Iklan

Fotografi dan Cerita Orang Menolak Bodoh

narran
Jumat, 17 Maret 2023 | Maret 17, 2023 WIB Last Updated 2023-09-05T11:05:38Z
budaya, kehidupan, pariwisata, bali,
(Sumber: Tribunews.com)
NARRAN.ID, INTERMEZO -Pipi menteri pariwisata juga harus panas. Mengapa? Karena baik saya yang mengaku cerdas, maupun dia dan banyak orang yang menyandang gelar ini dan lainnya, tidak pernah berpikir atau berencana untuk membangun museum foto di Bali bahkan di Indonesia. Beginilah nasib wisata budaya. Saya menyadari betapa bodohnya kita semua saat minum kopi bersama teman saya Gustra, seorang fotografer terkenal Bali, di sebuah kafe keren di kawasan Renon. Tiba-tiba, fakta itu muncul di tengah tawa kami.

Ya, budaya Bali, budaya yang paling terlihat di dunia, paling banyak difoto, bahkan terkenal dengan kesempurnaan payudara wanita seratus tahun yang lalu! Hingga saat ini, budaya ini belum dirayakan oleh museum.

Kalau dipikir-pikir, sebenarnya ada banyak alasan mengapa belum ada museum foto. Foto-foto muncul pada zaman Belanda, mendokumentasikan, seperti lukisan Mooi Indie, merayakan kejayaan Belanda. Ada banyak ambiguitas yang mungkin tidak dipedulikan oleh orang Indonesia saat ini.

Orang Indonesia bisa tampil sebagai "primitif" atau promiscuous untuk orang-orang tertentu. Misalnya, perasaan perempuan Sunda masa kini dalam foto Cephias akhir abad ke-19, di mana para ibu modern secara terbuka menyusui anak-anaknya, belum pasti. Etika tubuh berubah seiring waktu. 

Faktor ekonomi juga berperan penting. Kegiatan berfotografi lama dan lama sekali merupakan kegiatan yang mahal, di luar jangkauan sebagian besar masyarakat. Biasanya yang aktif berfoto adalah orang yang dikarunai titel Tuan, Encik atau Raden. Di luar jangkauan Si Somprong di Bali atau Narto di Jawa.

Alat-alatnya sangat mahal. Dan kemahalan ini membatasi jumlah peminat. Maka, membuat foto lebih sering menjadi bisnis daripada seni. Yang difoto adalah acara pernikahan, murid kelas sekolah atau anggota regu sepak bola. Dokumentasi kenangan pribadi atau kolektif. Yang diutamakan ialah ”ketepatan” figurasi bukan keindahan foto sendiri.

Dengan berulurnya waktu, datanglah pariwisata, tetapi hal ini tidak serta merta menguntungkan orang yang merasa tertarik oleh foto sebagai kegiatan yang lebih dari sekadar bisnis.

Pada awalnya, katakanlah tahun 1960an-1980-an, fotografer pariwisata yang mengangkat foto karena keindahannya, untuk sebagian terbesar adalah orang asing, bule pada umumnya.

Ketika mereka datang ke Bali atau ke mana pun di Indonesia, mereka membawa peralatan yang sangat wah: lensa maha-panjang yang mirip senjata. Penglihatannya tak jauh beda dengan KNIL tiga puluh tahun sebelumnya. Dan mereka sering lupa diri.

Masuk ke medan acara bak jagoan, menyuruh orang entah mundur agar tidak menutupi angle foto yang dihendaki, atau sebaliknya tampil ke depan bila eksotis. Adapun anak-anak biasanya disuruh pergi dengan suara keras kalau tidak digoda dengan diberikan 100 rupiah.

Fotografer bule ini kerap ”diservis” fotografer lokal yang tak mampu membeli lensa dan disuruh berfungsi sebagai asisten merangkap.

Apakah sejarah di atas ini menyenangkan? Tidak. Maka bisa dipahami bila orang Indonesia lama enggan mengangkat foto sebagai daya tarik sebagaimana dapat disajikan di dalam sebuah museum.

Namun, waktu telah berubah. Indonesia dan Bali memiliki kekayaan ekspresi visual yang tak terkira. Krause, Cartier Bresson, dan ratusan fotografer lainnya dengan tepat menyebut negara ini sebagai negara dengan perspektif terkaya dan keragaman budaya di dunia.

Indonesia dan Bali membutuhkan museum foto, ada banyak tempat di dunia. Dari segi komersial tidak ada ruginya, karena gambar dapat dipasarkan dengan persetujuan pemilik hak. Selain itu, museum yang lengkap dapat mencakup ruang pameran yang menyajikan sejarah fotografi lokal, sejarah politik, berbagai acara budaya dengan penjelasannya, seperti festival bangsa dan pura di Bali.

Museum foto diperlukan untuk mengenalkan wisatawan pada keindahan suatu daerah dan memperkuat identitas dan kebanggaan budaya masyarakat. Maka tak heran jika Menteri Pariwisata, pejabat daerah dan kita semua "harus terus bego" dengan tidak membangun museum fotografi yang sangat dibutuhkan pariwisata dan bangsa ini. (Mlq/Red)
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Fotografi dan Cerita Orang Menolak Bodoh

Trending Now

Iklan

iklan