Iklan

Pemilu Jualan Apa Lagi, Pak?

narran
Jumat, 03 Maret 2023 | Maret 03, 2023 WIB Last Updated 2023-09-05T11:07:20Z
Politik, Pemilu 2024
(Sumber: Behance.net)
NARRAN.ID, OPINI - Pemilu semakin dekat nampaknya, hawanya terasa saat warung kopi sudah menerima titipan poster calon ini dan itu. Walaupun demikian, sepertinya kian bertambah saja masyarakat yang tak percaya kepada politisi dan organisasi politik. Bagi sebagian besar masyarakat yang apatis terhadap politik itu menganggap politisi acap kali membohongi diri sendiri. Janji mereka tulus, tapi kebohongan mereka lebih tulus lagi.

Dalam politik, biasanya kaidah pertama bagi politisi ialah memperoleh kekuasaan. Kaidah kedua ialah mempertahankan kekuasaan. Namun, dalam perjalanannya, kekuasaan membuat sebagian politisi di negeri ini terbuai dan goyah di tengah jalan ketika meraih kekuasaan atau tatkala berada dalam sebuah kekuasaan.

Kegoyahan tersebut salah satunya akibat terjebak dalam polah politik transaksional, kultur politik uang, dan politik konsumtif. Tak mengherankan, politisi yang ingin menjadi calon anggota legislatif tak cukup punya modal duit hanya ‘sedompet’. Selain itu, korupsi yang melibatkan pimpinan partai atau kader sebuah partai politik (parpol), pelan tapi pasti, akan diprediksi sulit mendapatkan simpati publik.

Ada beberapa definisi politik yang meningkatkan apatisme publik terhadap politisi. Dalam paparan JA Barnes (2005) mendefinisikan politik sebagai seni mengatur manusia dengan cara menipu dan seni meyakinkan orangorang dengan kebohongan baik demi tujuan baik. Namun, tetap saja itu bernama kebohongan. Bohong selalu dianggap sebagai sarana yang harus dan bisa diterima, bukan hanya bagi politisi atau demagog, melainkan juga oleh negarawan.

Nah, ihwal kategori politisi, Heinz Eulau (1987) mengemukakan ada empat jenis kepribadian politisi, yaitu ritualis, tribunalis, inventor, dan broker. Politisi ritualis menaruh perhatian pada kesopanan dan protokol. Politisi itu berusaha memasukkan semua pesan yang relevan ke dalam kategori-kategori yang dibakukan dan diterima. Politisi tribunalis menganggap dirinya wakil dari ‘forum rakyat’. Ide-ide tribunalis biasanya mendekati kebutuhan rakyat jelata. Ia merupakan ahli dalam menemukan tanggapan rakyat jelata. Itu termasuk peran seorang populis.

Politisi inventor memandang dirinya sebagai seorang pemrakarsa kebijaksanaan, yakni seseorang yang ‘membayangkan’, mencari rumusan, dan strategi-strategi baru. Adapun politisi broker merupakan perantara klasik yang menyeimbangkan semua pokok pandangan, membuat transaksi, dan selalu seolah tampak netral.

Masalahnya, politik Indonesia saat ini masih dalam perspektif yang mengidentikkan kegiatan politik sebagai privilese sekelompok orang. Pengkastaan politik di tengah-tengah masyarakat yang hanya satu kelompok atau satu kasta yang berhak memegang kekuasaan politik, misalnya penguasaan terhadap parpol.

Monopoli politisi yang memiliki perspektif politik seperti itu dikenal sebagai perspektif politik paling tua dalam sejarah, meski paling tua sampai sekarang masih ada. Akibatnya praktik demokrasi di negeri ini tampak semu. Ketika becermin kelihatan seperti demokratis, tetapi kenyataannya oligarki di tubuh parpol masih cukup kuat. 

Di Indonesia, politisi jadi idola karena lebih menjanjikan daripada jadi petani, pedagang, pegawai negeri, atau tentara. Karena atas nama DPR, politisi ikut berperan dalam berbagai aspek, termasuk mengurusi hal-hal yang bersifat teknis, seperti pemilihan ketua dan anggota lembaga atau komisi negara hingga soal keuangan atau anggaran. Oleh karena itu, sangat tidak masuk akal apabila para politisi tidak memiliki kualitas dan kredibilitas.

Namun, kenyataan yang terjadi justru sebaliknya. Profesi politisi cenderung jauh dari kualitas dan kredibilitas. Profesi politisi hanya digunakan untuk mencari nafkah, bukan lagi menjadi profesi mulia yang pantas dijaga atau dilindungi. Semakin banyak petinggi negara—menteri, jenderal, anggota DPR, gubernur, bupati, dan pejabat lain yang terlibat dalam berbagai pelanggaran etika (poligami) serta skandal (suap dan korupsi). Ini mengisyaratkan, demi pola hidup hedonis, kehormatan, reputasi, nama baik, status, gengsi, martabat, atau harga diri tidak lagi penting.

Gaya Lama

Sejauh ini, partai politik selalu menggunakan logika sendiri dalam merekrut kader. Pola yang sama digunakan dalam pemilihan calon anggota legislatif hingga petinggi negara atau pemimpin. Artinya, sejak awal parpol telah mengabaikan tiga elemen esensial kriteria yang harus dipenuhi untuk menghasilkan pemimpin potensial, yaitu posisi, sikap, dan kemampuan.

Dari berbagai kajian diketahui, Indonesia semakin tenggelam dalam jebakan masa kegelapan demokrasi, hukum, dan agama. Demokrasi hanya jadi prosedur karena diawaki oleh politisi semu (pseudo-politician) jauh dari kualitas dan kredibilitas. Hukum bertumpu pada asas sindroma criminal justice industrial complex, berkolaborasi dengan dunia bisnis demi keuntungan materiil. Agama tak lagi digunakan sebagai cermin kesucian, kejujuran, serta tuntunan moral dan spiritual, tetapi sudah berkiblat pada kepentingan duniawi (politik).

Di era informasi global, apa pun bisa terjadi. Teknologi informasi telah mampu memotong monopoli birokrasi kekuasaan tradisional. Artinya, perspektif Newtonian, yang percaya bahwa perubahan adalah linier, berdasar konstitusi, atau direncanakan seperti pemikiran kelompok status quo atau kelompok konservatif justru dengan mudah dapat diporakporandakan.

Sejarah mencatat, transisi kekuasaan tidak normal atau percepatan revolusi pernah terjadi di di sejumlah negara. Juga di Indonesia. Oleh karena itu, politisi yang bernaung di bawah panji-panji parpol harus tetap menjaga kepercayaan rakyat. Sebab, ketika rakyat sudah tak percaya kepada politisi, parpol tersebut tak akan bisa bertahan.

Politisi dan Politikus

Dalam KBBI daring, kata politisi dan politikus digolongkan sebagai kata benda (nomina). Kata politisi bermakna atau bersinonim dengan politikus. Adapun kata politikus berarti ’1 ahli politik; ahli kenegaraan; 2 orang yang berkecimpung dalam bidang politik’. Kedua kata ini, kalau disimpulkan, sama-sama mempunyai arti ’orang yang berkecimpung dalam bidang politik’.

Kata politisi dan politikus, dalam KBBI, tidak disebutkan dengan jelas mana yang berbentuk tunggal dan mana yang berbentuk jamak. Tidak salah jika ada pengguna bahasa yang menganggap kata politisi dan politikus merupakan bentuk tunggal, ada pula yang menganggap bentuk jamak. Alhasil, bisa dipastikan akan terjadi ketidaktepatan dalam penggunaannya.

Dari sudut pandang korupsi politik, muaranya selalu berasa; dari persekongkolan politik dengan kelompok bisnis atau korupsi yang dilakukan demi kepentingan dana politik. Korupsi tipe inilah yang perlu jadi prioritas utama. Betapa tidak, setelah amandemen UUD 1945, kecenderungan kewenangan yang besar di eksekutif atau pemerintah bergeser ke legislatif. Di satu sisi, ini menjawab kekhawatiran tentang kekuasaan yang sebelumnya berpuncak di tangan presiden. Namun, di sisi lain, kekuasaan politik sepertinya membengkak di tangan badan legislatif.

Kini, menjelang perang modal dan suara di Pemilu 2024, calon pemimpin di semua lapisan masih mengandalkan sosok pesosor (modal atau bakat). Keterlibatan pesohor dalam politik sesungguhnya bukan hal baru. Sejak Pemilu 1979, semua partai politik peserta pemilu pada saat itu Golongan Karya, Partai Demokrasi Indonesia, dan Partai Persatuan Pembangunan secara konsisten mengajak pesohor, terutama penyanyi, dalam setiap kampanye. Apakah jualan ini mujarab nanti, kita lihat saja!

Selama kurun waktu sekitar 20 tahun, kiprah pesohor dalam politik tidak lebih dari sekadar pemikat massa dalam kampanye (mass getter). Kehadiran mereka diharapkan dapat menarik peminat untuk berduyun-duyun hadir di lokasi kampanye, tempat para petinggi dan politisi parpol menyuarakan visi dan misi partai di sela-sela ketidaksabaran massa menunggu penampilan pesohor berikutnya.

Jangan lupa, bahwa politik kita masih malu-malu bicara soal kelompok elit. Elite yang berkuasa (the rulling elites) memang tidak didominasi kaum intelektual meski intelektualitas bukan monopoli kaum intelektual. Dalam konteks inilah intelektualisasi politisi dipandang mendasar.

Indonesia pernah mengalami masa di mana dunia politik nasional didominasi politisi-intelektual. Pada masa itu perdebatan intelektual ingar-bingar. Presiden Republik Indonesia pertama, Bung Karno, adalah tipe politisi intelektual. Sebelum kemerdekaan, Bung Karno banyak menulis gagasan tentang bangsa, kemanusiaan, dan anti-penjajahan. Politisi zaman itu genealoginya intelektual terdidik.

Pertanyaan besarnya, mengapa kebohongan lebih memikat akal budi daripada realitas? Keuntungan pembohong: ia telah tahu lebih dulu apa yang ingin didengarkan publik atau mengetahui apa yang ditunggu atau diharapkan untuk didengar (Arendt, 1972: 11). Versi pembohong sudah disiapkan untuk keperluan memenuhi keingintahuan publik dengan mengandalkan kredibilitas pembohong. Sementara menghadapi realitas, orang sering tak tahu apa yang harus diperbuat karena ada yang tidak diharapkan sehingga tidak siap menerimanya.

Bagaimana kebohongan berlangsung lama, bahkan tak terbongkar? Pertama, agar fakta bisa diterima publik, diperlukan kesaksian dan saksi harus bisa dipercaya. Maka, tiada pernyataan berdasarkan fakta bisa sama sekali terlindungi dari keraguan dan falsifikasi. Kerentanan fakta ini justru mendorong orang atau penguasa mudah tergoda untuk membohongi publik. Kedua, kebohongan dengan mudah bisa menyesuaikan diri dengan tuntutan penalaran karena semua bisa berjalan mengikuti cara pikir yang ditentukan pembohong. Ketiga, mereka yang mencoba mempertanyakan, tanpa bukti material dan tanpa dukungan kekuatan politik, justru terancam hukuman pencemaran nama baik, intimidasi, atau disingkirkan. Keempat, logika kebohongan terlindungi oleh formalisme hukum. Formalisme hukum mereduksi kejahatan, hanya kejahatan melawan hukum dengan mengabaikan kejahatan moral dan politik.


Penulis:
Melqy Mochamad 
(Penikmat Masalah Sosial)
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Pemilu Jualan Apa Lagi, Pak?

Trending Now

Iklan

iklan