(Sumber: Opera) |
Kita tentu
ingat lagu-lagu Bimbo, Rhoma Irama, Hadad Alwi, Gigi, Opick dan Ungu sebagai
penyanyi lagu religi. Grup musik Gigi dan Opick bisa dibilang paling rajin
merilis album religi setiap tahunnya. Acara menghayati Ramadhan dikaitkan
dengan lagu-lagu yang mengandung pesan-pesan religi.
Kita juga
sering melihat khutbah, diskusi atau buka puasa bersama menghadirkan artis atau
grup musik. Di Indonesia, lagu-lagu menghiasi dan mengundang renungan religi,
meski tak dipungkiri memiliki tujuan hiburan dan komersial.
Sejak
hadirnya perangkat music berbayar seperti Joox dan Spotify, kebutuhan musik meningkat
dan interaksi pada lagu dalam negeri semakin beragam. Kuncinya hanya satu
seberapa kuat lagu itu bisa trending dalam waktu Panjang. Aplikasi media sosial
TikTok sama rumitnya, kadangkala konsisten pada satu latar musik yang sama, dan
sebaliknya terus berubah.
Tidak salah
jika ingin tahu seberapa dekat bulan Ramadhan tunggulah sampai lagu Maher Zain
diputar di mana-mana. Maher Zain memang rutin berkarya karena memang standar
musiknya adalah membawa narasi agama dan kebaikan Islam kepada publik. Tidak hanya
muslim namun saudara di luar Islam menikmatinya. Lalu ada apa dengan musik religi
kita?
Lagu religi merupakan
pemaknaan mendalam pada spiritualitas dan kondisi sosial yang ada saat ini. Apa
mungkin dengan tidak adanya lagu religi kita bisa berkesimpulan bahwa memang
pada dasarnya kita hanya spiritualis namun tidak religius tingkat ibadahnya. Sebut
saja, bahwa kita hanya menunggu trend apa saja setiap bulan Ramadhan tiba. Ataukan
menu makanan apa saja yang bisa dikonsumsi dan ditaruh pada feed di Instagram.
Lagi pula
apa petingnya sebuah lagu Religi di tengah masyarakat yang masih sibuk
membedakan jenis keimanan atau simbol agama. Musik sekalipun dianggap
komunikasi yang dapat meluruskan, dia juga tidak bisa leluasa dalam lirik
kegamaan. Karena alasan sensitif, banyak musisi yang merasa tidak mudah menyusun
nada yang menarik dan liriknya mendalam.
Kehabisan Perenungan
Hiburan bulan
Ramadhan juga bisa dialihkan pada kegitan komedia. Musik bisa jadi hanya
alternatif. Tetapi opsi komedia juga bukan pilihan terbaik. Pilihan waktu dan
jenis garapan komedi kentara menjelaskan ''kudeta makna'' atas pengalaman
batiniah dan waktu sakral dalam rujukan iman. Orang berpuasa seolah memerlukan
''obat mujarab'' demi melupakan atau menghapuskan lapar. ''Obat mujarab'' itu
adalah acara komedi dengan cerita-cerita murahan dan pendangkalan
nalar-imajinasi oleh para komedian.
Televisi
adalah pusat ''peribadatan komedi''. Umat menempatkan diri secara masal di
pelbagai ruang demi menonton televisi. Adegan-adegan ganjil itu telah menjelma
menjadi kelaziman selama Ramadan. Penonton mungkin melampiaskan hasrat-hasrat
picisan dengan mengonsumsi suguhan komedi. Puasa memang ibadah, tapi menonton
acara komedi pun ''hampir'' ibadah harian. Indonesia memang negeri komedi.
Ramadan memang menjadi ''bulan komedi''. Kita hidup di rezim komedi!
Veven Sp.
Wardhana (2009) mengingatkan, endemi komedi di Indonesia justru menebar
manipulasi realitas dan refleksi sosial. Publik telanjur mencandui komedi.
Penggarap acara kome¬di lekas mengolah siasat murahan. Acara-acara komedi
picisan disuguhkan tanpa memikirkan bobot atau misi adab
Hal di atas setidaknya
memberikan gambaran bahwa terlepas memang kita tidak bisa mencari musik religi
tetapi kenyataannya kita masih ditekan oleh kebutuhan komedi yang alakadarnya. Hilangnya
musik religi pada dasarnya adalah gambaran bahwa ceruk pasar pendengar nada
agama memang terang redup.
Sejak genre
musik indie diterima kalangan muda-mudi, perlahan kita menemukan bentuk
hubungan sosial yang teraktivasi lewat komunitas dan ciri budaya seperti
konser, nongkrong, dan ngonten. Di sisi lain, tahun ini tidak banyak musisi yang
tergerak menulis lirik. Secara hitung-hitungan ekonomi, pada bulan Ramadhan terjadwal
sebagai waktu singkat. Mereka tidak mau bermain dadu alias bertaruh untung rugi
dalam waktu satu bulan. Jadi kita hanya
punya satu peluang yakni bernyanyilah lagu religi versi terbaik kita sekalipun
itu tidak dapat diperdengarkan pada orang lain.
Melqy Mochamad
(Penikmat Masalah Sosial)