Iklan

Pura-Pura Sakit Mental

narran
Selasa, 07 Februari 2023 | Februari 07, 2023 WIB Last Updated 2023-02-07T06:04:39Z

Healing, Psikologi, Milenial
(Sumber: Behance.net)
NARRAN.ID, INTERMEZO - Kita semakin tidak mempribadi atas kehidupan ini. Dua tahun terakhir sejak pandemi orang sering mengeluhkan masalah mentalnya. Entah apakah itu merupakan kejutan psikologis yang meluap, atau sebatas cara diplomasi agar kita dianggap dan diahragai. Selain kebiasaan membagikan foto di media sosial, mereka kadang membagikan kutipan berbau motivasi dan clip video singkat dari selebrgam atau motivator dadakan menjadi kiasan yang menarik untuk dikaji.

Penulis pernah bertanya pada penjaga salah satu outlet buku ternama Indonesia “buku apa yang paling laris?” jawabannyak menarik “buku hubungan pribadi dan kontrol pikiran”. Sejak buku Filosofi Teras jadi best seller, buku lain rupanya banyak menarik minat anak muda dan dewasa. Mereka mulai dihadapkan dengan ancaman ketakutan masa depan yang rumit dan memuakkan. 

Mereka bukan saja butuh teman, tetapi juga butuh frekuensi komunikasi yang tidak sebatas basa-basi. Hubungan bagi anak milenial itu haruslah subtil dan harmoni. Kadang mereka mengeluhkan ruang-ruang baru yang tidak sebatas kantor dan rumah. Rumah bahkan neraka hidup yang membuat mereka kadang tidak dihargai dan dilemparkan oleh pilihan dan pandangan orang tuan dan lingkungan keluarganya. Mereka lebih hangat di café sepi hening dan estetis, atau jika kurang menggigit sesekali club malam pinggiran kota dengan proteksi keamanan yang tiada jelasnya. Asal mereka bisa yakin tersenyum, maka lakukan!

Gangguan kesehatan mental mulai dianggap sebagai ancaman serius yang membutuhkan respons cepat dari penyedia layanan kesehatan. Survei yang dilakukan di Amerika Serikat menyatakan, nilai kerugian dalam domain sumber daya manusia yang harus ditanggung pemberi kerja mencapai USD 36 juta setiap tahun akibat major depressive disorder (MDD) yang diderita para pekerjanya. Tapi kasus kesehatan metal kita jauh disebabkan dari pikiran dan proyeksi harapan yang menakutkan. 

Kita tidak benar-benar faham apa itu cinta dan kasih sayang di masa depan. Kita kadangkala menuduh kebiasaan agama menambah pening kepala, atau menempatkan mereka yang terlalu aktif di kegiatan agama terlalu tidak seimbang. Namun Gordon Allport seorang psikolog sosial keberatan atas kesimpulan itu; menurutnya perasaan keagamaan tidak dapat diukur dengan menanyakan berapa kali mereka datang ke rumah ibadah. Keagamaan harus diukur dengan a comprehensive commitment (keterlibatan yang menyeluruh) dalam seluruh ajaran agama. Tidak ada bukti yang kuat bahwa orang-orang yang beragama lebih sehat mentalnya daripada orang-orang yang tidak beragama. Tapi menurut Allport, untuk menyatakan hal demikian, terlebih dahulu mendefinisikan apa arti beragama.

Duniawi yang serba pasti-pasti adalah ukuran yang kita pegang saat ini untuk melakukan hubungan sama orang di luar kita. Anggap saja bahwa orang yang bekerja di kantor dengan budaya kerja berat dan gaji tinggi tentu mereka sudah membatasi diri dengan orang yang masih membentuk budaya kerja dan berlatih pengalaman.

Sakit mental bukan perilaku baru dalam hidup, dia lebih sebagai ekspresi dari ketidakmampuan dan kesempatan mencari jalan keluarnya. Lagi pula tidak semua yang salah bertendensi tidak baik dan demikian sebaliknya. Kita hanya tidak memiliki budaya mengatasi itu sama lain. Beberapa mengatasinya dengan mencari hiburan murah seperti humor yang dimainkan oleh para stand-up comedy secara gratis di kanal-kanal YouTube. 

Humor bisa jadi berperan penting dalam ranah kehidupan apa pun: politik, pendidikan, bisnis, dan bahkan keagamaan. Namun, perannya paling penting dalam ranah kesehatan, baik secara fisik maupun secara mental. Banyak ahli ilmu sosial, terutama teoretisi psikologi, berpendapat bahwa humor adalah mekanisme untuk beradaptasi.

Kita dapat menggunakan humor sebagai pertahanan melawan rasa takut akan kehidupan yang suram dan memungkinkan kita mampu mengendalikan peristiwa yang tadinya sulit kita kendalikan. Tertawa memungkinkan kita melepaskan ketegangan atau kemarahan sebagai akibat dari pengalaman pahit yang kita hadapi dan menjaga jarak dari masalah tersebut.

Menurut Lucas, ”Khalayak mungkin akan berkonsentrasi lebih baik mengenai krisis jika mereka telah santai pada saat-saat antara.” Intinya, humor membantu melepaskan tekanan karena ketegangan dan momen tragis, bukan hanya dalam produksi drama, juga dalam kehidupan nyata (King, 2003). studi dengan desain longitudinal intensif, berdasarkan penelitian atas kehidupan keseharian para mahasiswa universitas, para peneliti menemukan bahwa orang-orang yang kerap tertawa lebih siap menghadapi peristiwa yang menimbulkan stres (Zander-Schellenberg & Collins, 2020).

Tapi humor buat obat mental kita tidak cukup, karena lucu bukan segalanya bagi perasaan. Bisa jadi hanya sebatas “balsem” yang meredakan nyeri bukan menghilangkannya. Banyak yang beranggapan bahwa sakit mental di era ini sangat tipis dengan skema percobaan bunuh diri. Berapa waktu lalu, kabar dua sejoli yang juga mahasiswa, mati bunuh diri di kamar hotel. Ngerinya lagi, secara sadar mereka masih menulis surat dengan cukup baik susunan kalimatnya. Mereka adalah korban dari bentuk bunuh diri non-alturisme, dan lebih menganggap dirinya sebagai beban sosial atas diri dan lingkungannya.

Penulis memiliki banyak kawan yang memiliki pengalaman dan masalah mental. Seminggu sekali dirinya harus berkonsultasi dengan psikolog langganannya, biayanya tidak murah bahkan jutaan. Materi itu tidak ada artinya dibandingan dengan masalah dirinya harus menaruh neraka di benaknya. Kerja di dunia star-up tidak mengenakkan baginya, tekanan dan pendapatannya tidak seimbang. Apalagi tuntutan dari perusahaan melewati batas manusiawi yang harus ditimpakan atas dirinya. 

Fakta bahwa banyak dari kawan bekerja di star-up mengalami alienasi atas pribadinya. Bukan saja dirasakan karyawan bahkan atasannya pun tidak luput. Antara tahun 2011 dan 2015 beberapa kasus bunuh diri terkenal di dunia usaha rintisan mengungkap masalah ini, termasuk kematian Austen Heinz (seorang pengusaha biotek dan pendiri Cambrian Genomics), Aaron Swartz (salah satu pendiri Reddit), dan Jody Sherman (pendiri Ecoom).

Menurut majalah Fortune, 13 persen usaha rintisan gagal karena pendirinya kehilangan fokus, 9 persen gagal karena kehilangan semangat, dan 8 persen gagal karena pendiri kelelahan. Simpulannya, kita sebenarya hanya fokus pada mencoba mencairkan keberatan pribadi pada beban, namun enggan berusaha melepaskan sumbernya. Jika persoalan terjadi di kantor, kenapa masih sulit untuk resign? Ketakutan uang habiskah? Atau gengsi karena perusahaan itu terlampau keren? Beban sosial itu terjadi karena struktur sosial yang kita pilih tidak membuat anda memiliki kekuatan kapital sosial yang kuat sehingga kita terdominasi atas sesuatu yang kita tidak dikenal dan tidak mau kita kenal.


Penulis:
Melqy Mochammad
(Penikmat Masalah Sosial)
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Pura-Pura Sakit Mental

Trending Now

Iklan

iklan