Iklan

Relasi Kuasa dan Kekerasan Simbolik HRD dalam Perusahaan

narran
Minggu, 15 Januari 2023 | Januari 15, 2023 WIB Last Updated 2023-01-15T04:00:18Z

Sosiologi, Relasi Kuasa, HRD, Perusahaan
NARRAN.ID, OPINI - Membahas hukum tentu tidak bisa kita lepaskan dari perbincangan tentang kekuasaan. Sebab hukum ada karena kekuasaan yang sah, dengan kata lain pada dasarnya ketentuan yang tidak berdasarkan kekuasaan yang sah bukanlah hukum. Sebagai kekuasaan hukum berperan dalam pengatur ketertiban dan mengatur runga gerak individu. 

Selajalan dengan pernyataan tersebut diatas menurut Dahrendorf relasi relasi dalam struktur sosial (termasuk: relasi industrial) ditentukan oleh kekuasaaan (power) . Esensi kekuasaan (termasuk hukum) bagi Dahrendorf merupakan sebuah kontrol dan sanksi sehingga memungkinkan bagi mereka (pemilik kekuasaan) memberi berbagai perintah dan mendapatkan apa yang ia inginkan dari mereka yang tidak memiliki kekuasaan.

Dalam konteks relasi industrial, hukum dan kekuasaan berada dalam lingkup yang bersinergi. Narasi tentang perusahaan membutuhkan karyawan agar proses produksi tetap berjalan dan pekerja membutuhkan pekerjaan untuk mendapatkan upah pada kenyataannya tidak begitu. 

Kita terdistorsi oleh ilusi tentang “Kerjasama” yang membuat kita menilai hal tersebut adalah baik padahal kenyataannya terdapat dua kepentingan yang jelas berbeda (conflict of interest) pekerja terutama di negara dunia ketiga seperti Indonesia memiliki nilai tawar yang rendah sementara disisi lain perusahaan tetap berada pada sifat aslinya yang hanya berorientasi pada keuntungan dengan terus melakukan eksploitasi serta abai pada kesejahteraan pekerja.

Mitos tentang simbiosis mutualisme antara pekerja dan perusahaan pada kenyataannya, menunujukkan fakta yang sangat jelas bahwa terdapat relasi yang asimetris (timpang) antar keduanya, sehingga dalam relasi tersebut menjadikan hukum senantiasa berat sebelah.

Dimonopolinya modal (baik alat produksi dan juga sosial budaya oleh pemegang kekuasaan ) menjadikan hukum tidak berpihak terhadap pekerja. Kondisi ini tidaklah mencengangkan sebab sebagai produk politik (hukum) tidak akan pernah steril dan netral dari pergulatan kepentingan. Sah sah saja jika hukum menjadi tidak netral untuk mendahulukan kepentingan masyarakat pekerja atau setidaknya bisa menjembatani kepentingan bersama (pekerja dan perusahaan), tetapi faktanya tidak demikian, hukum dalam hubungan industrial mendistorsi kita semua dalam memotret bagaiaman keadilan sosial terjadi dalam ruang lingkup industri. 

Kondisi ini bisa kita lihat dalam bentuk bentuk perjanjian kerja seperti PKWT (perjanjian kerja waktu tertentu) dan PKWTT (perjanjian kerja waktu tidak tertentu) yang dalam praktinya seringkali hanya mengamankan dan menguntungkan pihak perusahaan semata dan mendeskriditkan hak hak pekerja.

Untuk melihat kondisi ini secara kritis, kita bisa menggunakan pendekatan dari Dahrendorf dalam melihat suatu tatanan sosial dalam masyarakat modern dan masyarakat industry. Menurut Dahrendorf tatanan sosial bekerja disebabkan oleh, dipeliharanya proses penciptaan hubungan hubungan wewenang dalam lapisan sistem sosial. Wewenang disini menurut Dahrendorf bisa kita lihat pada pembagian pada relasi tentang “masyarakat yang mengatur “(supeordinasi) dalam hal ini diwakili oleh direktur, manajer produksi atau HRD (human Resourch Development) yang merepresentasikan kewenangan dari perusahaan dan “masyarakat yang diatur” (subordinasi) dalam hal ini pekerja di sector produksi. Terbangunnya relasi wewenang pada kelompok masyarakat yang “mengatur” bekerja melalui perintah, peringatan dan larangan. 

Dalam dunia industri hal ini tergambar dalam serangkaian aturan atau hukum yang mengatur masyarakat industri yang yang inti dari perintah tersebut adalah anjuran atau arahan yang berhubungan dengan peningkatan hasil produksi dan disisi lain peringatan dan larangan yang dapat menghambat proses produksi. Contoh contoh tersebut bisa kita lihat dalam aturan yang tertulis lewat: surat perintah lembur, PP (peraturan perusahaan), SP (surat peringatan yang dikeluarkan oleh pimpinan atas penilaian kinerja), surat pemutusan hubungan kerja hingga larangan larangan yang mengakibatkan proses produksi terhambat.

Anjuran tentang memakai alat pengaman diri serta menjaga kesehatan bagi pekerja pada dasarnya bukanlah bentuk kepedulian terhadap pekerja. Hal ini murni tentang bagaiman proses produksi yang terhambat, atau dikeluarkannya santunan santunan bagi pekerja yang lalai dan mengalamai kecelakaan kerja yang menyebabkan keuntungan perusahaan berkurang atau tidak optimal. Maksudnya, serangkaian hukum dalam relasi industri merupakan penopang proses produksi tetap berjalan lancar. Hukum sebagai rasionalitas dan juga tindakan memposisikan pekerja bukan sebagai “subjek” melainkan “objek” yang bisa di ekspolitasi.

Lewat seperangkat hukum baik aturan yang dikeluarkan negara (omnibuslaw ketenagakerjaan) atau pun yang dikelaurkan internal perusahaan, menjadikan wewenang bekerja dalam sistem yang legal (terligitimasi). Hukum mengatur dan membatasi ruang gerak pekerja ditambah kondisi sosial ekonomi yang dia hadapi menghasilkan terciptanya kepatuhan tanpa protest.

Dalam konteks penanda tanganan kontrak kerja misalnya, yang mensyaratkan sahnya sebuah kontrak kerja dalam hubungan industrial versi hukum Kontinental, dalam pasal 1320 KUH perdata atau pasal 1365 buku IV NBW (BW baru) Belanda mempersyaratkan adanya kesepakatan keduah belah pihak, kewengangan bertindak untuk melakukan perbuatan hukum, Objek perjanjian dan kausa yang halal.

Berdasarkan pada versi hukum continental (versi yang digunakan di Indonesia) dalam relasi industrial, apakah pelamar kerja yang diterima dan melakukan penandatanganan kontrak kerja, atau pekerja lama (pekerja kontrak) yang diperpanjang kontraknya dengan penandatanganan ulang kontrak baru berada dalam kategori relasi yang simetris? jawabannya, tidak. Keduanya memiliki hubungan yang asimetris atau relasi yang tidak setara. sebab jika kita menggunakan pendekatan “wewenang” yang disampaikan oleh Dahrendorf pelamar disini berada dalam posisi masyarakat ‘yang diatur” (subrordinate) sedangkan HRD (human resources development) yang merepresentasikan kepentingan perusahaan berada pada posisi masyarakat yang “mengatur”(Superordinate).

Dalam hubungan yang tidak setara tersebut melahirkan apa yang disebut sebagai kondisi “keterpaksaan” atau “dipaksa” dari pada konteks “kesepakatan” yang disyaratkan dalam hukum continental. Meminjam istilah yang digunakan oleh Bartos dan Wehr calon pekerja dan atau pekerja yang akan melakukan perpanjangan kontrak menjadi korban dari sebuah tindakan koersif (coersive actions) yang dilakukan oleh perusahaan, dimana hal ini merupakan bentuk tindakan sosial yang memaksa pihak lawan (pekerja) untuk melakukan sesuatu yang pihak lawan tidak ingin melakukannya.

Tindakan sosial semacam ini selain merugikan pihak yang “diatur” secara material, juga dapat menyebabkan luka simbolik akibat kekerasan simbolik (baca:Piere Bourdieu) yang dilakukan oleh HRD sebagai representasi perusahaan. 

Narasi tentang “tidak ada paksaan dalam kontrak kerja ini, jika tidak berkenan anda berhak untuk tidak tanda tangan” atau “kamu yang melamar di perusahaan ini, bukan perusahaan ini yang melamar kamu, jadi ikuti aturan disini ”yang sering dilontarkan HRD justru menjadi suatu paksaan yang tak terelakkan apalagi calon pekerja dan atau pekerja yang akan melakukan perpanjang kontrak menempatkan pekerjaan yang dimaksud sebagai satu satunya sumber pemasukan yang digunakan untuk mencukupi kebutuhan keluarga.

Dalam relasi antara pihak pihak yang merepresentasikan perusahaan dengan calon pekerja kekerasan simbolik termanifestasikan dalam kondisi yang tidak disadari oleh pelaku kekerasan (HRD sebagai representasi perusahaan) dan korban kekerasan(pekerja). Kontrak kerja sebagai dalih menjaga kepentingan bersama yang mengikat satu sama lain menggiring calon pekerja pada suatu kondisi dimana mereka tidak punya kesempatan lain (atau kesempatan terbatas).

Tanpa disadari oleh calon pekerja tersebut HRD sebagai representasi perusahaaan telah memaksa calon pekerja untuk bersikap, berpendapat dan berperilaku tertentu sesuai kehendak kontrak kerja atau sang “legitimator”.

Seolah diberikan kesempatan untuk bertanya terkait hak hak nya sebagai pekerja yang akan diterima, alternatif kesempatan itu nyatanya tidak bisa digunakan secara optimal sebab, “diterima saja sudah bagus”, bertanya hal hal yang bersifat riskan seperti gaji, tunjangan bahkan hak hak yang wajib dibayarkan membawa calon pekerja pada kondisi yang cemas, apalagi jika si pelamar telah berulang kali gagal dalam proses interview di beberapa perusahaan sebelumnya. 

Akhirnya si pelamar mengkonstruksi pikirannya sendiri dengan “rasa syukur karena telah diterima kerja ” meski secara tidak sadar ada perasaan tidak suka, jengkel, terpaksa yang berusaha direduksi, sembari ditundukkan oleh relasi yang didominasi oleh kekerasan secara simbolik tersebut. Sepakat atau tidak sepakat klausul dalam draft itu akan ditandatangani dan kedua belah pihak memandang relasi yang demikian itu bersifat taken for granted (diterima begitu saja) dan memang seharusnya seperti itu. 

Dalam situasi ini pekerja atau calon pekerja berada pada situasi dimana mereka hanya punya pilihan untuk ‘tidak memilih pilihan apapun”. Pada titik inilah calon pekerja berpotensi terjerumus dalam kekerasan kekerasan lain yang menyiksa taipi tidak disadari, merongrong kesehatan mental yang jika dinominalkan kompensasi yang diterima sangatlah jauh dari kata sebanding.


Penulis:
Mochammad Ferdiansyah
(Mahasiswa Magister Sosiologi FISIP Universitas Airlangga Surabaya)
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Relasi Kuasa dan Kekerasan Simbolik HRD dalam Perusahaan

Trending Now

Iklan

iklan