Iklan

Mas Anas, Waktu dan Tempat Dipersilakan!

narran
Selasa, 11 April 2023 | April 11, 2023 WIB Last Updated 2023-06-01T08:49:33Z

anas urbaningrum, politik, hukum, partai demokrat,
(Sumber: Media Indonesia)
NARRAN.ID, OPINI - Undangan meramaikan bebasnya Anas Urbaningrum (AU) di Lapas Sukamiskin,Bandung, menarik dilihat. Jika itu sebuah animo biasa, mengapa terkonsolidasi dan penuh sukacita. Bagaimana mungkin seseorang narapidana mendapat sambutan di tengah sudut pandang publik bahwa penjara adalah senista-nistanya area. 

Memang dalam sosiologi penjara, seseorang yang bersalah di dalam penjara akan melakukan penyesalan atas tindakannya. Sebaliknya, bagi mereka yang benar dan korban keadilan konsepnya bisa menjadi awal perhitungan atau memaafkan. Semua memiliki kemungkinan yang tidak bisa ditebak. Yang pasti surat catatan AU untuk meminta ketenangan pada simpatisannya atas kesabaran mereka menantinya bebas merupakan sikap yang ambigu.

Tidak salah jika cendekiawan Komaruddin Hidayat menyebut bahwa hubungan antara politik dan penjara selalu dekat, bahkan melekat. Sejarah mengajarkan kepada kita bahwa banyak politikus pernah hidup di penjara, namun kualitas dan alasannya tidak selalu sama. Politisi dalam arti luas adalah mereka yang memperjuangkan kekuasaan dalam struktur pemerintahan, mengatur dan menggerakkan mesin birokrasi negara untuk kemajuan dan kesejahteraan rakyat. Oleh karena itu, karier politik pada dasarnya terhormat dan mulia. Jadi jika partai dan politisi saat ini memiliki citra publik yang buruk, ada dua kemungkinan.  

Penjara merupakan kubah pengokohan jiwa yang membuat politisi memupuk dirinya kembali sebagai negarawan tulen. Sosok seperti Sjahrir, Hatta, Mahatma Gandhi, Nelson Mandela, Ayatullah Khomeini, Soekarno, Hamka, Mochtar Lubis, dan masih banyak aktivis politik lain yang pernah tinggal di penjara, tetapi tetap dihormati dan dicintai rakyatnya saat mereka bebas? Alasan sederhananya, bahwa ambisi politik oleh aktor politik seringkali menjadikannya sebagai lawan seorang negarawan.

Penjara seringkali menjadi area penyambung lidah kejujuran dan korespondensi nilai kemanusiaan. Hal ini selalu ditunjukkan AU yang rajin menulis catatan kecil bahkan menerbitkan buku. Bangunan tembok hanya simbol pembatas raga bukan jiwanya untuk menenun pandangan kebangsaan yang patah akibat gaduh politik kekeluargaan. 

Kisah AU dengan simpatisannya serupa tidak sama dengan apa yang dilakukan oleh Ayatullah Khomeini yang menawarkan gerakan restorasi bahkan revolusi politik Iran dari pengasingan. Bedanya Khomeini Kembali ke Teheran, Iran, di dalam kehidupan rakyatnya yang hanya memiliki satu musuh bersama yakni ketidakadilan rezim Syah Fahlevi. Saat bebas nanti, AU justru menghadapi lingkungan sosial politik yang berbeda nan samar, di mana musuh dan kawan sulit dibedakan.

Bebasnya AU bisa jadi sebagai penebusan dari rancang bangun cita-cita pengamat politik silam bahwa namanya akan bersinar dan mungkin bisa mencalonkan diri sebagai presiden di masa depan. Tuhan tidak selalu bisa diprediksi maunya, AU terperosok dalam kubangan politik kepentingan extra-ordinary. Julukan sebagai “politisi belut” tidak membuatnya memiliki imun dari terpaan fitnah ketidakadilan yang dipersangkakan kepadanya.

Bagaimanapun AU, kehadiran dan keterlibatannya dalam lembaga-lembaga demokrasi tersebut setelah jatuhnya Soeharto agaknya dimaksudkan sebagai antitesis terhadap pameo umum bahwa dunia intelektual tidak bisa bergandengan dengan ranah birokrasi. Dengan kata lain, AU ingin pasang badan bahwa sebagai intelektual-birokratis bisa bergandengan tangan. 

Ruang Baru

Karier politik AU adalah dramaturgi luar biasa yang dengan cepat membawanya dari nol menjadi pahlawan dalam lanskap politik negara. Dia bahkan berhasil menyajikan urutan tanggal karier kehidupan politiknya memposisikan AU sebagai manusia segala musim dengan segala kelebihan, keterbatasan dan kontroversinya. Jika Nurcholish Madjid lebih dikenal dengan pengaruh intelektualnya sebagai Dirjen HMI pada 1970-an, Anas justru menunjukkan keahliannya sebagai organisator aktivis, berhasil menjadikan HMI pemegang saham dalam proses yang pada saat itu membentuk arah nasional. mengubah kebijakan.

Kini AU bebas, kita berhitung waktu dan drama, apakah AU akan menjadi seseorang yang relatif diam atau memilih menikmati saja kehidupan pasca bebasnya. Atau mungkin dia akan mengambil kesempatan lemparan koin pertaruhan politik untuk kesekian kalinya. Sebenarnya, gambaran langkah politik AU dapat ditelisik sejak lama, bahkan sejak reporter Republika (2013) mewawancarainya soal hubungan partai dan politik baginya. AU yang cerdas itu dengan santainya menjawab:

“Partai itu tentu penting, tapi tidak bisa juga partai itu dilepaskan dari pengertian alat atau sarana perjuangan. Jadi, kalau alat atau sarana perjuangan, pangkatnya dibawah perjuangan itu sendiri, perjuangan itu sendiri bisa ada di kamar yang berbeda. Di partai itu orang boleh datang, pergi, tapi datang-perginya orang tidak boleh mengganggu eksistensi partai. Itu salah satunya dipengaruhi oleh ruhnya. Ruh itu ya ideologi, etikanya itu. Itu posisinya tentu jauh lebih”.

"Bayi yang tidak diinginkan" itu kini sudah purna dari pertapaan Barata Yudha-nya. Menyelesaikan geram dan sabar atas salah yang dirinya tidak merasa melakukannya. Sebuah eksepsi dirinya yang sempat memukau publik dibacakan panjang lebar dengan tulisan tangannya tidak sempat mengajak keadilan berani menggugah putusan hakim atas pembelaannya. 

Semua mata terarah ke Bandung, namun hati publik memikirkan lokasi yang lain. Ada geram dan sukacita, sepaket namun tidak bisa dipertemukan dalam waktu dekat. Biarlah AU menemui sanak, rekan, dan tuhannya dengan tenang. Masih ada waktu, dan hanya AU yang tahu dibuat apa peluang itu.


Penulis:
Melqy Mochammad
(Penikmat Masalah Sosial)

Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Mas Anas, Waktu dan Tempat Dipersilakan!

Trending Now

Iklan

iklan