(Sumber: Media Indonesia) |
Sebagai reaksi, kata mudik mengandung semangat individual, sporadis, dan kesementaraan. Berbeda dengan urbanisasi yang sebaliknya mengandung semangat masal dan permanen.
Karena perbedaan itu, dalam studi modernisasi dan pembangunan, urbanisasi memperoleh eksplorasi kajian yang sangat meluas. Sebaliknya, mudik tampaknya hanya memperoleh perhatian sangat kecil.
Namun, perubahan masyarakat Indonesia kini demikian cepat sehingga, tampaknya, mudik harus mulai memperoleh kajian yang sebanding dengan urbanisasi. Tidak seperti contoh oleh KBBI tentang mudik, ''seminggu menjelang Lebaran sudah banyak orang yang mudik.'' Sebagaimana kita perhatikan belakangan ini, orang berduyun-duyun mudik tidak hanya saat Lebaran Islam, melainkan hampir semua hari libur panjang yang setidaknya lebih dari dua hari.
Makin banyak hari libur yang saling bergandengan dengan Sabtu-Minggu, akan semakin banyak orang yang mudik secara berduyun-duyun. Di sini, saya ingin mengaitkan saling reaksi dua kata tersebut dengan strategi pembangunan.
Desa
Tidak perlu ditambah ''isasi'' pada kata mudik kalau diartikan sebagaimana dalam KBBI. Isasi dalam kata mudik diperlukan untuk memberi arti lebih daripada yang selama ini kita pahami. Yaitu, bersifat masal dan permanen. Setidak-tidaknya memiliki pengaruh yang tidak hanya yang bersifat fisik, melainkan juga nonfisik seperti ekonomi, permodalan, dan kebudayaan.
UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa dalam arti tertentu seharusnya hendak membalik logika pembangunan yang berpengaruh terhadap urbanisasi yang memiliki semangat masal, permanen, dan sentralistis. Sebaliknya, mudikisasi menjadi lawannya.
Dengan UU Desa tersebut, seharusnya ada pengaruh terhadap arti dan posisi mudikisasi. Desa menjadi sentral dari kiblat pembangunan dan migrasi atau perpindahan orang secara masif. Atau, dalam adagium kritik terhadap pembangunan sebagai modernization from below, modernisasi dari bawah atau pinggiran.
Mudikisasi, dengan demikian, tidak lagi berarti pulang ke pinggiran dan sporadis, melainkan kembali ke pusat pembangunan, bersifat masal, dan permanen. Dalam strategi pembangunan yang sentralistis di masa lalu, desa memang hanya menjadi pinggiran dan bahkan dilepaskan dari agenda pembangunan itu sendiri. Paling banter mereka hanya diberi subsidi untuk mencegah urbanisasi lebih deras dan memberi efek kepada orang desa sekadar bisa bertahan hidup, bukan lebih sejahtera.
Meski belum sebesar anggaran pendidikan, sejak APBN 2015, anggaran untuk desa menunjukkan ke arah peran desa sebagai sentral dinamika pembangunan tersebut. Dari anggaran 2015 untuk pembangunan desa sebesar Rp 20,7 triliun, pada APBN 2016, angkanya naik menjadi Rp 47 triliun, atau ada kenaikan dua kali lipat lebih dari APBN 2015. Dan, 12,3 persen dari angka tersebut akan ditransfer langsung ke desa.
Menurut Ahmad Erani Yustika, Dirjen Pembangunan dan Pengembangan Masyarakat Desa (PPMD) Kemendes PDT, ada tiga pilar penjaga proyek kemandirian desa. Yaitu, jaringan komunitas desa (Jamu Desa), lumbung ekonomi desa (Bumi Desa), dan lingkar budaya desa (Karya Desa).
Ketiga-tiganya saling terkait tidak hanya untuk memberdayakan desa dari sisi ekonomi semata, melainkan juga kebudayaan, kreativitas, dan modal. Bahkan juga dibangun badan usaha milik desa (BUMDes) sebagai sarana untuk membangun tradisi kewiraswastaan (entrepreneurship) masyarakat desa.
Namun, sebagaimana tecermin dari tujuan UU Desa tersebut, betapa pun pentingnya desa kini tetap belum menjadikannya sebagai sentral dari proses modernisasi dari bawah. Melainkan masih sebatas pelengkap.
Sebagai proses awal itu masih bisa dipahami karena masih perlu berbagai kesiapan infrastruktur, sumber daya manusia, kebudayaan, dan tradisi untuk menjadikannya benar-benar sentral pembangunan dan modernisasi.
Titik Rawan
Meski demikian, tanpa mengurangi optimisme proses perubahan yang sedang terjadi, buru-buru harus diingatkan tentang adanya titik rawan atau tantangan yang segera harus dihadapi desa, ketika menjadi lokus pusat perubahan. Dengan derasnya uang masuk ke desa dan mungkin migrasi, nantinya tidak hanya APBN, melainkan juga hasil dari dinamika perubahan, termasuk perdagangan, maka dengan sendirinya akan ada yang menyertai datangnya uang tersebut (follow the money).
Tiga tantangan mungkin harus segera diatasi dengan cara terutama melalui peningkatan kapasitas sumber daya manusia serta daya tahan kebudayaan dan tradisi, yaitu konsumerisme, radikalisme, dan korupsi. Dengan peningkatan penghasilan masyarakat, akan mudah datang produk-produk yang bersifat konsumtif -bukan tidak mungkin black market- seperti elektronik, kendaraan bermotor, dan fashion -untuk menyebut sebagian- yang perubahannya sangat cepat.
Jika tidak bisa dikendalikan, masyarakat akan terjerembap sebagaimana cerita petani cengkih atau tembakau yang ketika panen dan booming harga membeli kulkas. Padahal, rumahnya belum teraliri listrik.
Radikalisme, baik dalam pemahaman agama atau yang lain, adalah hal yang penting untuk diberi perhatian. Seperti sudah taken for granted bahwa radikalisme adalah salah satu reaksi terhadap globalisasi dan perubahan-perubahan yang cepat. Desa sebagai sentral perubahan, sebagaimana kota, bukan tidak mungkin akan berubah menjadi pusat-pusat radikalisme jika tidak segera diantisipasi.
Ketiga adalah korupsi. Entitas yang dulu terpinggirkan dan kemudian menjadi pusat dengan mendapat gelontoran sejumlah uang sangat menggoda untuk menggunakannya secara tidak terkontrol. Apalagi dibarengi tumbuhnya konsumerisme. Kapasitas tata kelola pemerintahan dan keuangan serta tradisi integritas adalah kunci bagi kesuksesan menjadikannya desa sebagai titik berangkat modernisasi.
Dengan demikian, di luar optimisme peluang untuk terjadinya mudikisasi di mana desa menjadi sentral perubahan, pembangunan, dan destinasi migrasi, harus segera diingatkan bagai pesan orang tua ketika anaknya ingin pergi ke kota: hati-hati dengan pengaruh konsumerisme, radikalisme, dan korupsi.
Penulis:
Amin Malouf
(Mahasiswa Pascaasarjana Univesitas Airlangga)