Iklan

LaLisa La Monalisa

narran
Selasa, 14 Maret 2023 | Maret 14, 2023 WIB Last Updated 2023-03-14T08:23:40Z

Lisa Manoban, Blackpink, KPOP, Jakarta, Indonesia, Fandom
(Sumber: Hyepabis)
NARRAN.ID, OPINI - Konser Blackpink baru saja usai di Jakarta, kini hanya tinggal video rekaman pendek yang masih mengisi ruang media sosial dari fans-nya. Banyak hikmah yang kita dapat dari fenomena Blackpink ini. Kita semakin mengetahui bahwa anak muda kita memang sedang dalam masa pertumbuhan secara moril dan ekonomi. Secara moril mereka mencoba menerima segala perbendaan antara diri mereka sebagai bangsa Indonesia dengan personil Black Pink yang sudah menjadi warga manca Negara dunia.

Pada kacamata ekonomi, menjadi bukti bahwa pendapatan dan keberanian membayar tiket setara setengah gaji rata-rata UMR Jawa Tengah tanpa dilematis (bukan kaum mendang-mending). Tapi apalah arti uang itu dengan kesempatan langka yang mungkin mereka tidak temukan di konser kedua nanti, artinya semua menjadi sepadan. Grup musik yang berisi Jennie Kim, Lisa Manuban, Kim Ji-soo, dan Rose' itu memiliki banyak “ma’mum” di tanah air. Mereka sering kali bersaing dengan base fandom yang berbeda asal Korea Selatan lainnya. 

Sekalipun dimafhum bahwa sebagian besar dari fansnya hanya menyukai gaya hidup personil Blackpink, semua itu tidak menutupi kegembiraan fans Indonesia saat mereka berhasil menyita perhatian sekian ribu mata publik kita. Pasar menciptakan gelora yang logikanya seringkali tidak mudah dimengerti. Gebyar hastage #LaLisa dan #BornPink akhirnya bisa membunuh kekuatan buzzer politik yang menghegemoni jelang momentum politik kita. Setidaknya kehadiran Blackpink telah meredakan ujaran fitnah yang membuat sesak publik Twitter.

LaLisa sindrom bukanlah La-Nina sejenis iklim yang membawa efek buruk. Perubahan sosial fandom memang seringkali terlihat berlebihan. Mereka terlihat tidak substantif dibungkus ilusi konsumtif. Akhirnya, beberapa dari mereka menjadi sangat fanatik dan memungkinkan jadwal khusu gelud (bertengkar) adu argumen hanya untuk memberikan pembelaan atas segala sesuatu yang dianggap mereka keliru. Sepanjang mereka hidup realitis, tingkah laku mereka masih dimaafkan, terutama mereka juga terlibat dalam kegiatan filantropis pada sesama. Tidak pernah terjadi sebelumnya, suatu komunitas fandom musik melibatkan diri di ruang artikulasi sosial lebih luas dari sebatas histeria. 

Banyak kritik atas aktvitas fandom dari Korea Selatan ini, tapi kita tidak cukup adil jika hanya menitiberatkan perspektif demikian atas meraka. Kita harus setara, misalnya bagaimana dengan fans sepak bola yang rela begadang dan membeli jersey serta dibawa pada rutinitas serius (olah raga) dan santai (play stations). Fans sepak bola tidak semua dewasa dewasa mengagumi sesutau. Atas nama fanatisme, mereka berani menantang maut dan menjadikan kekerasan sebagai satu dasar pembuktian cinta?

Data dari riset yayasan yang berkolaborasi dengan pemerintah Korea mencatat, ada 1.843 klub penggemar di 113 negara di dunia. Penggemar klub hallyu global totalnya berjumlah 89,19 juta. Angka itu naik sekitar 22 persen dari tahun 2017. Asia dan Oceania adalah negara berbasis paling banyak penggemar, karena Korea Selatan sendiri berasal dari Benua Asia. Wilayah ini memiliki 457 klub penggemar yang berisi 70,59 juta orang di dalamnya.

Bahkan, Amerika Selatan dan Utara pun ternyata juga banyak, ada 11,8 juta orang dari 712 klub. Di Eropa ada 534 klub penggemar yang berisikan 6,57 juta orang. Sementara di Afrika dan Timur Tengah ada 140 klub penggemar yang berisi sekitar 230.000 orang. 

Jumlah ini cukup fantastis dalam waktu yang singkat. Korea Selatan kini menjadi negara yang cukup mengisi ruang pencaturan pengaruh di benua Asia. Wajar jika beberapa fakta menunjukkan, pengaruh K-Pop menjadi culture gun untuk mengambil celah perhatian dan pasar. Balckpink efek semakin waktu terus menghadirkan kejutan di tanah air. Sebelumnya, Jungkook personil boyband BTS berhasil membawakan lagu soundtrack untuk piala dunia Qatar dan mendapatkan sambutan luar biasa.

La Monalisa!

Anda tahu apa perbedaan Blackpink dan lukisan Monalisa karya Leonardo Da Vinci? Jangan kita bandingkan dalam garis ukuran material, karena keduanya berdimensi berbeda. Penemuan  lukisan Monalisa menandakan temuan karya seni yang tidak ternilai harganya. Konon, jika dibandingkan dengan harga lukisan Salvatore Mundi karya yang sama dari maestro Da Vinci yang laku 6 triliun rupiah pada pangeran Saudi Arabia, Muhammad Bin Salman maka Monalisa tidak akan dijual karena tidak terukur berapa nilainya. 

Lukisan Monalisa tidak menghibur, dia kaku dan penuh dimensi misteri dalam setiap polesan Da Vinci. Banyak yang berusaha merusak dan mencurinya, bukan karena soal nilai harganya melainkan kebanyakan orang malas dengan banyak fans lukisan itu yang fanatik. Bahkan Da Vinci seringkali dianggap messiah karena genius dan memiliki kepekaan atas masa depan.

LaLisa sebut saja Lisa Manuban adalah satu dari empat personil yang menjadi ikon utama Blackpink. Jarang sekali menemukan ujaran kebencian atas dirinya. Tubuh dan kecantikannya telah menjadi muara paparazzi dan agen periklanan untuk mencoba jasanya. Kini kekayaan pesonil Blackpink meningkat drastik, fans telah membantu mereka mewujudkan mimpinya, namun tidak dengan kita. Ya, selera musik adalah magis masing-masing manusia. Tapi itu tidak berlaku bagi lukisan Monalisa yang lebih banyak membantu museum dunia dan peneliti untuk menemukan banyak sisi kesenian yang didasarkan pengalaman melihat dan meneliti Monalisasi.

Bagaimana Blackpink dengan kita? Bisakah kita hanya sebagai pedati penarik popularitas dan menghabiskan waktu wacana yang tidak berguna namun menyenangkan itu dalam waktu terus menerus! Bisakah dunia fandom menjadi satu instrumen kontemplasi menjadi manusia yang arif dan bijak tanpa harus mengotori halaman beranda media masa orang lain? Tak mesti dijawab, biarkan waktu menjadi hakimnya. 


Penulis:
Melqy Mohamad
(Penikmat Masalah Sosial)
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • LaLisa La Monalisa

Trending Now

Iklan

iklan