kak, foto-foto bapak kemana sih kok gak ada sama sekali?” tanyaku setengah keras.
“Sudah tak ada Ji, susah,”
“Susah gimana wong cuma foto, masa kak hilang begitu saja,”
“Bukan gitu Ji, memang bapak tidak punya foto, bapak memang tidak mau cerita, jika dia memang tak pernah mau berswa foto di momen apapun,”
“Kok bisa kak?”
“Ada satu yang bapak pikirkan, dia tidak mau anak-anaknya memikirkannya karena kedua orang tua kita merasa masih belum berbuat banyak pada anaknya,”
“Kenapa kakak baru cerita?”
“Dulu bapak punya sisa uang simpanan untuk menyekolahkan salah satu anaknya, akhirnya pilihan itu jatuh ke kamu bukan kakak, bapak minta aku sebagai anak tertua melanjutkan kelola rumah dan ladang walaupun kaka harus berhenti sekolah,”
“Kalau kak Ani cerita aku sudah menolak permintaan bapak lanjut pendidikan itu,”
“Ji, terkaan orang tua kita itu kuat pada anaknya, kamu punya mental berpetulang, bahkan saat kamu wisuda bapak sempat kecewa karena kamu tidak berkabar, padahal saat itu bapak ibu hanya ingin tau,”
“Terus kak?”
Kak Ani menghela napas panjang.
“Padahal itulah kesematan dan mungkin satu-satu impian bapak ibu ingin berfoto dengan bangga saat kamu wisuda walaupun akhirnya tidak kesampaian,”
“Maaf kak, dulu aku benar takut merepotkan bapak ibu, apalagi aku dengar panen gagal,”
“Sudahlah Ji, tak perlu kau ingat-ingat, aku masih ada satu foto KTP bapak ibu masih aku simpan bawa saja itu dan kasih tau wajah bapak ibu kita sama anak dan istrimu,”
“Terus kakak bagaimana, itukan foto satu-satunya,”
“Wajah bapak ibu sudah kekal dalam ingatan kakak,”
Sejak percakapan itu aku merubah agenda pulangku menjadi dua hari saja. Kak Ani bertanya-tanya apakah ada hal yang membuatku tersinggung. Aku hanya menjawab “aku akan bawa anak istriku kesini biar mereka tau, kalau mereka pernah punya kakek nenek yang hebat!”.
Eric Hermawan
(Pengurus Pusat Ekonomi Umat MUI Pusat)