(Sumber: Koran Jakarta) |
Apa yang dilakukan oleh Pj. Heru Budi dianggap sebuah kemunduran, bukan hanya bagi pejalan kaki dan pesepeda, tapi juga bagi sebuah peradaban kota. Seluruh kota di dunia, saat ini berupaya mengubah kebijakan dari car oriented development menuju ke transit oriented development. Mengubah dari pembangunan berorientasi pada kendaraan pribadi, menjadi pembangunan berorientasi pada transportasi massal. Sayangnya, Heru berpikir terbalik.
Sejak awal menjabat Pj. Gubernur, Heru Budi sudah menuai kontroversi. Dia menghilangkan anggaran jalur sepeda di Jakarta. Setelah diprotes oleh komunitas pesepada, akhirnya dia menambahkan anggaran untuk jalur sepeda. Itu pun jumlahnya terbilang kecil. Sayangnya lagi, anggaran yang kecil tersebut tidak dianggarkan untuk menambah pembangunan jalur sepeda. Tapi digunakan untuk evaluasi jalur sepeda. Sungguh aneh, tapi nyata.
Penyunatan anggaran jalur sepeda adalah awal. Kesabaran pejalan kaki dan pesepada akhirnya diuji di bulan Ramadan. Heru membongkan jalur sepeda dan jalur pejalan kaki di Persimpangan Pasar Santa. Menurut Budi, tujuannya disebutkan untuk mengurai kemacetan di sekitar Pasar Santa. Faktanya? Kemacetan tambah parah. Bukan hanya pejalan kaki dan pesepeda yang “merujak” Heru, mayoritas warga Jakarta atau komuter yang bekerja di Jakarta memprotes kebijakan tersebut.
“… kita protes soal dibongkarnya jalur sepeda untuk kepentingan jalan dengan dalih mengurangi kemacetan. Itu adalah sebuah kemunduran drastis dari pola pembangunan Jakarta yang diciptakan oleh kepemimpinan sebelumnya,” tutur ketua Bike To Work (B2W) Fahmi Saimima, sebagaimana dikutip Republika edisi 16/4/2023.
Apa yang diungkapkan Fahmi sangat beralasan. Pembangunan Jakarta yang direncanakan dan dieksekusi oleh Anies Baswedan memang pembangunan yang mengutamakan dan memanusiakaan manusia. Pembangunan trotoar dan jalur sepeda terbukti meningkatkan interaksi warga Jakarta. Belum lagi pembangunan 100 Taman Maju Bersama yang menjadi wadah bagi warga.
Ruang publik adalah prioritas dalam pembangunan Jakarta di masa Anies Baswedan. Sementara di era Heru Budi, sepertinya akan dikembalikan ruang kendaraan. Mirisnya lagi, penambahan ruang kendaraan tersebut dilakukan dengan mengambil hak ruang manusia, khususnya pejalan kaki dan pesepeda. Hal ini tentu sangat disayangkan. Sebab, ruang publik yang dibangun di era Anies Baswedan, terbukti mempermudah warga dan diakui pencapaiannya.
Kembali mengutip apa yang disampaikan oleh Fahmi, bahwa pengembangan lajur sepeda di Jakarta adalah yang paling progresif di dunia saat ini, jadi seharusnya dipertahankan dan diperluas secara masif di seluruh wilayah kota. Lajur sepeda selain sebagai penanda kemajuan peradaban kota, juga sangat efektif mengendalikan kemacetan dan emisi kendaraan.
Sangat disayangkan, ekosistem penggunaan transportasi umum yang sudah terbangun di Jakarta, bisa mundur bahkan rusak dengan kebijakan-kebijakan baru yang diambil sepihak dan sewenang-wenang. Sebuah kebijakan yang baik, seharusnya melibatkan partisipasi warga. Selain itu, harus melalui riset yang memadai. Sayangnya, itu tidak dipilih Heru Budi dalam kasus pembongkaran jalur sepeda dan pejalan kaki di Persimpangan Pasar Santa. Sudah menuai kontroversi, malah memperparah kemacetan.
Kebijakan yang tidak berpihak pada warga ini, sepertinya bukan menjadi yang terakhir kali. Ke depan, kebijakan-kebijakan kontroversial dan merugikan warga Jakarta ini masih sangat mungkin terjadi. Sepertinya benar apa yang ditudingkan netizen dan warga Jakarta, tugas Heru Budi hanya satu: menghapus pencapaian dan kesuksesan Anies Baswedan.
Jupiter
(Anggota DPRD DKI Jakarta)