(Sumber: Media Indonesia) |
Pertanyaannya, benarkah olahraga, apalagi sepakbola, bisa dipisahkan dari politik? Khususnya di Indonesia ini? Jawabnya adalah sulit, khususnya saat ini. Bagaimanapun, politik adalah bagian tak terpisahkan dalam kehidupan sehari-hari di Indonesia saat ini.
Pertama, kita harus memahami apa itu politik. Mengacu pada KBBI, politik diartikan juga sebagai kebijakan atau cara bertindak. Politik juga diartikan sebagai kegiatan yang terkait dengan pemerintahan suatu negara atau wilayah lain, terutama konflik untuk mencapai kekuasaan.
Nah, kembali kepada sepakbola di Indonesia, apakah kebijakan-kebijakan terkait dengan sepakbola di Indonesia terkait dengan politik atau tidak. Misalnya saja keputusan Erick Thohir untuk maju sebagai Ketua PSSI, apakah hal tersebut keputusan politik atau bukan? Dengan mudah kita bisa menyimpulkan bahwa itu keputusan politik.
Bagaima pun, sepakbola adalah olahraga paling populer di Indonesia. Meskipun prestasinya jauh misalnya dibanding bulutangkis atau panjat dinding, tapi popularitasnya meninggalkan keduanya. Pecinta sepakbola di Indonesia sangat besar. Karena itu, dengan menjabat Ketua PSSI maka otomatis bisa meningkatkan popularitas seseorang.
Dalam pemilihan Ketua PSSI sendiri juga lazim terjadi nego politik yang masif. Berdasar kabar yang beredar di media massa sejak dulu, santer isu penggunaan money politics dalam tradisi kontestasi pemilihan Ketua PSSI. Belum lagi dalam penentuan kepengurusan kali ini, diwarnai drama pemilihan Wakil Ketua PSSI yang panas dan beberapa kali terjadi pergeseran nama. Momentum tersebut tak lepas dari politik, karena ada lobi-lobi dan intrik kepentingan di situ.
Kembali beralih ke penyelenggaraan Piala Dunia U-20 yang batal diselenggarakan di Indonesia. Pemilihan Venue Piala Dunia U-20 di Indonesia patut ditebak apakah bebas dari urusan politik? Sekarang kita bahas dulu venue yang dulu sempat ditetapkan yaitu Stadion Jakabaring (Palembang), Stadion Utama Gelora Bung Karno (Jakarta), Stadion Si Jalak Harupat (Bandung), Stadion Manahan (Solo), Stadion Gelora Bung Tomo (Surabaya), dan Stadion Kapten I Wayan Dipta (Gianyar, Bali). Isu lain yang beredar hanya dua stadion dari daftar di atas yang lolos verifikasi oleh tim lapangan FIFA yang bertugas untuk menginspeksi.
Kemudian, muncul pertanyaan dari daftar stadion di atas, mengapa Stadion Manahan di Solo yang dipilih sebagai venue untuk final? Mengapa terjadi kontra pendapat antara Walikota Solo dan Gubernur Jawa Tengah? Mengapa bukan Gelora Bung Karno? Apakah kualitas Manahan lebih baik dari Stadion Gelora Bung Karno (GBK)? Rasanya tidak. GBK jelas lebih baik secara kualitas dan fasilitas serta kapasitas penonton lebih besar. Tapi mengapa Manahan yang dipilih?
Stadion Manahan, tak mungkin dilepaskan dari pengaruh sosok Presiden Jokowi dan Walikota Solo. Saat ini, dijabat anak dari Jokowi, yaitu Gibran Rakabuming. Stadion ini juga jadi markas kebanggaan Persis Solo, klub sepakbola yang sekarang dimiliki oleh Kaesang Pangarep yang juga anak Jokowi. Apakah pemilihan ini hanya kebetulan belaka atau ada pertimbangan politik di dalamnya? Sepertinya alasan kedua lebih masuk akal.
Sebenarnya masih ada hal-hal lain yang bisa didiskusikan, misalnya mengapa Jakarta International Stadium yang saat ini menjadi stadion paling modern di Indonesia tidak dipilih? Padahal kualitas,
teknologi dan kapasitas adalah yang terbaik di Indonesia. Rasanya, patut diduga alasannya juga tidak lepas dari kepentingan politik.
Jadi, bila saat ini mengharapkan sepakbola lepas dari politik di Indonesia, rasanya mustahil. Sebab, penentu kebijakan sendiri sebenarnya menggunakan politik untuk mengambil keputusan terkait sepakbola. Ikut andil dalam kepengurusan organisasi sepakbola di Indonesia selalu jadi batu loncatan yang mempesona ketika seseorang berambisi meraih jabatan politik.
David Billy
(Pengurus KONI DKI Jakarta)