(Sumber: Tempo.co) |
Benihnya adalah kejijikan kekuatan besar Rusia ketika saingan geopolitiknya, Amerika Serikat (AS), mendekati halaman belakangnya. Pemicunya adalah rencana perpanjangan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) ke Ukraina.
Menghancurkan halaman belakang negara yang kuat menjadi semakin rentan karena kekuatan unipolar AS menurun. Lebih rentan lagi ketika terjadi disrupsi di tengah era multipolar. Ada tiga kekuatan geopolitik di dunia ini, yaitu Amerika Serikat, China, dan Rusia.
Pertanyaan tentang keanggotaan Ukraina di NATO pada tahun 2008 tidak terwujud, tetapi memanaskan situasi. Pada 2014 Rusia menganeksasi Krimea dan pada 2008 Rusia menginvasi Georgia Ossetia.
Sungguh menyakitkan melihat di balik kekuatan geopolitik, sebuah negara cenderung menjadi zona konflik. Dari sudut pandang demokratisasi, kecenderungan ini tidak masuk akal dan tidak dapat diterima.
Banyak yang tidak mengerti dan banyak yang tidak bisa menerima bahwa kekuatan geopolitik itu hegemonik.
“Para pemegang kekuasaan geopolitik ingin memastikan halaman belakang atau wilayah mereka tidak terganggu,” John Mearsheimer, pakar geopolitik kawakan di University of Chicago, menjelaskan teorinya yang tertuang dalam buku The Tragedy of Great Power Politics ( 2001) . .
Rusia tidak unik, hanya mengulangi tindakan Amerika Serikat yang juga tidak menginginkan adanya kekuatan lain melalui Doktrin Monroe yang diperkenalkan di Amerika pada tahun 1823.
Benih seperti itu tampaknya telah ditabur di Asia, bukan di Taiwan tetapi di Filipina. Menteri Pertahanan AS Lloyd Austin dan Menteri Pertahanan Filipina Carlito Galvez Jr. mengumumkan Perjanjian Kerja Sama Pertahanan AS-Filipina yang baru pada Kamis (2 Februari 2023) di Camp Aguinaldo, Metro Manila, Filipina. Filipina telah menyetujui perluasan kehadiran militer AS ke empat pangkalan atau kamp militer di negara tersebut.
China mengkritik perjanjian itu. Beijing percaya bahwa akses AS ke beberapa pangkalan militer di Filipina telah merusak stabilitas regional dan meningkatkan ketegangan.
"Ini adalah tindakan yang meningkatkan ketegangan dan berbahaya," kata juru bicara Kementerian Luar Negeri China Mao Ning. Dia mengingatkan negara-negara kawasan untuk meningkatkan kewaspadaan dan menghindari menjadi boneka Amerika Serikat. Ini mirip dengan tindakan Presiden Rusia Vladimir Putin, yang pada 2008 langsung menolak upaya NATO melawan Ukraina.
Tindakan Filipina tidak sepele karena bisa berdampak pada ASEAN di masa depan seperti krisis Ukraina yang melanda Eropa. Hal itu sejalan dengan apa yang dikatakan pengamat hubungan internasional Teuku Rezasyah dari Universitas Padjadjaran. Ia menilai kesepakatan tersebut akan membuat situasi di kawasan semakin rumit dan tegang. Tindakan Filipina bukan hanya masalah bagi Filipina. Ini adalah wilayah geopolitik yang perlu dieksplorasi ASEAN lebih jauh. (Red).