Iklan

Si Lugu, Si Optimis, Si Pesimis

narran
Minggu, 05 Februari 2023 | Februari 05, 2023 WIB Last Updated 2023-02-05T03:48:16Z

filsafat, kehidupan, mental, Voltaire
(Sumber: Behance.net)
NARRAN.ID, INTERMEZO - Aku yakin, Voltaire mengajak kita untuk bersikap bijaksana. Tapi siapa bisa jamin, kalau kenyataannya membaca novel ini membikin kita ketawa

Apa sih optimisme itu?

Tanya Cacambo. 

"Yah" jawab Candide, "optimisme adalah kegilaan untuk mempertahankan pendapat bahwa segalanya berjalan baik, padahal kenyataan adalah kebalikannya".

Sebuah kegilaan akut yang mengendap dalam pikiran atau bayangan seseorang sehingga ia terdorong untuk selalu membayangkan hal-hal yang indah nan bahagia di tengah kenyataan penuh derita.

Jawaban Candide terpaut dengan kenyatan petualangan hidupnya di mana ia harus yakin dengan optimisme ala Panglos meski sering kali kenyataan tak bersahabat dengannya. 

Guru Panglos, seorang filsuf kawakan, filsuf penuh optimisme, yang selalu menyulap segala kesulitan sebagai suatu keadaan baik-baik saja, atau suatu kebaikan. Paling tidak, itulah cara mahaguru Panglos menghibur pikiran dan perasaannya di tengah kenyataan hidupnya yang pahit.

Panglos tidak sendirian. Ada muridnya, Candide, yang percaya betul - tapi kadang-kadang tidak sesabar sang guru - dengan kebijaksanaan nasehat-nasehat sang guru. Maka petualangan yang penuh perjuangan dan derita kedua orang ini sedikit banyak diringankan oleh keyakinan Panglos bahwa hidup adalah suatu kebaikan, atau peristiwa apa pun yang menimpamu, itulah sebuah mekanisme kehidupan yang mengandung kebaikan dan sudah tentu akan membuatmu semakin baik.

Tapi tak mudah menjalani optimisme ala Panglos. Candide ditendang dari istana lantaran mencium sang putri, Cunigonde - perempuan tercantik (setidaknya di mata Candide). Mengelana tak tentu arah. Mendapati kenyataan bahwa sang putri terbunuh. Lalu kabar itu rupanya tak benar. Ia berjumpa lagi dengan sang putri di Lisabon. Dengan kenyataan sang putri sudah tak lagi sesuci dulu. Lantaran ia jatuh ke tangan para pedagang. Terpisah lagi di Argentina. Dan di ujung cerita, Candide berhasil menikahi sang putri, tapi sudah tak secantik dulu. Tambah lagi: cerewet.

Guru Panglos. Demikian juga: dibuang dari istana. Babak belur dan nyaris tak dikenali. Di Lisbon, ia nyaris dibakar. Banyak lagi liku hidupnya yang pahit. Daftar detail kesengsaraannya, bisa dibaca sendiri di novelnya Voltaire. Berjudul: Candide.

Ini kisah kesedihan, petualangan dengan penderitaan berlimpah. Tapi dengan tokoh-tokoh yang digambarkan secara kocak dan ironi menghadapi penderitaan itu. Sehingga kita (pembaca) tak terlalu tenggelam dengan deritanya. Seakan menyiratkan pesan: mari bung, jangan lama-lama bersedih karena derita. Kita tetap harus kerja untuk makan, dan makan untuk melanjutkan hidup. Itu pun kalau kita cukup beruntung. 

Sehingga novel ini mengesankan kepada kita sebuah parodi kesedihan. Kita mungkin juga bisa membacanya dengan cara begini: mendudukkan novel ini sebagai ironi optimisme. Lewat tokoh Panglos, betapa pun kenyataan hidup ada dalam kesengsaraan, ia selalu menemukan kesejukan (alhasil kesabaran) lewat caranya ia melihat kebaikan-kebaikan dalam setiap kesengsaraan. Ada kemudahan di balik kesusahan. Itulah janji Tuhan. Barangkali itulah yang bisa kita tangkap dari mahaguru Panglos.

Dan Panglos memang selalu pandai melihat sebuah peristiwa, dengan mengaitkan peristiwa demi peristiwa: hari ini, kemarin, kemarinnya lagi dan seterusnya. Sehingga bagi Panglos, satu peristiwa selalu merupakan akibat dari peristiwa sebelumnya. Dan terpenting, ia menarik kesimpulan bahwa peristiwa demi peristiwa sebagai suatu rangkaian kebaikan. Apa yang dilakukan oleh Panglos adalah untuk selalu mendalilkan bahwa tak ada yang buruk dari peristiwa di dunia ini. Bahwa apa yang tampak buruk adalah sesuatu yang baik. Penderitaan adalah kebaikan.

Ada ironi di sana. Sebab Panglos seakan menutup mata pada derita itu. Segalanya dilihat sebagai kebaikan. Demikian lurus dan polos. Sehingga kadang kesabaran dan kepasrahan Panglos membawa pada petaka dan bahaya. Buat dirinya. Buat orang lain pula: kawan dekatnya. Optimisme yang terlampau polos dan lurus. Atau ada nama lain?

Candide tak sesabar itu. Dalam posisi terjebak, pada bahaya yang mengancam, ia tak selalu melihat keadaan sebagai kebaikan dan akhirnya pasrah. Tidak! Tak sesabar Panglos, kadang ia berontak, melawan. Bahkan membunuh. Itulah yang ia lakukan pada seorang saudagar kaya di mana sang ratu terikat - setelah beberapa kali berpindah tangan. Di tempat lain, ia juga membunuh kakak sang ratu, lantaran tak direstui menikahi adiknya. 

Di mata Candide, cara pandang Panglos tak terlalu keliru. Pikirannya juga banyak benernya. Ada banyak rangkaian peristiwa yang bila dipikir-pikir, dikait-kaitkan satu peristiwa dengan peristiwa lain sebelumnya, ala Panglos, Candide bisa menemukan kebaikan. 

Tapi tak selamanya begitu. Panglos adalah guru optimisme yang perlu disaring lewat kenyataan hidup. 

Lain waktu, Voltaire memunculkan sosok baru. Seorang ilmuwan. Tapi lalu di kisah itu lebih banyak disebut filsuf. Tepatnya filsuf pesimisme. Kebalikan (atau mungkin penyeimbang) dari Panglos. Nama sang filsuf terakhir ini: Martin. Ia hidup dalam derita. Ditinggalkan sang istri dan anak. Banyak derita lainnya. Kekecewaannya sudah pada puncak: ia tak lagi menaruh harapan pada hidup. Ia tak menaruh mimpi di depan sana, pada kehidupan yang membentang di depannya yang akan dijalaninya.

Ia tak latah melihat kebahagiaan orang lain. Sebab baginya, di dunia ini, tak ada namanya kebahagiaan. Apa yang tampak bahagia pada permukaan hidup seseorang, di baliknya pasti ada banyak derita yang ditanggung oleh mereka. Ada banyak gerutu atas nasib. Pada senyum dan tawa seseorang, ada tangis yang menjerit di dalam kedalaman dan kesunyian hatinya. Itu simpulan Martin, tentu ia mengaitkan semua itu dengan hidupnya sendiri.

Dengan prinsip bahwa tak ada kebahagian di dunia sehingga tak perlu harapan, Martin menjalani hidup dengan apa adanya. Ia tak takut jatuh pada kemiskinan, sedikit terhindari dari kecewa. Pun sebaliknya, ia tak terpana oleh kenyataan yang indah-indah di depannya. Ia menjalani kini. Bodo amat dengan apa yang sudah lalu. Dan menutup mata pada kejutan-kejutan bahagia atau derita di depannya. Ia menjalani kini sebelum mati. Dan untuk bisa bertahan hidup, yang dibutuhkannya hanya makan. Bukan kebahagiaan.

Filsuf Panglos dan Filsuf Martin, keduanya, menemani petualangan Candide. Menjelma sebagai dua kutub pegangan, cara berpikir, cara melihat dunia.

Ke mana pikiran  Candide lebih terpaut? Kepada cara berpikir Panglos atau Martin? Bacalah sendiri novelnya.

Yang aku tangkap, debat kedua ekstrem filsuf ini membawa kita pada satu kesan: novel ini parodi kesedihan dan harapan. Aku yakin, Voltaire mengajak kita untuk bersikap bijaksana. Tapi siapa bisa jamin, kalau kenyataannya membaca novel ini membikin kita ketawa.


Penulis:
Sulaiman
(Pimred www.rontal.id)
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Si Lugu, Si Optimis, Si Pesimis

Trending Now

Iklan

iklan