Iklan

FIFA, Ini Indonesia Bung Bukan Ramallah

narran
Kamis, 30 Maret 2023 | Maret 30, 2023 WIB Last Updated 2023-03-30T07:42:07Z

sepak bola, indonesia, israel, fifa, sanksi
(Sumber: Skor.id)
NARRAN.ID, ANALISIS - “Pecahkan saja politiknya biar ramai” satire dari pemeran Cinta dalam film Ada Apa Dengan Cinta akan lebih pas menggambarkan situasi pelik dari episode lain dua arus elit dan publik selalu bersebrangan. FIFA si empunya marka sepak bola dunia itu akhinya “ngambek” atas sikap Indonesia yang mau tak mau dengan kehadiran timnas Israel. Walaupun terdapat sejumlah alasan lain seperti kasus kelalaian Kanjuruhan Malang silam.

Sepak bola kita harus sedikit menahan diri, karena banyak alasan yang tidak semua dapat diluruskan dengan satu kali napas. Cabor sepak bola memang memiliki antrean penggemar tergila di Republik ini, sekalipun minim prestasi dan sudah menaturalisasi pemain dari sana-sini. Piala dunia U-20 tidak setenar piala dunia macam di Qatar, tetapi luput dari mata bahwa Indonesia sudah banyak mengeluarkan anggaran dari persiapan hingga perbaikan fasilitas stadion. Pengorbanan yang akhirnya dibalas FIFA secara kurang terang dan jelas alasannya. 

Apa mungkin FIFA kurang berselera dengan penyelenggaraan di negara Asia Tenggara dikarenakan kapital yang tidak semelimpah Qatar dan negara barat? Atau memang ada alasan internal dari kita bahwa musim politik harus terakumulasi dan stabil. Kalau penolakan atas timnas Israel sebagai alasan penguat, bukankah dalam hal ini FIFA sudah bisa melakukan kolaborasi diplomasi sejak jauh-jauh dari. Lagi pula FIFA bukan organisasi baru yang pastinya sudah tahu bahwa kultur politik dan Islam di tanah air kita sangat alergi dengan negaranya Benjamin Netanyahu itu. Keberpihakan pada Palestina harusnya menjadikan FIFA tidak terlalu optimis bahwa Israel dapat dengan mudah masuk dan bermain.

Gianni Infantino selaku skondan FIFA harusnya menyadari bahwa prahara ini tidak akan selesai begitu saja. FIFA memang belum dirujak oleh netizen kita, karena masih memiliki sasaran empuk pada mereka-mereka yang dari awal menolak kehadiran timnas Israel yang berakibat dicoretnya Indonesia sebagai tuan rumah. 

Kedapan sudah pasti FIFA akan dikoreksi sepak terjang dan double standard yang seringkali mereka mainkan. Barangkali tahun 2015, menjadi pertunjukan kelam bagi FIFA, berdasarkan laporan menarik dari jurnalis Inggris Andrew Neil berjudul “Foul” menuliskan skema dana-dana hitam yang diterimana oleh pejabat teras FIFA termasuk sang ketuanya Sepp Blater, mereka masuk dalam jajaran dugaan tersangka “garong” anggaran. Stimulan ini memungkikan menjadi alasan kenapa Indonesia akhirnya “kurang layak” menjadi tuan rumah! Selama dua dasawarsa, pemasukan FIFA dari berbagai kegiatan yang dikelola sangat luar biasa. FIFA telah menjadikan sepak bola sebagai tambang emas.

Apa ia FIFA juga mengharap lebih dengan Indonesia dalam ajang World Cup U-20 ini? Indonesia memiliki pangsa jutaan pasang mata fans bola setiap harinya, di mana kaum remajanya tidak kurang bicara sepak bola minimal dua kali dalam seminggu. Ini merupakan bonus jika FIFA memang mengharapkan itu. Timnas Indonesia memasang target tampil dan menjadi bagian dari dunia, sederhana! Jikapun dapat bersaing pada level setinggi ini adalah bonus strategi dan penggodokan pelatih tangan dingin Sin Tae Yung. Ada banyak pemain liga eropa yang sudah mentereng dan berharga fantantis bisa berlaga di rumput tanah air nanti, mereka pemain yang dulunya hanya bisa dimainkan di Play Station akhirnya “nyata” sebagai lawan uji skill dan inspirasi pemain muda kita. 

Ingat bahwa FIFA bukan organisasi internasional antarnegara, FIFA wajib tunduk kepada hukum, lihat bagaimana Swiss meminta semua organisasi Internasional yang bermarkas di negaranya patuh pada hukum daulat. Oleh karena itu, sungguh sangat mengherankan bahwa ada oknum PSSI yang mengatakan hanya patuh kepada FIFA, tapi tidak kepada Menpora yang merupakan pemerintah Indonesia. Jika FIFA tunduk kepada hukum Swiss, sudah seharusnya kalau hukum nasional Indonesia menjadi acuan dan sandaran bagi kegiatan PSSI.

Jika Swiss tidak mengakui kepemilikan hak ekstrateritorialitas dan hak imunitas FIFA sebagaimana diatur dalam Konvensi Wina 1815 tentang Hubungan Internasional, jelas sekali bahwa PSSI juga tidak memiliki kekebalan apa pun terhadap hukum Indonesia. PSSI tidak bisa hanya tunduk kepada FIFA dan terus berlindung kepada status FIFA. Itu hanyalah rekayasa untuk mencoba memanfaatkan status ekstrateritorialitas dan hak imunitas, yang di Swiss saja sudah tidak diakui. 

Kita apresiasi tindakan ketua PSSI Erick Thohir alias ET lone wolf maju sendiri melobi Gianni (FIFA). Namun ada gambaran menarik,  kemana yang lain? Atau memang PSSI arogansi atau memang mereka sendirian? ET seperti mempertaruhkan nasib jutaan penonton dan nasib pemain muda yang dipilih dari “kawan candradimuka-nya” Sin Tae Yung. Publik tidak bodoh dan naif bahwa banyak kepentingan bermain, sikap-sikap yang beredar (menerima, menolak, menimbang) jelas terkesan sangat politis dan dilingkupi persepsi yang sama-sama tidak komprehensif.

Soal Palestina

Kita tidak pernah lelah bicara Palestina, semacam artefak penindasan global dengan bentuk pendudukan (non-agama). Indonesia bukan tidak mungkin akan berusaha membangun konsepsi di masa-masa yang akan datang dengan Israel. Penolakan kemaren atas timnas mereka, ada buih kecil bahwa peluang itu mungkin ada. Israel bagi Indonesia bukan sesuatu yang asing. Jauh sebelum tema olah raga, pemerintah kita sudah menjalin obrolan diam-diam dengan pemerintah negara Yahudi itu.

Tahun 1993 silam saat pemimpin Palestina Yasser Arafat berkunjung ke Jakarta dalam agenda untuk menemui Presiden Soeharto. Saat itu sudah memunculkan desas desus masalah hubungan bilateral. Sempat muncul pertanyaan bagaimana agar Indonesia bisa mengambil peran, juga membantu Palestina, dalam mengatasi perseteruan yang tidak ada selesainya dengan Israel.

Tahukah bahwa kunjungan Yasser direspon langsung oleh kehadiran Jet Pribadi di bandara Halim  Perdana Kusuma, Jakarta, berbendera Israel. Tamu dadakan itu jelas bukan orang sembarangan, dia Menteri (PM) Israel Yitzhak Rabin. Dia sosok yang paling ditakuti sekaligus diincar oleh para pejuang Islam Palestinan atas metode pnedudukan yang dia gunakan terlampau tidak manusiawi.

Kala itu, presiden Soeharto hanya bisa menjamunya di kediamannya Jalan Cendana, Menteng. Alasannya tegas, karena Indonesia memang tidak terikat hubungan diplomatik dengan Israel. Tujuan PM Israel itu mengajak agar Indonesia membangun relasi ekonomi bahkan teknologi. Perhatian Israel pada Indonesia tidak bisa dianggap sepele. Bahkan besar harapan Israel pada Indonesia agar mengakui keberadaan negara baru itu.

Kalau tidak salah, Israel memang menawarkan ke Indonesia bagaimana pemecahan konflik dengan Palestina. Rupanya pertemuan itu berlanjut di New York, AS, saat keduanya menghadiri acara ulang tahun Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Nyatanya, kontak Indonesia dengan Israel pada orde baru membuat jembatan yang membuat pejabat senior kita berkunjung ke Israel. Tidak banyak yang membuka peristiwa itu, karena sangat sensitif dan mungkin akan ditindak oleh aparat.

Baik Israel dan Palestina sudah banyak melakukan kontak usaha perdamaian. Hingga kematian PM Yasser Arafat, usaha PLO-nya masih dinyalakan. Bahkan terdapat sebuah wilayah yang damai konon wilayah itu dijamin oleh Israel yakni Kota Ramallah tempat Yasser Arafat disemayamkan. Di sana sering terjalin kontak Yahudi-Muslim tanpa ada gesekan tajam. Apa mungkin FIFA bisa memulai dari sana saja agar semua kelumit global atas politik Israel-Palestina di atas lapangan hijau selesai!

Memahami apa yang dipersepsikan masyarakat tentang Palestina selama ini tidaklah sederhana. Tidak mudah mengatasnamakan kepentingan politik Palestina karena faktanya ada dualisme kekuatan politik  Palestina yang sulit dicarikan titik temu dan solusi. Soal sepak bola, kita menerima dengan lapang bahwa itu sebagai hiburan dan gengsi. Tetapi soal tindakan pendudukan Israel akan sulit dinyatakan benar dalam nurani manapun. 

Penulis melihat terdapat tantangan moral bangsa yang diuji, sikap atas perdamaian dunia yang ditasbihkan dari masa lalu pada pilihan yang mulia dan berprinsip. Indonesia harus menemukan pembacaan khas tentang Palestina dan Israel akhir-akhir ini dan tak mesti terjebak dari tekanan pihak manapun, termasuk publik kita yang terkadang terlalu mengharu biru dengan sepak bola. Piala Dunia U-20 kita jelas gagal, tetapi bukan perjalanan untuk selesai. 


Penulis:
Melqy Mochamad
(Penikmat Masalah Sosial)
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • FIFA, Ini Indonesia Bung Bukan Ramallah

Trending Now

Iklan

iklan