(Sumber: Tribunews.com) |
Ya, budaya Bali, budaya yang paling terlihat di dunia, paling banyak difoto, bahkan terkenal dengan kesempurnaan payudara wanita seratus tahun yang lalu! Hingga saat ini, budaya ini belum dirayakan oleh museum.
Kalau dipikir-pikir, sebenarnya ada banyak alasan mengapa belum ada museum foto. Foto-foto muncul pada zaman Belanda, mendokumentasikan, seperti lukisan Mooi Indie, merayakan kejayaan Belanda. Ada banyak ambiguitas yang mungkin tidak dipedulikan oleh orang Indonesia saat ini.
Orang Indonesia bisa tampil sebagai "primitif" atau promiscuous untuk orang-orang tertentu. Misalnya, perasaan perempuan Sunda masa kini dalam foto Cephias akhir abad ke-19, di mana para ibu modern secara terbuka menyusui anak-anaknya, belum pasti. Etika tubuh berubah seiring waktu.
Faktor ekonomi juga berperan penting. Kegiatan berfotografi lama dan lama sekali merupakan kegiatan yang mahal, di luar jangkauan sebagian besar masyarakat. Biasanya yang aktif berfoto adalah orang yang dikarunai titel Tuan, Encik atau Raden. Di luar jangkauan Si Somprong di Bali atau Narto di Jawa.
Alat-alatnya sangat mahal. Dan kemahalan ini membatasi jumlah peminat. Maka, membuat foto lebih sering menjadi bisnis daripada seni. Yang difoto adalah acara pernikahan, murid kelas sekolah atau anggota regu sepak bola. Dokumentasi kenangan pribadi atau kolektif. Yang diutamakan ialah ”ketepatan” figurasi bukan keindahan foto sendiri.
Dengan berulurnya waktu, datanglah pariwisata, tetapi hal ini tidak serta merta menguntungkan orang yang merasa tertarik oleh foto sebagai kegiatan yang lebih dari sekadar bisnis.
Pada awalnya, katakanlah tahun 1960an-1980-an, fotografer pariwisata yang mengangkat foto karena keindahannya, untuk sebagian terbesar adalah orang asing, bule pada umumnya.
Ketika mereka datang ke Bali atau ke mana pun di Indonesia, mereka membawa peralatan yang sangat wah: lensa maha-panjang yang mirip senjata. Penglihatannya tak jauh beda dengan KNIL tiga puluh tahun sebelumnya. Dan mereka sering lupa diri.
Masuk ke medan acara bak jagoan, menyuruh orang entah mundur agar tidak menutupi angle foto yang dihendaki, atau sebaliknya tampil ke depan bila eksotis. Adapun anak-anak biasanya disuruh pergi dengan suara keras kalau tidak digoda dengan diberikan 100 rupiah.
Fotografer bule ini kerap ”diservis” fotografer lokal yang tak mampu membeli lensa dan disuruh berfungsi sebagai asisten merangkap.
Apakah sejarah di atas ini menyenangkan? Tidak. Maka bisa dipahami bila orang Indonesia lama enggan mengangkat foto sebagai daya tarik sebagaimana dapat disajikan di dalam sebuah museum.