Seperti cacatan Sayyid Kristeva (2015) Kebesaran namanya tidak sebesar kisah cintanya yang harus berakhir tragis dua kali saat memperjuangkan perempuan idamannya setelah di tolak dua kali. Dia harus rela menarik napas dalam sebagai pejuang bawah tanah karena cintanya bertepuk sebelah tangan. Ibrahim begitulah nama kecilnya dalam sebuah rapat adat Nagari Pandan Gadang, lima puluh kota berlangsung sengit, Ibrahim menolak gelar datuk yang diberikan padanya. Umurnya masih 17 tahun kala itu. Ibunya memberikan pilihan padanya “Untuk menikah atau menolak gelar,” keterangan itu diperoleh dari Zufikar Sudarnta kepada Majalah Tempo.
Tanah besar adat Minang dia sanggul di dalam tubuhnya. Dia menerima keputusan adat dan bergelar Datuk Ibrahim Tan Malaka, dirayakan dengan meriah selama tujuh hari lamanya. Dia membawahi marga Caniago, Piliang, dan Simabur.`Tan Malaka memang dikenal cerdas di sekolah sehingga mendapat beasiswa ke Rijkskweekschool, Harlem Belanda. Dia dicintai oleh gurunya Gerardus Hendrikus Horensma.
Kisah cinta mulai menyeruak saat ibunya Sinah ingin menjodohkanya dengan pilihannya. Sayang Ibrahim sudah ada perempuan yang bercokol di hatinya bernama Syarifah Nawawi. Dia putri Nawawi Sutan Makmur yang menjadi guru bahasa membantu Charles Van Ophuijsen pada tahun 1901. Syarifah bukan perempuan muda biasa, dia anak perempuan pertama yang merasakan pendidikan eropa. Mereka berdua satu angkatan di Gedenkboek Kweekschool 1873-1908. Syarifah dialah kembang satu-satunya di sekolah itu dan Ibrahim satu dari tiga yang berprestasi mendapatkan beasiswa ke Belanda.
Syarifah melanjutkan studi guru di Salemba Scool Batavia. Ibrahim harus berpisah dari rentang jauh antara Belanda ke Batavia. Namun Ibrahim tidak menyerah, dia berkirim surat secara baik kepada Syarifah namun tak kunjung ada balasan padanya. Cintanya bertepuk sebelah tangan. Dari catatan Harry A. Peoze penulis biografi Tan Malaka dia menyebut Tan Malaka sebagai seorang pemuda aneh. Namun saat Harry berjumpa dengan Syarifah tahun 1980-an, Syarifah tidak pernah melihat gelagat Tan Malaka sebagai sesuatu yang aneh dari seorang pecintanya itu.
Hati Ibrahim Tan Malaka begitu hancur saat mendengar Syarifah telah menikah dengan seorang Bupati Cianjur, R.A.A Wiranatakoesoema, yang telah memiliki lima anak dan dua selir pada tahun 1916. Wajar jika muncul anekdot bahwa Tan Malaka memilih menjadi seorang Marxis yang sangat anti dengan kaum Borjouis Feodal dan melawannya (seperti R.A.A Wiranatakoesoema) karena telah merebut pujaan hatinya.
Tan Malaka pernah membuka hati rasa kecawanya pada Syarifah. Pilihanya jatuh pada Fenny Struyvenberg mahasiswa kedokteran keturunan Belanda. Hubunganya sangat baik dengan perempuan tersebut. Hingga pernah terdengar bahwa Fenny berusaha menyusul Tan Malaka ke Indonesia namun tak ada cacatan yang mendukungnya. Layaknya Soekarno yang di setiap Negara yang dia kunjungi ada sosok perempuan yang selalu ada dengannya, Tan Malaka juga demikian. Saat kunjungannya dalam sidang Komunis Internasional di Rusia, dia menetap tiga tahun lamanya di sana. Kabar katanya dia juga dekat dengan perempuan bahkan sampai kisahnya dimuat di Koran di sana. Perempuan di sekitarnya bisa dikatakan sebagai kekasihnya atau sekedar teman yang ikut merawat tubuhnya yang sering sakit-sakitan saat melakukan perjuangan heroic, berpindah dari Negara ke Negara lain.
Dalam memoarnya Dari Penjara ke Penjara, Tan Malaka sering menulis nama-nama wanita di sekitarnya. Dia juga pernah dekat dengan putri Rektor Universitas Manila “Nona Carmen” yang telah memberi petunjuk masuk ke Manila, Filipina. Setelah Proklamasi Kemerdekaan 1945, Tan tidak lagi merayap di bawah tanah setelah merasa ancaman dari Belanda sudah dirasa cukup aman. Dia menjalin hubungan dengan serorang perempuan Paramita Rahayu Abdurrachman keponakan Menteri Luar Negeri Ahmad Seobardjo. Walaupun terpaut usia 26 tahun, namun kemesraan antara Tan dan Paramita sangat intim. Paramita bahkan tidak menikah saking cinta kepada Tan Malaka dan meninggal tahun 1986 seperti diungkapkan Harry A. Poeze. Saat penjajah Jepang masuk, Tan Malaka harus bersembunyi dari kejaran Kapetai Nippon. Paramita bahkan mengatakan Tan Malaka merupakan sosok tak normal, “Dia kelewat besar buat saya,” katanya. “Dia menginginkan saya seperti sosok Raden Ajeng Kartini,”.
Ironisnya, ibu Paramita merupakan teman Syarifah Nawawi. Minarsih Sudarpo Wiranatakoesoema anak bungsu Syarifah, sama-sama aktif di Palang Merah Indonesia bersama dengan Paramita. “Ibu saya cuma bilang kenal dengan Tan di Kweekschool,” kata minarsih 84 tahun. Paramita sebetulnya pernah mencintai pemuda dialah Muhammad Hatta yang sering berkunjung ke rumah bapaknya.
Syarifah sudah menjadi janda setelah diceraikannya tahun1924 karena dianggap tidak bisa mengikuti tatakrama Sunda yang sangat Feodal. Cinta lama Tan Malaka kini bersemi kembali saat mendengar kabar itu. Menurut minarsih, Tan Malaka datang kembali untuk meminang ibunya, lagi-lagi niatan baik Tan ditolak. Muncul pertanyaan siapakah yang dicintai oleh Tan dalam hidupnya? Syarifah-kah? Adam Malik saat bertanya kepada Tan Malaka dalam sebuah perjumpaan” Bung, apakah Bung pernah jatuh cinta?” Tan Malaka menjawab dalam tulisan Adam Malik Mengabdi Republik “Pernah, tiga kali. Sekali di Belanda, sekali di Filipina, dan sekali di lagi Indonesia, tetapi yah semua itu katakanlah hanya cinta yang tak sampai perhatian saya terlalu besar untuk perjuagan,”.
“Kisah cintanya bahkan lebih dahsyat dari sebuah Fiksi”begitulah kenang Harry A. Poeze. Tan Malaka bahkan tidak bicara cinta sekedar seks seperti kebanyakan keyakinan orang akan cinta. Ketulusannya bagi Syarifah telah menyejarah. Saat kepulangannya dari Belanda tahun 1919, ketua adat Pandan Gadang memintanya dalam sebuah pertunangan. Sayang Tan Malaka menolaknya dan lebih memilih mempersiapkan keberangkatannya ke Semarang setelah dia tak tahan mengajar di perkebunan Deli. Dia menyongosng hidup dan kematianya dalam cinta yang tak pernah sampai.
Melqy Mochammad
(Penikmat Masalah Sosial)