Iklan

Vodka dan Tuhan

narran
Selasa, 28 Maret 2023 | Maret 28, 2023 WIB Last Updated 2023-03-28T06:19:23Z
sosial, agama, filsafat, perenungan
(Sumber: republika.id)
NARRAN.ID, OPINI - Judul tulisan ini sekilas mirip judul buku ST Sunardi “Vodka dan Birahi Seorang Nabi” yang berkisah tentang klise manuskrip estetika kehidupan sebagaimana refleksi dirinya sebagai seorang pengajar seni. Menjamu bulan keagamaan dan kenegaraan (politik) hampir semuanya bertungkus-humus untuk terdepan. Mengakui bahwa kondisi kemanusiaan kita tidak begitu mengenakkan tak salah, bahwa memang tidak tersedianya ruang jamuan kesadaran kolektif menjadi jalan terjal menjadi manusia hanif nan kaffah.  


Kita menjadi saling curiga atas seseorang mulai dari keagamaan, keyakinan, kekayaannya, politiknya, bahkan ideologinya. Variabel sosial itu terkadang mencair ketika disampaikan ke publik dengan cukup malu-malu bahkan culas. Seorang petugas bea cukai mengelak kalau harta yang dimilikinya tidak berkaitan dengan dana pajak yang dikelolanya. Bagaimana mungkin seseorang bisa berbohong di saat lapisan kelas sosial hasil terpaan media sosial ini saling curiga dan marah satu sama lain.

Panorama sosial saat ini tidak layak kita sebut sebagai manifes untuk masa depan. Agama sebagai harapan, hampir tidak terlihat ruh agama yang menyunting manusia untuk konsiten atas niatnya sebagai hamba yang arif dan bijaksana. Manusia memang banyak menuntut agar agama fleksibel, naasnya, jalan itu digunakan sebagai zikir yang mengfragmentasi ummat lewat slogan hitam-putih bagi golongan di luar mereka.

Layaknya mabuk “vodka” kita menyatir diri ini harus terbebas dari belenggu secepat mungkin dengan mengubahnya sebagai bayangan indah dengan mudah dan cepat. Ilusi-ilusi gila bak pemabok itu justru semakin kekal di alam nyata. Tidak dapat dibayangkan betapa sudah banyak Futurog macam Sudjatmoko, Naisbitt, Toffler, bahkan Ferguson yang dipercaya atas ramalannya akhirnya meleset satu persatu. Bagi orang mabuk, yang nyata adalah ilusinya itu sendiri. Ambisi abad ini adalah berupaya menyeimbangkan jumlah makanan dan populasi bersamaan. Jawabannya pasti bisa, tapi pertanyaan lainnya, mungkinkah jumlah populasi itu memiliki selera pangan yang sama? 

Tak salah perumpaan dari William Cowper, pujangga Inggris abad ke-18, menulis,“Tuhan menciptakan desa, manusia membangun kota.” Dalam tulisan itu Cowper mengatakan bahwa yang dimaksud desa bukan Cuma wilayah tenteram yang dihampari persawahan, disuburi humus, dan diteduhi tanah ladang. Desa adalah juga kehangatan kebudayaan, tempat merebaknya kearifan lokal yang tumbuh dari falsafah memberi dan menerima, tolong-menolong, seperti hubungan manusia dan alam yang menghidupinya. Kenyataanya kita sedang berjalan dalam agenda destruktifikasi desa.

Orang-orang mabuk bisa saja semakin bertumbuh, jika benar bahwa di masa depan enam puluh persen penduduk di dunia bakal berdiam di kota-kota menjelang 2030. Cepatnya laju urbanisasi telah mendorong konsumsi bahan bakar fosil dan air rumah tangga serta meningkatkan permintaan akan pangan di daerah-daerah di mana lahan pertanian semakin langka. Singkatnya, laju urbanisasi yang terjadi sekarang tidak berkelanjutan.

Orang mabuk di abad modern sebenarnya dapat dicontohkan juga dari bentuk peradaban-kota yang cenderung tidak mau peduli kepada orang lain ini di Jakarta populer lewat ungkapan “Lu lu, gue gue”. Artinya “yang mengurus engkau adalah engkau sendiri, yang mengurus aku ya aku sendiri”. Sementara itu, dalam ilmu psikologi, fenomena ini dikenal sebagai bystander effect, atau sindrom Genovese (John Darley dan Bibb Latane).

Belum lagi, adanya perilaku korup dalam psikologi sosial ditengarai sebagai bentuk ekstrem dari niat untuk tidak pernah peduli, dan sikap yang murni mementingkan diri sendiri. Padahal Henri Frederic Amiel, filsuf Swiss abad ke-19, berkata, “Nafsu untuk mementingkan diri sendiri tidak lain adalah sisa dari unsur kebinatangan yang ada dalam diri manusia.” 

Pada Tuhan

Tuhan bukan sebatas maujud kekuasaan dan takdir saja. Lebih dari itu, kehadirannya dianggap mampu mengatasi ilusi dan realitas agar tidak menjadi mitos. Agama adalah jembatan kabar bahagia dari tuhan untuk ciptaannya. Sekalipun berkuasa, tuhan seringkali tidak dianggap berdaya atas kehendak bebas manusia. Itu semua sudah bagian resiko, bagi pemabuk duniawi yang bermimpi atas sebagian tanah di surga. Walaupun, semua orang tidak yakin atas kebenaran posisi yang layak apakah surga dan negara. Namun semua orang sepakat bahwa kita semua takut mati dan berakhir.

Pemabuk duniawi ini mencari cara agar dunia yang digenggamnya kekal walau terbatas. Usia dan tenaga bisa saja tidak mengizinkan seseorang melakukan semaunya. Akhirnya, banyak percobaan singkat dengan membabat hak orang lain dengan harapan sebagai syarat bisa bertahan. Seseorang menenggak miras selalu beralasan hal itu sebagai mediator pengalihan agar kenyataan psikologis aslinya tidak kelihatan. Kepura-puraan ini juga menjadi bukti bahwa kita terlibat dalam pengangkangan spiritualitas.

Lewat alasan kondisi mabuk, tuhan juga bisa menjadi alat yang dapat diperjualbelikan. Bahkan, mereka menyebut “tuhan yang memilih” sendiri atas siapa yang layak. Dalam daras kepemimpinan politik, muncul perilaku caving yang menjadikannya sebagai tempat bersembunyi tatkala politik dan caranya sudah dirancang secara keliru. 

Namun bukankah banyak sekali sejarahwan menyatakan bahwa penemuan akan tuhan adalah anugrah dan bencana sekaligus. Mereka yang menyatakan adanya tuhan seringkali disebut gila, perkiraan  atas dasar-dasar tuhan telah dianggap mendiskreditkan kekuasaan manusia sebagai manusia paling cerdas. Kita harus hentikan debat itu, lalu kita melangkah pada kasus “tuhan semakin banyak” meminjam istilah Mustofa Bisri, yang menegasikan kepentingan manusia yang tiada batas dengan meminjam nama besar tuhan yang dipersekutukan atas materi. Lalu, Apakah perilaku ini adalah ulah peminum vodka atau mereka yang merasa paling dekat dengan-Nya.


Penulis:
Melqy Mochamad
(Penikmat Masalah Sosial)
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Vodka dan Tuhan

Trending Now

Iklan

iklan