(Sumber: Quora) |
Kabar dugaan pencarian kisah cinta itu pun tersebar di media sosial. Kehebohan bertambah ketika diketahui bahwa pelaku yang sudah diduga kerap mengarak kendaraan mewah di media sosial.
Peristiwa tersebut diyakini sebagai fenomena gunung es Gen Z. Lantas mengapa banyak remaja yang “tumbuh” dengan teknologi digital seringkali menjalani gaya hidup yang berbatasan dengan hedonisme dan terkesan kurang empati?
Wartawan Republik Andrian Saputra mewawancarai Presiden International Association of Muslim Psychologists, yang juga dosen Departemen Psikologi Universitas Bagus Riyono Gadjah Mada. Ini kutipannya.
Apa yang sebenarnya terjadi pada beberapa anggota Generasi Z yang cenderung melakukan kekerasan dan kekerasan terhadap orang lain?
Singkatnya, apa yang terjadi pada beberapa Gen Z disebut Perceptual Mindset. Sensing Kata dasar sensis berarti perasaan. Oleh karena itu, cara berpikir sensual adalah cara berpikir sensual, dan perasaan adalah lapisan terluar dari jiwa manusia.
Ia memiliki penalaran (reasoning), empati dan hati nurani. Jadi siapa pun yang mengalami pikiran sensual mengalami jiwa yang kosong. Penalarannya tidak berfungsi, empatinya tidak berfungsi, terutama hati nuraninya. Mengapa pikiran indrawi muncul dan bagaimana pengaruhnya terhadap Gen Z?
Mengapa pikiran indrawi muncul? Ini adalah fenomena perkembangan yang tidak sehat. Jadi anak-anak adalah bagian dari Gen Z, jadi ini tidak boleh digeneralisasikan, itu hanya bagian dari Gen Z yang mengalami pikiran indrawi. Salah satu alasan bertahan adalah karena mereka belum menyempurnakan penalaran, empati, keterampilan, bahkan hati nurani mereka sejak kecil.
Penalaran berarti kehati-hatian, rasionalitas, kehati-hatian, pandangan ke depan tentang konsekuensi, kesadaran akan sebab. Itulah alasannya. Empati adalah kepekaan terhadap orang lain. Jadi anak-anak yang menyiksa mereka, melecehkan mereka, mereka tidak punya empati, mereka tidak bisa merasakan seperti apa rasanya dilecehkan. Jadi itu sedikit perasaan yang membosankan, saya tidak mengerti.
Nah, hati nurani itu tentang mengingat Tuhan, Allah SWT. Orang yang mengingat Allah memiliki hati yang lembut. Ini meningkatkan empati dan memperkuat argumennya. Sehingga apa yang Anda lakukan selanjutnya juga sejalan dengan akal sehat, norma sosial dan kepedulian terhadap orang lain.
Nah, bagi anak-anak yang mengalami pikiran sensitif, ketiga lapisan jiwa itu dihilangkan atau digelapkan atau dikosongkan. Jadi Anda benar-benar mengalami jiwa yang kosong. Mengapa Generasi Z merasa hampa sehingga mudah menyakiti orang lain?
Lalu kenapa. Karena mungkin tidak pernah diasah sepanjang waktu. Pendidikan juga tidak melatih kemampuan berpikir, empati dan hati nurani. Jadi pendidikan itu saja, yang penting lulus ujian, lulus ujian, dengar, catat. Itu semua adalah aktivitas indrawi, tetapi penalaran membutuhkan apresiasi, pemahaman, pemikiran kritis, dll.
Lalu empati biasanya juga membosankan, karena anak muda yang terjebak dalam cara berpikir indrawi ini hidup hanya dengan media sosial (media sosial). Media sosial hanya terasa, enak dipandang saja, ada pujian, ada dukungan, ada reaksi positif yang terlihat meski belum tentu benar, belum tentu dari hati, yang penting jadi terlihat dan sebagainya.
Jadi dia juga dimanjakan oleh orang tuanya, misalnya dalam kasus anak pegawai pajak. Memanjakan biasanya tidak meningkatkan empatinya, tidak meningkatkan nuraninya, dia tidak peka. Terkadang pemikiran tidak tumbuh ketika anak dimanjakan.
Dia puas hanya dengan indera, mungkin makanan enak, pakaian bagus dan sebagainya, sesuatu yang dangkal, itu hanya perasaan. Tapi kalau soal pemahaman, penghargaan, empati, hati nurani, butuh interaksi dari hati ke hati dari orang tua atau guru, pengalaman, dll.
Padahal, pola pikir perseptual terbentuk sebagai hasil dari pertumbuhan, perkembangan, dan pengasuhan. Jadi, jika orang tua ingin mencegah hal ini, mereka harus memberikan perhatian penuh kepada anaknya sejak kecil.
Mereka sering diajak debat saat mulai kelas empat SD, mereka sudah mulai berdebat di kelas lima untuk memperhalus argumennya, lalu Anda bisa mengajak mereka menjenguk orang sakit, membantu fakir miskin, yatim piatu, dll untuk meningkatkan empatinya.
Kemudian dia diajari sholat, sholat, memohon kepada Allah dan seterusnya, dan hati nuraninya dikuatkan. Dan juga pendidikan, seseorang tidak hanya harus berjuang untuk prestasi, tetapi juga benar-benar membangun akhlak yang mulia. Ini adalah cara mengisi jiwa agar penuh, tidak kosong, tidak hanya persaingan, prestasi akademik, dll.
Aris Purnama
(Penulis Mahasiswa Univesitas Syah Kuala Aceh)